Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Pertemuan Terakhir (Karya Rusli Marzuki Saria)

Puisi "Pertemuan Terakhir" karya Rusli Marzuki Saria menggambarkan sebuah pertemuan yang penuh makna dengan seorang kolonel tua di sebuah desa yang ..
Pertemuan Terakhir
Dengan Seorang Kolonel Tua

Rintik-rintik rinai alangkah dinginnya.
Di sebuah desa bekas kubu
Bonjol
Dan awan hitam berat nyelimuti
ini perbukitan
Amnesti diumumkan Tiran

1967

Sumber: Horison (Mei, 1974)

Analisis Puisi:

Puisi "Pertemuan Terakhir dengan Seorang Kolonel Tua" karya Rusli Marzuki Saria menggambarkan sebuah pertemuan yang penuh makna dengan seorang kolonel tua di sebuah desa yang penuh sejarah. Melalui gambaran suasana alam dan latar belakang sejarah, puisi ini menyajikan perenungan mendalam tentang kehidupan, pertempuran, amnesti, dan bagaimana waktu mengubah segalanya.

Gambaran Alam yang Menggugah

Puisi ini dibuka dengan deskripsi suasana alam yang suram: "Rintik-rintik rinai alangkah dinginnya. Di sebuah desa bekas kubu Bonjol." Frasa ini memberikan kesan suasana yang dingin, sepi, dan penuh kenangan. Rintik hujan yang turun seakan menyimbolkan kesedihan atau melankolis, menambah nuansa tragis dalam puisi ini. Desa bekas kubu Bonjol mengingatkan kita pada peristiwa sejarah besar, khususnya tentang Perang Padri di Sumatra Barat yang terkenal dengan perlawanan hebat terhadap kolonialisme.

Bonjol sendiri adalah nama tempat yang memiliki keterkaitan erat dengan perjuangan rakyat Indonesia dalam melawan penjajahan Belanda, terutama di era awal abad ke-19. Dengan memilih Bonjol sebagai setting puisi, penyair seakan membawa pembaca kembali ke masa lalu, mengingatkan akan pertempuran dan penderitaan yang terjadi di sana.

Awan Hitam dan Perasaan yang Berat

Selanjutnya, puisi ini menggambarkan suasana yang lebih kelam, dengan awan hitam yang menyelimuti perbukitan. "Dan awan hitam berat nyelimuti ini perbukitan." Awan hitam di sini bukan hanya sekedar gambaran cuaca, melainkan juga sebagai metafora untuk perasaan berat, penuh penyesalan, atau kesedihan yang mendalam. Awan hitam bisa mengartikan suasana hati sang kolonel tua yang penuh dengan kenangan pahit, mungkin tentang pertempuran yang ia jalani atau keputusan-keputusan besar yang harus diambil dalam hidupnya.

Perbukitan yang diselimuti awan hitam ini juga dapat diinterpretasikan sebagai simbol dari sejarah yang selalu membebani. Seperti halnya perbukitan yang tak bisa dilihat dengan jelas karena tertutup kabut, begitu juga dengan sejarah yang penuh luka, yang sering kali sulit untuk dilupakan dan diterima.

Amnesti dan Pengampunan dalam Sejarah

Bagian penting dari puisi ini adalah penyebutan kata "Amnesti diumumkan Tiran." Amnesti, sebagai tindakan pengampunan atau pengurangan hukuman, membawa makna yang mendalam. Dalam konteks sejarah Indonesia, amnesti sering kali terkait dengan proses rekonsiliasi setelah periode panjang perjuangan dan konflik. Tiran dalam hal ini mungkin merujuk pada penguasa yang memberikan pengampunan, yang bisa jadi berhubungan dengan pemulihan politik atau pengakhiran dari sebuah era penindasan.

Namun, meskipun amnesti diumumkan, ada kesan bahwa pengampunan tersebut datang terlambat atau mungkin hanya bersifat formalitas. Mungkin sang kolonel tua merasakan bahwa meskipun pengampunan diberikan, ada kenangan dan luka lama yang tidak bisa begitu saja dilupakan atau dihapuskan. Keputusan-keputusan besar yang dibuat dalam masa lalu, apakah sebagai bagian dari sebuah sistem atau sebagai individu dalam perang, tidak dapat disangkal begitu saja.

Perpaduan Antara Kehidupan dan Sejarah

Puisi ini tidak hanya berbicara tentang seorang kolonel tua, tetapi juga menggambarkan bagaimana sejarah membentuk kehidupan individu dan masyarakat. Seperti halnya di Bonjol, yang dikenal sebagai tempat bersejarah, setiap pertempuran, perjuangan, atau keputusan besar pasti meninggalkan jejak. Kolonel tua ini, mungkin sebagai salah satu saksi hidup dari peristiwa sejarah, kini dihadapkan pada kenyataan bahwa pertempuran fisik telah berakhir, tetapi pertempuran batin dan ingatan akan masa lalu tetap terpatri.

Dalam konteks ini, puisi ini menyentuh isu besar tentang bagaimana individu, terutama mereka yang terlibat dalam sejarah kelam, mencoba berdamai dengan masa lalu. Ketika amnesti diumumkan, ada harapan bahwa mereka bisa hidup dengan lebih tenang, tetapi sejarah dan kenangan itu seakan membayangi mereka sepanjang hidup. Ini adalah gambaran yang sangat manusiawi tentang bagaimana pengampunan atau perdamaian terkadang tidak cukup untuk menyembuhkan luka-luka lama yang terus menghantui.

Puisi "Pertemuan Terakhir dengan Seorang Kolonel Tua" karya Rusli Marzuki Saria merupakan puisi yang kaya akan makna sejarah dan refleksi tentang kehidupan. Melalui gambaran suasana alam yang suram, kenangan sejarah, dan tema amnesti, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan bagaimana sejarah, terutama yang penuh dengan penderitaan dan perjuangan, membentuk kehidupan seseorang.

Kolonel tua dalam puisi ini tidak hanya mewakili satu individu, tetapi juga simbol dari banyak orang yang terlibat dalam perjuangan besar, yang kini harus menghadapi kenyataan bahwa meskipun amnesti dan pengampunan diberikan, perasaan dan kenangan masa lalu tetap menghantui. Puisi ini mengingatkan kita bahwa sejarah tidak hanya ditulis dalam buku, tetapi juga hidup dalam ingatan mereka yang mengalaminya, dan bahwa perdamaian sejati bukanlah hanya soal pengampunan, tetapi juga penerimaan atas masa lalu yang telah lewat.

Dengan pendekatan yang puitis dan simbolis, Rusli Marzuki Saria berhasil menyampaikan pesan yang dalam tentang pertemuan, pengampunan, dan sejarah, yang tetap relevan dan menyentuh hati setiap pembaca.

Rusli Marzuki Saria
Puisi: Pertemuan Terakhir
Karya: Rusli Marzuki Saria

Biodata Rusli Marzuki Saria:
  • Rusli Marzuki Saria lahir pada tanggal 26 Februari 1936 di Kamang, Bukittinggi.
© Sepenuhnya. All rights reserved.