Mendiami Rumah Tangga
sesekali kegetiran angin mendesir
merapatkan gigilan selimut
bersama aroma kesakralan percakapan
di kesyahduan ranjang mawarmu
membiarkan jendela cinta terpana
kemudian pintu kedamain terkuak
seluas sabana rindu yang senantiasa
menggedor-gedor keterbatasan dengan
jemari ketabahan. sementara,
kerimbunan ilalang menebal lantai
memasrahkan rerumputan menumbuhkan
ruang-ruang kekekalan. lalu,
kita semaikan benih bunga-bunga
sepanjang helaan nafas, sampai
desah pelaminan itu melindapi
sekujur kebisuan ruang tamu. kita
hembuskan jiwa keheningan yang
berkeliaran di atas atap, melumatkan
kemekaran birahi yang tak henti mengerang,
menyatukan kepolosan tubuh bumi.
kita telah membangun rumah bunga nel,
menancapkan akar ketulusan sembari
terus memupuki tunas-tunas yang
mulai berkejaran, menuai
serbuk-serbuk yang menebarkan
benih-benih keasrian bunga
yang terus bermekaran. sementara
di luar rumah, sungai-sungai
mengalirkan pertentangan yang
harus ditebus tanpa perlu
membelanjakan keperihan masa lalu.
dekaplah kenangan angin yang menyebar,
menuai keganasan taufan jalanan.
peluk, rengkuhlah sisa gerimisku
jangan lepaskan kegemetaran pepohonan
yang membungkus kegairahan di tamanmu
Bohemian, Jambi, 10 Juni 2000
Sumber: Passenger of Time (2011)
Analisis Puisi:
Puisi "Mendiami Rumah Tangga" karya Ari Setya Ardhi adalah karya yang penuh dengan simbolisme dan metafora, membawa pembaca memasuki ruang yang intim sekaligus universal. Dalam puisi ini, rumah tangga digambarkan sebagai sebuah ruang sakral, di mana percakapan, cinta, dan ketulusan saling berkelindan menjadi fondasi yang kokoh.
Kegetiran dan Keindahan Rumah Tangga
Puisi ini dibuka dengan suasana yang mencekam tetapi penuh kehangatan:
sesekali kegetiran angin mendesir / merapatkan gigilan selimut / bersama aroma kesakralan percakapan
Kata “kegetiran” menjadi representasi realitas kehidupan rumah tangga yang tak selalu mulus. Namun, di tengah rasa dingin dan gigilan, ada kehangatan yang hadir dalam bentuk percakapan dan keintiman pasangan. Frasa “aroma kesakralan” mengisyaratkan bahwa dialog dalam rumah tangga bukan sekadar obrolan biasa, tetapi suatu ritual yang menguatkan hubungan.
Di bagian-bagian berikutnya, Ari Setya Ardhi memanfaatkan metafora ranjang mawar, jendela cinta, dan pintu kedamaian untuk menggambarkan dinamika emosional yang hadir dalam sebuah hubungan. Ranjang mawar, meskipun indah, juga memiliki duri-duri kecil, seperti halnya cinta yang membutuhkan pengorbanan dan ketabahan.
Simbolisme Alam sebagai Representasi Kehidupan
Puisi ini kaya akan simbolisme alam. Misalnya, frasa “kerimbunan ilalang menebal lantai” dan “rerumputan menumbuhkan ruang-ruang kekekalan” menunjukkan bagaimana kehidupan rumah tangga tumbuh secara organik, seperti tanaman yang memerlukan perawatan dan perhatian. Rumah tangga diibaratkan sebagai ekosistem yang hidup, di mana setiap elemen memiliki peran penting untuk menciptakan harmoni.
Kemudian, penyair membawa pembaca ke gambaran bunga-bunga dan pelaminan:
kita semaikan benih bunga-bunga / sepanjang helaan nafas, sampai / desah pelaminan itu melindapi
Bunga di sini melambangkan harapan dan cinta yang terus tumbuh, sementara pelaminan adalah simbol awal perjalanan rumah tangga. Dengan kata lain, cinta dan keintiman adalah proses yang terus berkembang, tidak berhenti pada momen pernikahan saja.
Konflik dan Harmoni di Luar Rumah
Di bagian akhir puisi, Ari Setya Ardhi memperkenalkan dunia luar sebagai kontras dari kedamaian rumah tangga. Sungai yang mengalirkan pertentangan dan taufan jalanan menjadi representasi dari tantangan eksternal yang dihadapi pasangan. Namun, penyair menegaskan bahwa pasangan harus menghadapi semua itu dengan ketabahan dan kebersamaan:
dekaplah kenangan angin yang menyebar, / menuai keganasan taufan jalanan.
Meskipun ada badai di luar rumah, kehangatan dan ketulusan di dalam rumah menjadi pelindung yang menjaga keberlangsungan hubungan. Penyair mengajak pembaca untuk terus memupuk cinta dan ketulusan agar rumah tangga tetap menjadi tempat yang aman dan harmonis.
Puisi "Mendiami Rumah Tangga" bukan sekadar tentang kehidupan pernikahan, tetapi juga refleksi tentang bagaimana manusia menghadapi dinamika kehidupan secara umum. Rumah tangga, sebagaimana digambarkan oleh Ari Setya Ardhi, adalah miniatur dunia yang penuh dengan tantangan, kebahagiaan, dan perjuangan.
Dengan gaya bahasa yang kaya akan metafora dan imaji, Ari Setya Ardhi berhasil mengajak pembaca untuk merenungkan makna cinta, ketulusan, dan komitmen. Puisi ini menjadi pengingat bahwa rumah tangga bukan hanya tempat tinggal fisik, tetapi juga ruang emosional di mana cinta dan keintiman terus tumbuh, melindungi penghuninya dari kerasnya dunia luar.
Karya: Ari Setya Ardhi
Biodata Ari Setya Ardhi:
- Ari Setya Ardhi lahir pada tanggal 31 Mei 1967 di Jakarta, Indonesia.
- Ari Setya Ardhi meninggal dunia pada tanggal 19 Februari 2006 di Jambi, Indonesia.
- Selain menulis puisi, ia juga menulis cerpen, cerbung, dan esei budaya yang dimuat di berbagai media daerah dan nasional.
