Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Di Sini Aku Masih Menunggu (Karya Sutan Iwan Soekri Munaf)

Puisi "Di Sini Aku Masih Menunggu" menghadirkan gambaran tentang perasaan seorang individu yang terjebak dalam kenangan dan rindu terhadap ...
Di Sini Aku Masih Menunggu

Semalam kulihat matamu dalam tidurku. Matamu bergerak-gerak seperti pisau menuju hatiku. Dalam menyeruak. Sedang senyum itu mampir begitu saja. Tanpa pretensi apa-apa. Aku gamang memeluk waktu!

Kalau dinihari aku terbangun dan tanganku bermain-main dalam kenangan, mencari-cari bahumu. Janganlah engkau diam. Biarkan suara mengembara di antara sepi. Beku.

Dan waktu berjalan. Jarak tak lagi menentu. Aku nanar. Sendiri. Matamu membinar dalam hatiku. Membakar seluruh rona jiwaku. Semakin gairah bangkit, semakin menggelora api membakar jiwa ini.

Jangan bicara lagi. Sajadah yang terpasang tak lagi terjamah. Nafsu melaju dan rindu mencair. Tak lagi kita rentang waktu dengan sembilu kata. Tak lagi mata menawarkan dahaga yang lama kupendam. Engkau masih menakik sepi. Sendiri!

Sudah kukatakan: Kembali! Biarkan waktu membakar kata-kata dalam huruf-huruf yang timbul. Pasalnya, rindu tak pernah sudah. Kita hanya mendakap sepi dalam perjalanan waktu. Sedangkan jarak tak pernah lagi terhitung. Berapa lama cinta terbakar?

Semua. Sudah kita bahas dalam bahasa jiwa. Tak lagi raga menjadi perantara. Tak lagi kata tersimpan dalam harapan. Semua. Kembali begitu saja. Engkau duduk di sampingku sambil memeluk lutut. Aku mendakap bahumu dalam mata nanar!

Kembalilah! Pinta itu hanya menggema tanpa pernah berubah. Sesekali engkau dinginkan bara api dengan sejuk senyummu. Aku mabuk sendiri. Tapi kita tak akan pernah bertemu...

Analisis Puisi:

Puisi "Di Sini Aku Masih Menunggu" karya Sutan Iwan Soekri Munaf adalah karya yang mengungkapkan kedalaman perasaan rindu, keputusasaan, dan harapan yang tidak kunjung terkabul. Dalam puisi ini, Munaf menghadirkan gambaran tentang perasaan seorang individu yang terjebak dalam kenangan dan rindu terhadap seseorang yang tidak lagi ada dalam hidupnya. Di balik kata-kata yang sederhana, puisi ini menawarkan pesan yang mendalam mengenai bagaimana waktu, jarak, dan perasaan bisa menciptakan kesepian yang tak terobati.

Penghantaran Perasaan dalam Mimpi

Puisi ini dimulai dengan penggambaran yang kuat dan penuh makna: "Semalam kulihat matamu dalam tidurku." Matamu, sebagai elemen yang paling mendalam dalam penggambaran fisik, menjadi simbol dari kenangan dan perasaan yang hidup dalam hati pembicara. Mata dalam puisi ini bukan hanya bagian tubuh yang melihat, tetapi juga yang membawa kenangan dan perasaan yang mengguncang jiwa. Mata ini bergerak-gerak seperti pisau menuju hati, memberikan kesan bahwa perasaan itu begitu tajam dan menyakitkan, seperti luka yang terus menganga dalam dada.

Kenangan yang hadir dalam tidur menunjukkan bahwa perasaan tersebut tidak dapat dikendalikan. Bahkan dalam tidur, pembicara tidak bisa melepaskan diri dari bayangan orang yang dia rindukan. Senyum yang "mampir begitu saja" adalah gambaran dari kenangan yang datang tanpa diundang, tetapi tidak bisa dihindari.

Ketidakpastian dan Kebingungan

Frasa "Aku gamang memeluk waktu!" mengungkapkan kebingungan dan ketidakpastian pembicara dalam menghadapi perasaan yang datang begitu kuat. Waktu dalam puisi ini seolah menjadi entitas yang tak terjangkau, yang semakin menjauhkan pembicara dari orang yang dirindukan. Menggambarkan diri gamang (ragu) adalah cerminan dari ketidakmampuan untuk memahami perasaan sendiri, atau bahkan untuk melangkah maju dalam hidup. Waktu, yang seharusnya menjadi penawar segala sesuatu, justru menjadi penghalang, yang semakin menambah kesedihan dan kebingungannya.

Penyesalan dan Keinginan yang Tak Terwujud

Bagian berikutnya dari puisi ini melukiskan bagaimana pembicara terjaga di tengah malam, dan tangannya mencari-cari "bahumu," yang menyimbolkan pencarian untuk menemukan kembali perasaan yang telah hilang. Di sini, kenangan menjadi sesuatu yang bisa digenggam, namun tetap tidak terjangkau. Kenangan menjadi seonggok rasa yang menari-nari di dalam pikiran, namun tidak bisa dibawa kembali ke realitas.

"Janganlah engkau diam," kata pembicara, meminta agar kenangan itu hidup kembali, agar suara-suara yang terpendam dapat mengembara di antara sepi, bahkan jika itu adalah kesepian yang beku. Keinginan untuk menghidupkan kembali sesuatu yang telah hilang menjadi tema yang dominan, dan ini menggambarkan perasaan terjebak di masa lalu, di mana waktu bergerak tanpa mampu menghapus kenangan itu.

Ketidakpastian dalam Jarak dan Waktu

Seiring berjalannya waktu, perasaan pembicara semakin gelap dan kabur. "Jarak tak lagi menentu" menggambarkan bagaimana pembicara merasa kehilangan arah dalam hidupnya. Jarak, yang seharusnya menjadi ukuran dari kedekatan atau keterpisahan, kini tidak lagi bisa diukur. Hal ini menambah kesan bahwa pembicara terjebak dalam ruang yang tanpa batas, di mana waktu dan jarak tak mampu memberikan kepastian.

Di sini, rasa kesepian semakin terasa, karena tidak ada yang bisa mengisi kekosongan yang ada. Pembicara merasa "nangar" dan "sendiri," seolah-olah dirinya terjebak dalam dunia yang sepi dan tanpa harapan.

Api Cinta yang Membakar Jiwa

Namun, meskipun merasa terjebak dan kesepian, pembicara tetap merasakan adanya perasaan yang menggelora, yang muncul dalam bentuk cinta yang membara. "Matamu membinar dalam hatiku" menggambarkan bagaimana kenangan tentang orang yang dirindukan tetap hidup dan menyala dalam hati. Namun, cinta yang membara ini membawa dampak yang tidak mudah, yaitu "membakar seluruh rona jiwaku." Cinta, dalam hal ini, menjadi api yang terus menyiksa, tetapi juga memberi kehidupan, meskipun dalam bentuk penderitaan.

Harapan yang Tak Terwujud

Bagian terakhir dari puisi ini mengungkapkan harapan yang tidak pernah berubah: "Kembalilah! Pinta itu hanya menggema tanpa pernah berubah." Meskipun pembicara memohon dengan tulus, harapan itu tidak pernah terwujud. Pintu yang tertutup, jarak yang tak terjembatani, dan waktu yang terus berjalan membuat permintaan tersebut menjadi sia-sia. "Kembali" adalah kata yang terus bergema dalam hati pembicara, namun tidak pernah mendapat jawaban.

Puisi "Di Sini Aku Masih Menunggu" karya Sutan Iwan Soekri Munaf adalah sebuah karya yang menggambarkan perjalanan perasaan seorang individu yang terperangkap dalam kenangan dan rindu yang tak kunjung berakhir. Waktu dan jarak menjadi penghalang bagi pembicara untuk bisa mendekatkan diri kepada orang yang dia rindukan, dan meskipun ada api cinta yang membakar jiwa, harapan untuk kembali bersatu tetap hanya sebuah gema yang tak berujung.

Puisi ini menggambarkan betapa kuatnya kekuatan kenangan, perasaan, dan waktu dalam mempengaruhi jiwa seseorang. Meskipun cinta dan rindu bisa membakar jiwa, tidak selalu memungkinkan untuk merealisasikan harapan tersebut. Sebuah cerita tentang keputusasaan yang tak bisa diubah dan rindu yang tak terobati, puisi ini mengajak pembaca untuk meresapi emosi mendalam yang timbul dari ketidakmampuan untuk mengubah kenyataan.

Puisi: Di Sini Aku Masih Menunggu
Puisi: Di Sini Aku Masih Menunggu
Karya: Sutan Iwan Soekri Munaf

Biodata Sutan Iwan Soekri Munaf:
  • Nama Sebenarnya adalah Drs. Sutan Roedy Irawan Syafrullah.
  • Sutan Iwan Soekri Munaf adalah nama pena.
  • Sutan Iwan Soekri Munaf lahir di Medan pada tanggal 4 Desember 1957.
  • Sutan Iwan Soekri Munaf meninggal dunia di Rumah Sakit Galaxy, Bekasi, Jawa Barat pada hari Selasa tanggal 24 April 2018.
© Sepenuhnya. All rights reserved.