Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Menikuskan Tikus (Karya F. Rahardi)

Puisi "Menikuskan Tikus" adalah sebuah kritik tajam terhadap perilaku manusia yang sering kali terjebak dalam siklus kehancuran sosial akibat ...
Menikuskan Tikus

Kalau tikus sudah tidak seperti tikus lagi
apa jadinya dengan manusia?
kalau tikus-tikus sudah tidak seperti tikus lagi
sudah menjadi jinak
sudah mau dielus-elus
dimasukkan ke dalam celana kolor
tidak mau lagi mengganggu manusia
tidak mau mencuri
tidak mau merusak barang-barang

Kalau tikus sudah tidak seperti tikus lagi
bagaimana dengan manusia?

Manusia sudah tidak seperti manusia lagi
manusia-manusia itu mulai berkumis
mulai berekor dan gemar mengendap-endap
di tempat gelap
sambil menyuruk-nyurukkan moncong
dan mencuri apa saja yang dapat dicuri
"Ini tidak boleh terjadi"
kata seorang suami pada istrinya

"Tikus harus kita kembalikan menjadi tikus
kita tidak boleh mengusiknya
tidak boleh mengganggunya
Tikus-tikus itu harus kita biarkan makan
apa saja dan merusak apa saja yang disukainya"

Dan tikus-tikus itu lalu merdeka
dengan leluasa dia makan apa saja
merusak apa saja
bahkan tikus-tikus itu berani
memanjat tubuh manusia lalu
menggigiti bibir yang barusan makan ikan asin
bibir suami itu berdarah
mulut istri menjerit

"Tenang" kata suami
"aku tetap manusia
dan dia normal sebagai tikus"
"Tapi lihat bibirmu berdarah kan
tikus-tikus itu harus dibasmi
dibunuh
dimusnahkan"

"Biar saja bibir berdarah kan bisa diobati
Menggigit dan mencuri
memang sudah perangai tikus
itu normal
sebagai manusia, kita harus
tetap berperangai manusia
paling-paling dituntut
untuk lebih berhati-hati"

"Kalau begitu tikus-tikus itu harus kita jinakkan
agar tikus-tikus itu tetap menjadi tikus
dan kita tetap menjadi manusia"

Istri itu lalu selalu menyediakan
makanan yang lezat-lezat
di atas meja makan
tanpa menutupinya
ketika barisan tikus datang menyerbu
dibiarkannya saja
hingga dalam sekejap makanan itu habis
lemari makan dan tempat beras
juga dibiarkannya tetap terbuka

Lama-kelamaan tikus itu
menjadi jinak
dan mau dipegang-pegang

Tikus-tikus harus tetap menjadi tikus
dan manusia juga harus tetap jadi manusia

Ketika pada suatu hari
datang seekor kucing
istri itu dengan ganas menangkapnya
kucing itu dipotong
dagingnya dicincang dan diberikannya
pada tikus-tikus itu

Tikus-tikus itu semakin jinak
dia tenang saja ketika dielus-elus
dan anak-anak tikus dengan leluasa
main petak umpet
dan keluar masuk kutang dan daster

Syahdan,
tikus-tikus itupun beranak pinak
dan jadi ribuan
gaji suami itu habis untuk makanan tikus
tak ada lagi untuk keperluan lain
mereka lalu sering cek-cok
dan akhirnya
suami-istri itu bercerai

Tikus harus kembali jadi tikus
dan manusia juga harus tetap manusia

Setelah bercerai
laki-laki itu menjadi duda
dan perempuan itu menjadi janda
tapi tikus-tikus itu tetap saja leluasa
makan makanan manusia dan
merusak barang-barang manusia

Sejak perceraian
perempuan itu lalu sering tampak seperti tikus
mengendap-endap di tempat gelap
dan berbuat seperti tikus

Namun setelah menjadi janda
dia tidak dapat lagi
menyediakan makan yang lezat-lezat
untuk para tikus
mula-mula beras digantinya
dengan singkong
lama-lama jatah untuk tikus
itu dihapus sama sekali

Tikus kembali menjadi tikus
tapi manusia susah kembali jadi manusia

Laki-laki itu lalu
lebih sering menjadi tikus
datang ke tempat-tempat gelap
menyuruk-nyurukkan moncongnya
dan berlarian manakala lampu mobil
menyorotnya
ternyata hidup menduda
lebih besar ongkosnya

“"ikus jantan tetap perlu pasangan
tikus betina" katanya pada dirinya sendiri
"Aku harus rujuk dengan mantan istriku"

Tatkala laki-laki itu
menjumpai mantan istrinya
lalu mengajaknya rujuk
perempuan itu mengajukan syarat

"Oke, oke
kita bisa rujuk
tapi you mesti belikan aku rumah
yang bebas tikus
dengan AC
dengan taman
dengan garasi
dengan antena parabola
dengan telepon
dengan ……"

"I know, I know
aku belikan, aku sanggup"
Laki-laki dan perempuan itu
lalu kembali menjadi suami istri
mereka menempati rumah tipe 500
di atas lahan seluas 2.000 meter persegi
di kawasan yang nyaman.

Tikus boleh tidak seperti tikus
tapi kalau manusia mau cepat makmur
harus mau menjadi tikus

Laki-laki itu lalu menjadi tikus got
dinding-dinding kantor digigit
laci meja dikerat
brankas dibobol dari bawah
kuitansi dikunyah-kunyah
dan cek dijadikan snack
dia lalu menjadi tikus gendut yang lucu

Tikus boleh kembali menjadi tikus
tapi manusia sulit untuk tetap menjadi tikus

Sepandai-pandai tikus melompat
akhirnya ngumpet juga di dalam lubang
Sepandai-pandai manusia berjingkat
akhirnya kejeblos juga ke dalam penjara

Laki-laki itu lalu berhenti menjadi tikus
dia kembali menjadi manusia
yang tua
kegemukan
dan sengsara

Laki-laki itu tidur
bersama tikus
makan bersama tikus
berak bersama tikus
tikus-tikus yang kuat
yang pernah membunuh teman
yang pernah memperkosa tetangga
yang pernah merampok negara

Tikus jelas bukan manusia
dan manusia bukan tikus
tapi laki-laki itu kini bingung
dia sulit membedakan
mana yang namanya manusia
dan mana yang bernama tikus.

Sumber: Pidato Akhir Tahun Seorang Germo (1997)

Analisis Puisi:

Puisi "Menikuskan Tikus" karya F. Rahardi adalah sebuah karya yang sarat dengan alegori tentang perubahan perilaku manusia, peran sosial, dan identitas dalam kehidupan modern. Melalui perbandingan antara manusia dan tikus, puisi ini menggambarkan bagaimana perubahan dalam perilaku dapat memengaruhi struktur sosial, hubungan antar manusia, dan nilai-nilai yang dijunjung. Secara keseluruhan, puisi ini menciptakan gambaran ironis mengenai bagaimana manusia, yang seharusnya menjaga kemanusiaannya, justru terkadang terjebak dalam perangai dan kebiasaan yang tak terhormat, seperti tikus yang merusak dan mencuri.

Perbandingan Antara Manusia dan Tikus

Puisi dimulai dengan gambaran tentang tikus yang tidak lagi berperilaku seperti tikus, tetapi menjadi "jinak," tidak lagi mengganggu atau merusak barang-barang manusia. Dalam penggambaran ini, tikus digambarkan sebagai makhluk yang biasanya tercela—mencuri, merusak, dan mengganggu—namun seiring waktu mereka berubah menjadi lebih lembut dan tidak lagi menimbulkan masalah. Hal ini memberi pertanyaan mendalam: "Kalau tikus sudah tidak seperti tikus lagi, apa jadinya dengan manusia?"

Penyair kemudian memperlihatkan perubahan drastis dalam perilaku manusia, yang malah mulai menunjukkan sifat-sifat tikus: "berkumis, berekor, dan gemar mengendap-endap." Manusia mulai terjerumus ke dalam perangai buruk, mencuri, mengendap-endap, dan merusak. Perubahan tersebut menggambarkan kecenderungan manusia untuk tergoda oleh hawa nafsu dan ketamakan, yang pada akhirnya mengubah mereka menjadi sosok yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan yang sejati.

Kehidupan dan Ketidakseimbangan Sosial

Di dalam puisi ini, konflik antara suami dan istri muncul sebagai simbol dari ketidakseimbangan sosial yang semakin memburuk. Ketika tikus-tikus mulai merusak segala sesuatu dan menggigit bibir sang suami, sang istri memberikan pandangan yang lebih toleran terhadap perilaku tikus. Dia berpikir bahwa perilaku tikus adalah hal yang "normal" dan harus dibiarkan berlangsung. Namun, suami justru ingin menanggulangi masalah ini dengan cara yang lebih keras, menginginkan tikus-tikus dibasmi.

Melalui percakapan ini, F. Rahardi menyampaikan ketegangan antara pandangan pragmatis dan idealis dalam kehidupan sehari-hari, terutama mengenai masalah sosial yang harus diselesaikan. Sang suami menginginkan agar ketertiban dan peraturan ditegakkan, sementara sang istri lebih cenderung membiarkan segala sesuatunya berjalan apa adanya, bahkan ketika keadaan semakin kacau.

Mengelola Ketidakseimbangan dalam Kehidupan

Ketika tikus-tikus itu semakin jinak karena dibiasakan untuk hidup dengan makanan yang disediakan manusia, puisi ini menunjukkan bagaimana manusia terkadang "memanjakan" masalah sosial, bukannya menyelesaikannya. Tindakan istri yang terus memberikan makanan kepada tikus adalah cerminan dari kebijakan atau sikap yang justru memperburuk keadaan, bukan memperbaikinya. Tikus-tikus tersebut semakin berkembang biak, dan akhirnya menjadi terlalu banyak untuk ditangani, menimbulkan kerusakan yang lebih besar.

Konflik antara suami dan istri mencapai titik puncaknya ketika mereka akhirnya bercerai, masing-masing mengambil jalan yang berbeda. Namun, meskipun hubungan mereka hancur, tikus tetap merusak dan mengganggu, menggambarkan bagaimana masalah sosial yang tidak ditangani dengan bijak akan terus ada dan berkembang, bahkan setelah perubahan besar dalam struktur kehidupan.

Kritik terhadap Kehidupan Modern dan Ketamakan

Setelah perceraian, baik laki-laki maupun perempuan terjebak dalam kehidupan yang semakin dekat dengan sifat tikus. Laki-laki menjadi lebih sering berkelakuan seperti tikus: "berlarian manakala lampu mobil menyorotnya," dan terjerumus ke dalam dunia gelap yang penuh dengan kebohongan dan ketamakan. Laki-laki tersebut bahkan mengajukan permintaan untuk rujuk dengan mantan istrinya, dengan syarat yang absurd—sebuah rumah mewah dengan segala fasilitas, yang menunjukkan betapa ketamakan telah mengambil alih perilaku manusia.

Penyair menekankan bahwa dalam kehidupan modern yang penuh dengan tekanan sosial dan ekonomi, manusia seringkali tergoda untuk menjadi "tikus," yaitu menjadi serakah, egois, dan terjerumus dalam perilaku yang tidak terhormat untuk mencapai keuntungan pribadi. Puisi ini seolah mengingatkan kita bahwa meskipun kita berusaha untuk "menjinakkan tikus," masalah sosial yang lebih besar dan lebih kompleks tetap ada, bahkan berkembang lebih buruk.

Akhir dari puisi ini membawa pembaca pada refleksi mendalam tentang bagaimana manusia, meskipun dapat berusaha untuk "kembali menjadi manusia," sering kali terperangkap dalam perangai buruk yang merusak. Tokoh laki-laki, yang akhirnya bingung membedakan antara manusia dan tikus, menunjukkan bahwa di dunia yang penuh dengan kebohongan, ketamakan, dan pengabaian nilai-nilai moral, garis antara yang baik dan yang buruk menjadi semakin kabur.

F. Rahardi menggunakan tikus sebagai metafora untuk menggambarkan bagaimana perilaku buruk bisa berakar dalam masyarakat dan menyebar ke dalam perilaku individu. Pesan moral dari puisi ini adalah bahwa meskipun perubahan sosial dan struktur kehidupan dapat mempengaruhi kita, kita harus tetap berusaha untuk menjaga kemanusiaan dan moralitas kita, tanpa tergoda untuk menjadi "tikus" dalam kehidupan ini.

Puisi "Menikuskan Tikus" adalah sebuah kritik tajam terhadap perilaku manusia yang sering kali terjebak dalam siklus kehancuran sosial akibat ketamakan, pengabaian moralitas, dan kebijakan yang tidak bijaksana.

F. Rahardi
Puisi: Menikuskan Tikus
Karya: F. Rahardi

Biodata F. Rahardi:
  • F. Rahardi (Floribertus Rahardi) lahir pada tanggal 10 Juni 1950 di Ambarawa, Jawa Tengah.
© Sepenuhnya. All rights reserved.