Hujan
Hujan curahkan berkahmu yang hijau
Ke lembah hatiku. Puaskanlah dahaga akar tumbuhan
Agar hidup senantiasa segar membaca matahari
Menghapus jerit kepedihan waktu di batin.
Di pinggir jendela kuingat benar tahun lalu
Aku masih kanak. Bersenda-gurau, bernyanyi-riang
Memutar-mutarkan payung hitam pulang sekolah
Di bawah berkahmu yang segar dan hijau
Hingga di rumah kurasakan benar hangatnya api
Di pendiangan, seperti kini hangatnya kekasihku
Meremas gairah hidupku. Mekar, membenihkan
Beribu makna ketunggalan cinta kau dan aku. Hujan,
Puaskanlah dahaga akar tumbuhan, agar berbuah
Dan aku senang mendengarkan rengekan kekasihku, mesra
Minta dikupaskan barang sebiji apel
Yang nampak lebih bermakna di sebelah pisau berkilat
Kekasihku pun terisak. Mendengarkan seratus ciuman
Ke mulutku. Paham makna ketiadaan esok hari!
Bandung, 1984
Sumber: Horison (Agustus, 1987)
Analisis Puisi:
Puisi "Hujan" karya Soni Farid Maulana adalah sebuah karya sastra yang sarat dengan makna filosofis, nostalgia, dan refleksi emosional. Puisi ini menggambarkan hujan sebagai simbol berkah dan kehidupan, yang sekaligus menjadi medium untuk mengeksplorasi kenangan masa lalu, kehangatan cinta, dan keindahan kehidupan yang bersifat sementara.
Hujan sebagai Simbol Kehidupan
Baris pembuka, "Hujan curahkan berkahmu yang hijau Ke lembah hatiku," menempatkan hujan sebagai simbol utama dalam puisi ini. Hujan diidentifikasi sebagai pemberi kehidupan, yang mampu menghidupkan kembali "akar tumbuhan" agar tetap segar dan terus "membaca matahari." Simbol ini menunjukkan bahwa hujan tidak hanya memberikan kehidupan fisik kepada alam, tetapi juga kehidupan emosional dan spiritual bagi manusia.
Gambaran "menghapus jerit kepedihan waktu di batin" memperlihatkan bagaimana hujan menjadi metafora untuk penyembuhan dan pelipur lara, menyiratkan harapan bahwa segala penderitaan dapat terhapus seiring berjalannya waktu.
Nostalgia Masa Kanak-Kanak
Puisi ini membawa pembaca kembali ke masa kanak-kanak penyair melalui bait, "Di pinggir jendela kuingat benar tahun lalu Aku masih kanak." Kenangan ini menciptakan nuansa kehangatan dan keceriaan, terutama saat penyair menggambarkan aktivitas sederhana seperti bermain di bawah hujan dan memutar-mutarkan payung hitam.
Kenangan akan masa lalu ini menciptakan kontras dengan suasana masa kini yang lebih dewasa dan penuh dengan refleksi cinta. Penyair menghubungkan hujan dengan memori yang tak terlupakan, menguatkan kesan bahwa momen-momen sederhana memiliki nilai mendalam yang sering kali baru disadari setelah waktu berlalu.
Hujan dan Kehangatan Cinta
Hujan dalam puisi ini juga menjadi simbol kehangatan cinta. Baris, "Hingga di rumah kurasakan benar hangatnya api Di pendiangan, seperti kini hangatnya kekasihku," menunjukkan transformasi makna hujan dari simbol alami menjadi simbol emosional. Kehangatan fisik yang dirasakan dari api di pendiangan di masa kanak-kanak kini berpindah menjadi kehangatan emosional yang dirasakan bersama kekasih.
Gambaran cinta yang intim diperkuat melalui frasa, "Beribu makna ketunggalan cinta kau dan aku." Cinta di sini digambarkan sebagai sesuatu yang mendalam, menyatu, dan penuh gairah. Penyair menggambarkan kebersamaan dengan kekasih melalui aktivitas sehari-hari yang sederhana, seperti mengupas apel, tetapi justru hal-hal inilah yang membuat kehidupan bermakna.
Kesadaran Akan Ketiadaan Waktu
Di akhir puisi, penyair menyentuh tema kefanaan hidup, "Kekasihku pun terisak. Mendengarkan seratus ciuman Ke mulutku. Paham makna ketiadaan esok hari." Kesadaran akan ketidakpastian masa depan memberikan lapisan kedalaman pada puisi ini. Penyair tidak hanya merayakan keindahan cinta dan kehidupan, tetapi juga menyadari bahwa semuanya bersifat sementara.
Baris ini menyiratkan pesan bahwa kehidupan dan cinta harus dinikmati sepenuhnya pada saat ini, karena waktu tidak akan kembali dan masa depan tidak dapat dijamin.
Gaya Bahasa yang Kuat dan Imaji yang Hidup
Soni Farid Maulana menggunakan gaya bahasa yang kaya dengan metafora dan imaji untuk menghidupkan suasana puisi ini. Penggunaan kata-kata seperti "hujan," "akar tumbuhan," "pendiangan," dan "seratus ciuman" menciptakan gambaran yang sangat visual dan emosional.
Gaya puitis yang digunakan juga menunjukkan keseimbangan antara keindahan alam dan keindahan cinta manusia. Dengan menyandingkan elemen-elemen alam dan aktivitas manusia sehari-hari, puisi ini menciptakan hubungan yang harmonis antara keduanya.
Puisi "Hujan" karya Soni Farid Maulana adalah karya yang kaya makna, menggabungkan elemen alam, kenangan masa lalu, dan cinta dalam sebuah refleksi kehidupan. Hujan bukan hanya simbol berkah alam, tetapi juga penghubung antara masa lalu, kehangatan cinta, dan kesadaran akan kefanaan hidup.
Puisi ini mengajarkan pembaca untuk menghargai momen-momen kecil dalam kehidupan, baik itu nostalgia masa lalu, kehangatan cinta, maupun berkah alam yang sering kali dianggap remeh. Dalam setiap tetes hujan, penyair menemukan makna kehidupan yang mendalam dan pelajaran untuk hidup dengan penuh kesadaran dan rasa syukur.
Puisi: Hujan
Karya: Soni Farid Maulana
Biodata Soni Farid Maulana:
- Soni Farid Maulana lahir pada tanggal 19 Februari 1962 di Tasikmalaya, Jawa Barat.
- Soni Farid Maulana meninggal dunia pada tanggal 27 November 2022 (pada usia 60 tahun) di Ciamis, Jawa Barat.
