Analisis Puisi:
Puisi "Menghitung Usia" karya Gunoto Saparie adalah sebuah karya yang menggugah tentang refleksi diri, perjalanan hidup, dan makna waktu yang terus berjalan. Dalam puisi ini, penyair menggambarkan dengan sangat jujur dan sederhana perasaan tentang usia yang terus bertambah, namun disertai dengan keresahan dan ketidakpastian. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenung tentang kehidupan yang sering kali terasa misterius dan penuh teka-teki, terutama dalam kaitannya dengan waktu dan perjalanan hidup itu sendiri.
"Pada ulang tahunku / Kuhitung usia / Kulihat di kaca / Kerut merut di keningku"
Pada bagian pertama puisi ini, penyair memulai dengan sebuah perayaan ulang tahun yang tidak seperti biasanya. Alih-alih merayakan dengan sukacita, penyair justru merenung dan melihat dirinya dalam cermin, melihat perubahan fisik yang terjadi seiring berjalannya waktu. "Kerut merut di keningku" menjadi simbol dari tanda-tanda penuaan yang tidak bisa dihindari. Kerutan yang muncul di wajah bisa diartikan sebagai pengingat bahwa waktu terus berlalu dan bahwa setiap detik yang berlalu membawa perubahan, baik fisik maupun psikologis.
Menghitung usia di sini bukan hanya sekadar menghitung angka, tetapi juga merupakan proses introspeksi diri, merenung tentang perjalanan hidup yang telah dilalui dan yang masih akan dijalani. Cermin menjadi simbol yang menunjukkan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri, yakni bahwa usia terus bertambah dan kehidupan terus berjalan.
"Tak ada lilin nyala / Tak ada roti pula / Seberkas rencana sia-sia / Kutulis namaku di nisan purba"
Bagian ini menggambarkan suasana ulang tahun yang sepi dan hampa. "Tak ada lilin nyala / Tak ada roti pula" menunjukkan bahwa meskipun ini adalah hari yang seharusnya dirayakan, tidak ada perayaan yang biasa kita temui pada ulang tahun. Tidak ada lilin yang menyala sebagai simbol harapan atau roti yang biasa dibagikan dalam kebahagiaan.
Namun, bagian ini juga lebih jauh menggambarkan sebuah rasa kesia-siaan dan kekosongan. "Seberkas rencana sia-sia" menyiratkan bahwa meskipun ada banyak rencana dan harapan dalam hidup, kadang-kadang hal-hal tersebut tidak terwujud seperti yang diinginkan. Penyair menulis namanya di "nisan purba", sebuah simbol yang kuat yang menunjukkan rasa pasrah atau bahkan kesadaran akan kefanaan hidup. Nisan purba adalah simbol kematian, dan menulis namanya di sana menunjukkan kesadaran penyair akan kenyataan bahwa hidup ini terbatas, dan pada akhirnya, semua yang kita lakukan akan menjadi kenangan atau bahkan dilupakan.
"Pada ulang tahunku / Pada malam yang merayap / Umur manusia misteri gelap / Letih aku mencoba memahamimu"
Bagian ini melanjutkan rasa introspeksi dengan menggambarkan malam yang "merayap", yang memberi kesan suasana yang lambat dan penuh ketidakpastian. "Malam yang merayap" bisa diartikan sebagai gambaran waktu yang berjalan perlahan, penuh misteri, dan sulit dipahami. Malam di sini bisa pula melambangkan masa tua atau masa-masa sulit dalam hidup, di mana banyak hal menjadi lebih kabur dan tidak jelas.
"Umur manusia misteri gelap" mengingatkan kita bahwa hidup ini penuh dengan ketidakpastian dan pertanyaan yang tidak selalu memiliki jawaban yang memadai. Meskipun kita terus berusaha memahami hidup, "letih aku mencoba memahamimu" menunjukkan bahwa upaya untuk memahami hidup ini sering kali terasa melelahkan dan penuh keputusasaan. Penyair menyadari bahwa hidup adalah sebuah misteri yang tidak selalu bisa dipecahkan atau dipahami sepenuhnya.
Makna dan Refleksi dalam Menghitung Usia
Puisi ini menggambarkan perasaan yang universal tentang perjalanan waktu dan bagaimana manusia menghadapi usia yang terus bertambah. Penyair tidak hanya menghitung usia dalam arti fisik, tetapi juga menyentuh aspek psikologis dan eksistensial dari kehidupan. Ada kesadaran bahwa setiap detik yang berlalu membawa kita lebih dekat pada kenyataan bahwa hidup ini fana. Kerutan di wajah adalah simbol dari perjalanan waktu yang tak terelakkan, dan ketidakmampuan untuk "memahami" umur manusia menambah rasa misteri dan keraguan yang hadir dalam kehidupan.
Ketika penyair menuliskan namanya di "nisan purba", ia mengajak pembaca untuk merenung tentang makna kehidupan dan kematian. Apakah kita hidup untuk sesuatu yang lebih besar dari sekadar rutinitas dan pencapaian materi? Apakah rencana-rencana kita benar-benar berarti, atau justru terasa sia-sia di hadapan waktu yang terus berjalan?
Pesan Puisi tentang Kehidupan dan Waktu
Puisi ini bukan hanya sekadar ungkapan kesedihan atau keputusasaan, melainkan juga sebuah ajakan untuk merenung lebih dalam tentang makna hidup. Puisi "Menghitung Usia" mengajak kita untuk memikirkan apa yang benar-benar penting dalam hidup ini, dan bagaimana kita harus menghadapi kenyataan bahwa waktu adalah sesuatu yang tidak bisa kita kontrol. Penyair menyampaikan pesan bahwa meskipun hidup ini penuh dengan ketidakpastian dan kadang terasa sia-sia, kita tetap harus terus menjalani hidup dengan penuh kesadaran, meski tak ada jaminan tentang apa yang akan terjadi di masa depan.
Puisi "Menghitung Usia" karya Gunoto Saparie adalah sebuah karya yang menggambarkan perasaan tentang waktu, usia, dan misteri kehidupan. Dengan menggunakan bahasa yang sederhana namun penuh makna, penyair mengajak pembaca untuk merenung tentang perjalanan hidup yang penuh ketidakpastian dan perubahan. Melalui gambaran ulang tahun yang sepi dan kerutan di wajah, puisi ini mencerminkan kesadaran akan kefanaan hidup dan pencarian makna yang terus berlangsung. Pada akhirnya, puisi "Menghitung Usia" mengingatkan kita bahwa hidup ini singkat, namun penuh dengan pelajaran dan kesempatan untuk memahami diri dan dunia di sekitar kita.
Karya: Gunoto Saparie
Biodata Gunoto Saparie:
Gunoto Saparie lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan formal yang ditempuh adalah Sekolah Dasar Negeri Kadilangu, Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Pertama Negeri Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Negeri Kendal, Akademi Uang dan Bank Yogyakarta, dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Sedangkan pendidikan nonformal Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah Tlahab, Gemuh, Kendal dan Pondok Pesantren KH Abdul Hamid Tlahab, Gemuh, Kendal.
Selain menulis puisi, ia juga mencipta cerita pendek, kritik sastra, esai, kolom, dan artikel tentang kesenian, ekonomi, politik, dan agama, yang dimuat di sejumlah media cetak terbitan Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, Brunei Darussalam, Malaysia, Australia, dan Prancis. Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981), Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996), Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018), Mendung, Kabut, dan Lain-Lain (Cerah Budaya Indonesia, Jakarta, 2019), dan Lirik (Pelataran Sastra Kaliwungu, Kendal, 2020).
Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004).
Novelnya Selamat Siang, Kekasih dimuat secara bersambung di Mingguan Bahari, Semarang (1978) dan Bau (Pelataran Sastra Kaliwungu, Kendal, 2019) yang menjadi nomine Penghargaan Prasidatama 2020 dari Balai Bahasa Jawa Tengah.
Ia juga pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015). Sejumlah puisi, cerita pendek, dan esainya termuat dalam antologi bersama para penulis lain.
Puisinya juga masuk dalam buku Manuel D'Indonesien Volume I terbitan L'asiatheque, Paris, Prancis, Januari 2012. Ia juga menulis puisi berbahasa Jawa (geguritan) di Panjebar Semangat dan Jaya Baya. Ia pernah menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta), Tanahku (Semarang), Delik Hukum Jateng (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang), Pemimpin Redaksi Radio Gaya FM (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Faktual (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Otobursa Plus (Semarang), dan Redaktur Legislatif (Jakarta). Kini ia masih aktif menjadi Redaktur Pelaksana Majalah Info Koperasi (Kendal), Majalah Justice News (Semarang), dan Majalah Opini Publik (Blora).
Saat ini Gunoto Saparie menjabat Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua III Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Jawa Tengah, Ketua Umum Perkumpulan Penulis Indonesia ‘Satupena’ Jawa Tengah, dan Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah. Sebelumnya ia pernah menjabat Ketua Kelompok Studi Seni Remaja (KSSR) Kendal, Ketua Pelaksana Dewan Teater Kendal, Sekretaris Forum Komunikasi Studi Mahasiswa Kekaryaan (Fokusmaker) Jawa Tengah, Wakil Ketua Ormas MKGR Jawa Tengah, Fungsionaris DPD Partai Golkar Jawa Tengah, Sekretaris DPD Badan Informasi dan Kehumasan Partai Golkar Jawa Tengah, dan Sekretaris Bidang Kehumasan DPW Partai Nasdem Jawa Tengah.
Sejumlah penghargaan di bidang sastra, kebudayaan, dan jurnalistik telah diterimanya, antara lain dari Kepala Perwakilan PBB di Jakarta dan Nairobi, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia Pusat, Menteri Perumahan Rakyat, Menteri Penerangan, Menteri Luar Negeri, Menteri Lingkungan Hidup, Pangdam IV/ Diponegoro, dan Kepala Balai Bahasa Jawa Tengah.
