Sumber: Pidato Akhir Tahun Seorang Germo (1997)
Analisis Puisi:
Puisi "Menikuskan Tikus" karya F. Rahardi adalah sebuah karya yang sarat dengan alegori tentang perubahan perilaku manusia, peran sosial, dan identitas dalam kehidupan modern. Melalui perbandingan antara manusia dan tikus, puisi ini menggambarkan bagaimana perubahan dalam perilaku dapat memengaruhi struktur sosial, hubungan antar manusia, dan nilai-nilai yang dijunjung. Secara keseluruhan, puisi ini menciptakan gambaran ironis mengenai bagaimana manusia, yang seharusnya menjaga kemanusiaannya, justru terkadang terjebak dalam perangai dan kebiasaan yang tak terhormat, seperti tikus yang merusak dan mencuri.
Perbandingan Antara Manusia dan Tikus
Puisi dimulai dengan gambaran tentang tikus yang tidak lagi berperilaku seperti tikus, tetapi menjadi "jinak," tidak lagi mengganggu atau merusak barang-barang manusia. Dalam penggambaran ini, tikus digambarkan sebagai makhluk yang biasanya tercela—mencuri, merusak, dan mengganggu—namun seiring waktu mereka berubah menjadi lebih lembut dan tidak lagi menimbulkan masalah. Hal ini memberi pertanyaan mendalam: "Kalau tikus sudah tidak seperti tikus lagi, apa jadinya dengan manusia?"
Penyair kemudian memperlihatkan perubahan drastis dalam perilaku manusia, yang malah mulai menunjukkan sifat-sifat tikus: "berkumis, berekor, dan gemar mengendap-endap." Manusia mulai terjerumus ke dalam perangai buruk, mencuri, mengendap-endap, dan merusak. Perubahan tersebut menggambarkan kecenderungan manusia untuk tergoda oleh hawa nafsu dan ketamakan, yang pada akhirnya mengubah mereka menjadi sosok yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan yang sejati.
Kehidupan dan Ketidakseimbangan Sosial
Di dalam puisi ini, konflik antara suami dan istri muncul sebagai simbol dari ketidakseimbangan sosial yang semakin memburuk. Ketika tikus-tikus mulai merusak segala sesuatu dan menggigit bibir sang suami, sang istri memberikan pandangan yang lebih toleran terhadap perilaku tikus. Dia berpikir bahwa perilaku tikus adalah hal yang "normal" dan harus dibiarkan berlangsung. Namun, suami justru ingin menanggulangi masalah ini dengan cara yang lebih keras, menginginkan tikus-tikus dibasmi.
Melalui percakapan ini, F. Rahardi menyampaikan ketegangan antara pandangan pragmatis dan idealis dalam kehidupan sehari-hari, terutama mengenai masalah sosial yang harus diselesaikan. Sang suami menginginkan agar ketertiban dan peraturan ditegakkan, sementara sang istri lebih cenderung membiarkan segala sesuatunya berjalan apa adanya, bahkan ketika keadaan semakin kacau.
Mengelola Ketidakseimbangan dalam Kehidupan
Ketika tikus-tikus itu semakin jinak karena dibiasakan untuk hidup dengan makanan yang disediakan manusia, puisi ini menunjukkan bagaimana manusia terkadang "memanjakan" masalah sosial, bukannya menyelesaikannya. Tindakan istri yang terus memberikan makanan kepada tikus adalah cerminan dari kebijakan atau sikap yang justru memperburuk keadaan, bukan memperbaikinya. Tikus-tikus tersebut semakin berkembang biak, dan akhirnya menjadi terlalu banyak untuk ditangani, menimbulkan kerusakan yang lebih besar.
Konflik antara suami dan istri mencapai titik puncaknya ketika mereka akhirnya bercerai, masing-masing mengambil jalan yang berbeda. Namun, meskipun hubungan mereka hancur, tikus tetap merusak dan mengganggu, menggambarkan bagaimana masalah sosial yang tidak ditangani dengan bijak akan terus ada dan berkembang, bahkan setelah perubahan besar dalam struktur kehidupan.
Kritik terhadap Kehidupan Modern dan Ketamakan
Setelah perceraian, baik laki-laki maupun perempuan terjebak dalam kehidupan yang semakin dekat dengan sifat tikus. Laki-laki menjadi lebih sering berkelakuan seperti tikus: "berlarian manakala lampu mobil menyorotnya," dan terjerumus ke dalam dunia gelap yang penuh dengan kebohongan dan ketamakan. Laki-laki tersebut bahkan mengajukan permintaan untuk rujuk dengan mantan istrinya, dengan syarat yang absurd—sebuah rumah mewah dengan segala fasilitas, yang menunjukkan betapa ketamakan telah mengambil alih perilaku manusia.
Penyair menekankan bahwa dalam kehidupan modern yang penuh dengan tekanan sosial dan ekonomi, manusia seringkali tergoda untuk menjadi "tikus," yaitu menjadi serakah, egois, dan terjerumus dalam perilaku yang tidak terhormat untuk mencapai keuntungan pribadi. Puisi ini seolah mengingatkan kita bahwa meskipun kita berusaha untuk "menjinakkan tikus," masalah sosial yang lebih besar dan lebih kompleks tetap ada, bahkan berkembang lebih buruk.
Akhir dari puisi ini membawa pembaca pada refleksi mendalam tentang bagaimana manusia, meskipun dapat berusaha untuk "kembali menjadi manusia," sering kali terperangkap dalam perangai buruk yang merusak. Tokoh laki-laki, yang akhirnya bingung membedakan antara manusia dan tikus, menunjukkan bahwa di dunia yang penuh dengan kebohongan, ketamakan, dan pengabaian nilai-nilai moral, garis antara yang baik dan yang buruk menjadi semakin kabur.
F. Rahardi menggunakan tikus sebagai metafora untuk menggambarkan bagaimana perilaku buruk bisa berakar dalam masyarakat dan menyebar ke dalam perilaku individu. Pesan moral dari puisi ini adalah bahwa meskipun perubahan sosial dan struktur kehidupan dapat mempengaruhi kita, kita harus tetap berusaha untuk menjaga kemanusiaan dan moralitas kita, tanpa tergoda untuk menjadi "tikus" dalam kehidupan ini.
Puisi "Menikuskan Tikus" adalah sebuah kritik tajam terhadap perilaku manusia yang sering kali terjebak dalam siklus kehancuran sosial akibat ketamakan, pengabaian moralitas, dan kebijakan yang tidak bijaksana.
Karya: F. Rahardi
Biodata F. Rahardi:
- F. Rahardi (Floribertus Rahardi) lahir pada tanggal 10 Juni 1950 di Ambarawa, Jawa Tengah.
