Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Yang Tak Lupa (Karya Rusli Marzuki Saria)

Puisi "Yang Tak Lupa" karya Rusli Marzuki Saria menggambarkan sebuah perjalanan batin yang penuh dengan perasaan penderitaan, pemberontakan, dan ...
Yang Tak Lupa

Bagai kelambu nestapa diriku dalamnya
Berharap kepadanya dengan semua bengkalai kerja
Kugenggam sajak kehidupan
Tak bisa tumpas lapar tapi nanar oleh kata

Bila diriku siuman dari pemberontakan
Tidak terkatakan sesal sebab kemalangan
Kudukung di punggung lainnya berceceran
Semua takdir kita yang punya

1963

Sumber: Parewa (1998)

Analisis Puisi:

Puisi "Yang Tak Lupa" karya Rusli Marzuki Saria menggambarkan sebuah perjalanan batin yang penuh dengan perasaan penderitaan, pemberontakan, dan pencarian makna dalam kehidupan. Puisi ini membawa pembaca pada perjalanan batin yang menggambarkan bagaimana seseorang menghadapi kelamnya kehidupan, namun tetap menyimpan harapan dan kekuatan untuk bertahan.

"Bagai Kelambu Nestapa Diriku Dalamnya"

Pembukaan puisi ini dengan frasa "Bagai kelambu nestapa diriku dalamnya" memberikan gambaran tentang seorang individu yang merasa terperangkap dalam penderitaan. Kelambu sering kali diidentifikasikan dengan sesuatu yang melindungi atau menutupi, namun dalam konteks ini, kelambu menjadi simbol dari penderitaan yang menyelimuti sang pemilik puisi. Ini menggambarkan betapa sang penyair merasa terkungkung dalam sebuah situasi yang tidak menyenangkan, namun tetap harus berjuang di dalamnya.

Kata "nestapa" yang berarti penderitaan, menambah intensitas perasaan terperangkap dalam kesulitan hidup yang tidak kunjung reda. Penderitaan ini datang dengan segala bentuk kesulitan yang tidak dapat dihindari, namun tetap harus dihadapi.

Harapan dan Kehidupan yang Terus Berjalan

Pada baris "Berharap kepadanya dengan semua bengkalai kerja", pembaca dihadapkan pada kenyataan bahwa meskipun dalam keadaan penuh penderitaan, sang penyair tetap berharap pada sesuatu atau seseorang untuk memberikan perubahan atau pencerahan. "Bengkalai kerja" menggambarkan usaha yang terasa sia-sia, namun di balik itu ada harapan yang tidak pernah padam. Dalam kehidupan yang penuh dengan kerja keras dan perjuangan, ada harapan bahwa setiap usaha itu akan membuahkan hasil, meskipun terkadang rasa frustasi datang begitu kuat.

Sajak Kehidupan dan Ketidakmampuan untuk Mengatasi Lapar

Pada bagian berikutnya, "Kugenggam sajak kehidupan / Tak bisa tumpas lapar tapi nanar oleh kata", kita melihat bahwa sang penyair mencoba untuk mencari makna dalam hidupnya melalui sajak atau puisi. Sajak kehidupan ini menjadi sarana untuk mengekspresikan perasaan, namun di sisi lain, sajak ini juga menggambarkan ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup seperti lapar. Meskipun kata-kata memiliki kekuatan untuk mengungkapkan perasaan, terkadang kata-kata tidak dapat menyelesaikan masalah-masalah nyata dalam kehidupan seperti perasaan lapar atau ketidakpuasan.

Namun, "nanar oleh kata" menggambarkan betapa kata-kata itu kadang membingungkan atau tidak cukup untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi. Ini menunjukkan kontras antara kekuatan kata dalam puisi dengan ketidakmampuan kata untuk menyelesaikan masalah nyata dalam kehidupan yang lebih konkret.

Pemberontakan dan Kesadaran atas Takdir

Baris "Bila diriku siuman dari pemberontakan / Tidak terkatakan sesal sebab kemalangan" mengungkapkan bahwa ada pemberontakan batin yang terjadi dalam diri penyair. Pemberontakan ini mungkin merujuk pada perjuangan untuk melawan takdir atau kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan. Namun, ketika penyair "siuman" dari pemberontakan tersebut, ia menyadari bahwa tidak ada gunanya menyesali kemalangan atau penderitaan yang telah terjadi. Ini menunjukkan penerimaan terhadap kenyataan hidup, meskipun penuh dengan rasa pahit dan ketidakadilan.

Frasa ini mengandung pesan penting bahwa meskipun kita terkadang merasa marah atau frustrasi dengan takdir, pada akhirnya kita harus menerima kenyataan itu tanpa menyesali masa lalu. Proses penyadaran ini adalah bagian dari perjalanan batin untuk menemukan kedamaian dan makna dalam hidup.

Takdir yang Kita Punya

Pada bagian terakhir puisi, "Kudukung di punggung lainnya berceceran / Semua takdir kita yang punya", terdapat gambaran tentang bagaimana seseorang harus menerima dan menghadapinya. Takdir yang kita miliki, baik itu kesulitan atau keberhasilan, adalah milik kita sendiri. Kalimat ini mengandung makna bahwa takdir tidak bisa dipilih, tetapi kita memiliki kekuatan untuk menghadapinya, bahkan ketika itu terasa berat.

Bergantung pada perspektif kita, takdir bisa dianggap sebagai sesuatu yang bisa dipahami dan diterima atau sesuatu yang penuh dengan pertanyaan. Dalam konteks ini, "takdir kita yang punya" mencerminkan sebuah kesadaran bahwa meskipun kita mungkin merasa takdir itu "membuang" kita ke dalam penderitaan, pada akhirnya, kita bertanggung jawab untuk hidup kita dan jalan yang kita pilih.

Puisi "Yang Tak Lupa" karya Rusli Marzuki Saria adalah sebuah karya yang berbicara tentang penerimaan terhadap penderitaan dan takdir hidup. Dalam perjalanan batin yang digambarkan, kita melihat bagaimana seseorang berjuang dengan berbagai kesulitan dan pemberontakan, namun pada akhirnya belajar untuk menerima kenyataan hidup. Puisi ini mengajak pembaca untuk tidak terlalu terjebak dalam penyesalan, tetapi lebih pada bagaimana kita menghadapi takdir dan menemukan makna dalam kehidupan yang penuh dengan perasaan, kerja keras, dan harapan.

Setiap baris dalam puisi ini menggambarkan dinamika batin yang kuat antara penderitaan, pencarian makna, dan penerimaan terhadap kenyataan hidup. Melalui puisi ini, penyair mengajarkan kita untuk tidak melupakan perjalanan hidup kita, meskipun penuh dengan kemalangan dan ketidakpastian.

Rusli Marzuki Saria
Puisi: Yang Tak Lupa
Karya: Rusli Marzuki Saria

Biodata Rusli Marzuki Saria:
  • Rusli Marzuki Saria lahir di Kamang, Bukittinggi, pada tanggal 26 Februari 1936.
© Sepenuhnya. All rights reserved.