Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Gunduk (Karya Iswadi Pratama)

Puisi "Gunduk" karya Iswadi Pratama menghadirkan perenungan mendalam tentang kehidupan, kehilangan, dan hubungan antara manusia dengan alam.
Gunduk

Aku pati pohon jati yang padu
tak lunak namun belum batu
coklat yang hampir gelap
terkucil di kebun ini

aku hampir dihapus humus
lalu dikemas para rangas
diberi rongga dan ruas

tapi entah mengapa
rerayap itu pergi
ke bawah pohon turi

lalu aku kosong

sesekali semut putih dan ular datang
cuma numpang bermalam
atau mampir dalam perjalanan

engkau kelembak
dulu bermukim di sini
ketika masih kepompong

tapi seperti anai-anai
engkau pergi setelah lengkap sayap
dan aku abai

aku telanjur mengasihimu duhai kupu-kupu
sebab kukira engkau selongsong semata
rupanya selubung itu hanya selimut
bagi kepakmu yang sedang beringsut

kepak yang seperti sepasang layar
membawa perahu menjauh
dari bocah di tepi telaga itu

tetapi lelaki kecil itu tahu
biduk akan kembali
dan ia menunggu

dan aku tak mengerti
bagaimana menanti
sayapmu indah di atas sana
meski waktumu singkat belaka

tak ada nektar padaku
selain bau getah kayu
dan busuk perdu

dan lihatlah,
pemilik kebun ini tengah merambah tanah
ia sangat berhasrat pada setiap gunduk
ingin seluruh permukaan tampak rata

demi buah buah
demi bunga bunga

dan engkau memang cemerlang di sana.

Juli, 2011

Analisis Puisi:

Puisi "Gunduk" karya Iswadi Pratama adalah karya sastra yang penuh dengan lapisan makna, menghadirkan perenungan mendalam tentang kehidupan, kehilangan, dan hubungan antara manusia dengan alam. Dengan bahasa yang penuh simbolisme, puisi ini menggambarkan perjalanan eksistensi melalui metafora pohon, kelembak, kupu-kupu, dan pemilik kebun.

Metafora Kehidupan yang Mendalam

Puisi ini memulai narasinya dengan sosok "Aku," yang merepresentasikan pati pohon jati. Pohon jati yang dikenal kuat dan tahan lama menjadi simbol keteguhan, namun dalam puisi ini, ia digambarkan "tak lunak namun belum batu," menunjukkan keadaan transisi yang rapuh.

“Aku hampir dihapus humus / lalu dikemas para rangas” menggambarkan siklus alam, di mana kehidupan yang dulunya kokoh perlahan tergerus waktu. Namun, meski rapuh, eksistensi ini masih memiliki arti, terutama sebagai tempat persinggahan bagi makhluk-makhluk kecil seperti rerayap, semut putih, dan ular.

Kelembak, Kupu-kupu, dan Transisi

Bagian tengah puisi membawa pembaca pada sosok kelembak, yang dulunya bermukim di pohon jati. Namun, seperti kepompong yang bertransformasi menjadi kupu-kupu, ia pergi setelah mendapatkan sayap.

“Aku telanjur mengasihimu duhai kupu-kupu / sebab kukira engkau selongsong semata” adalah refleksi mendalam tentang cinta, keterikatan, dan perubahan. Sang pohon merasa kehilangan karena mengira bahwa kelembak akan selamanya bersamanya. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa hidup terus bergerak maju, dan apa yang kita kasihi sering kali harus pergi untuk menemukan bentuknya yang lebih sempurna.

Simbolisme Kepemilikan dan Eksistensi

Di bagian berikutnya, muncul sosok pemilik kebun yang “sangat berhasrat pada setiap gunduk.” Gunduk dalam konteks ini dapat diartikan sebagai simbol ketidaksempurnaan atau keunikan yang ingin dihilangkan demi terciptanya keseragaman.

“Ia sangat berhasrat pada setiap gunduk / ingin seluruh permukaan tampak rata / demi buah-buah / demi bunga-bunga,” menggambarkan dunia modern yang sering kali mengorbankan keunikan dan keindahan alami demi produktivitas dan hasil yang seragam.

Namun, di tengah perataan ini, sang pohon tetap melihat keindahan sang kupu-kupu yang terbang di atasnya, meskipun ia sadar tidak ada nektar atau manfaat nyata yang bisa ia tawarkan lagi.

Tema: Kehidupan, Perubahan, dan Penantian

Puisi ini menggali berbagai tema universal, termasuk:
  1. Perubahan dan Kehilangan: Kupu-kupu yang terbang menjauh melambangkan perubahan tak terelakkan yang sering kali membawa perasaan kehilangan. Namun, perubahan ini juga membawa pertumbuhan.
  2. Keterikatan dan Penantian: Sang pohon jati tetap menanti dengan harapan, meskipun ia tahu bahwa sang kupu-kupu tidak akan kembali. Penantian ini mencerminkan keindahan cinta yang tanpa pamrih.
  3. Kritik terhadap Keseragaman: Pemilik kebun yang meratakan gunduk menunjukkan kecenderungan manusia modern untuk menyingkirkan segala yang dianggap tidak produktif atau tidak sesuai dengan standar tertentu.

Simbolisme Alam sebagai Refleksi Hidup

Iswadi Pratama memanfaatkan elemen alam untuk merefleksikan berbagai aspek kehidupan manusia:
  1. Pohon Jati: Simbol kekuatan, keteguhan, namun juga keterbatasan. Pohon ini melambangkan seseorang yang berusaha tetap relevan meski menghadapi perubahan zaman.
  2. Kupu-Kupu: Lambang transformasi, kebebasan, dan keindahan yang sementara.
  3. Pemilik Kebun: Representasi kekuasaan dan kontrol yang sering kali tidak mempertimbangkan keindahan alami demi tujuan produktivitas.

Pesan Moral dan Relevansi Puisi

Puisi "Gunduk" mengajarkan pembaca untuk menerima perubahan sebagai bagian dari kehidupan. Kehilangan dan keterikatan adalah hal yang alami, namun yang penting adalah bagaimana kita tetap menghargai keindahan di tengah transisi dan perubahan tersebut.

Selain itu, puisi ini mengingatkan tentang pentingnya menjaga keunikan dan ketidaksempurnaan dalam hidup. Dalam dunia yang cenderung menuntut keseragaman, keindahan sejati justru sering kali ditemukan dalam hal-hal yang tidak sempurna.

Melalui puisi "Gunduk", Iswadi Pratama mengajak pembaca untuk merenungkan nilai kehidupan, perubahan, dan keindahan yang sering kali luput dari perhatian. Simbolisme dalam puisi ini menggambarkan perjalanan hidup yang penuh warna, meskipun diselimuti oleh kehilangan dan keterbatasan.

Puisi ini adalah pengingat bahwa meskipun hidup dipenuhi oleh perubahan, harapan dan penghargaan terhadap keindahan tetap menjadi cahaya yang menuntun kita. Dengan menerima siklus alam dan kehidupan, kita dapat menemukan makna dan kedamaian, meskipun dalam keterbatasan.

Iswadi Pratama
Puisi: Gunduk
Karya: Iswadi Pratama

Biodata Iswadi Pratama:
  • Iswadi Pratama lahir pada tanggal 8 April 1971 di Tanjungkarang, Bandar Lampung, Lampung, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.