Di Altar Purba-Mu, 1999 (1)
Di altar purba-Mu
Kusujudkan rindu derai dukaku
Aku datang
Berbeban bumi langit tanahku senja yang terbakar
Aku datang
Berbeban topan, samudra, dan gunung-gunung prahara
Labbaik. Allahumma ...
Labbaik. Laa syarika lak
Di Altar Purba-Mu, 1999 (2)
Di tanahairku, Tuhan
Sudah lebih empat windu
Rakyat dicengkeram para durjana
Mereka melahap tambang-tambang
Merampas tanah-tanah petani dan orang-orang miskin
di seantero kota dan desa
Mereka merenggut tambak-tambak dan ladang-ladang nelayan
sarang-sarang burung
tempat-tempat parkir
kebun-kebun cengkeh dan jeruk
lisensi, konsesi, dan modal-modal asing
proyek-proyek pembangunan dan hutang-hutang luarnegeri
Mereka memperkaya diri tujuh generasi. Secara haram dan mungkar
Untuk itulah mereka menjual tanahair dan ayat-ayat-Mu. Secara picisan
Mereka bahkan tak bermalu keluar-masuk di altar puji-suci-Mu
Meski merekalah biang penyembah berhala. Harta dan kekuasaan
Dengan tumpukan uang haram-mungkar itu pula
Mereka menyebar kerusuhan. Pemboman. Pembantaian. Dan narkotika
Mereka tiada hentinya menista segenap yang berharga
Mengkhianati segenap yang mulia. Di tanahairku
Maka udara pun jadi racun
Sungai-sungai jadi comberan
Laut jadi sarang perompak. Yang dipelihara
Para pejabat patroli laut
Seperti para polisi, jaksa, dan hakim memelihara kawanan durjana itu
Puluhan rimba luas teduh masa depan kami
Jadi gugusan tunggul-tunggul mati. Di sepanjang katulistiwa
Puluhan juta remaja bugar masa depan kami
Menua renta seketika. Karena narkotika
Di Altar Purba-Mu, 1999 (3)
Kini, di kaki-Mu
Kuonggokkan pongahku dari seminar-seminar
Dari layar-layar televisi. Dari corong-corong radio
Setelah geram dan pilu
Kukembalikan segalanya kepada-Mu
Setelah terhempas dan tersedu. Berkali-kali
Tuhanku
Sudah puluhan tahun para durjana itu menyebar kezaliman
Derita yang mereka timpakan pada bangsa kami sudah terlampau dalam
Menimbun batas maaf kami
Maka jatuhkanlah siksa-kutuk-Mu kepada mereka
Di dunia dan di akhirat! Hingga mereka mengembalikan
Milik rakyat. Fakir miskin. Dan anak-anak yang hidup sendiri
Milik jutaan keluarga telantar dan ratusan ribu pengungsi
Milik generasi-generasi yang datang nanti
Tumbuhkanlah di negeriku, Ya Robbi
Lebih dari cukup penegak kebenaran dan keadilan
Yang takut kepada-Mu saja. Yang tulus menyembah-Mu. Selalu
Jadikanlah hamba di antara mereka
Bimbinglah kami menuju ridho-Mu
Dan tanamkanlah keteguhan persatuan di dada kami. Selalu
Demi Sembilan Puluh Sembilan Nama-Mu Yang Maha Benar dan Indah!
Jadikanlah kami penerima yang sebaik-baiknya
Dari amanah negeri ini! Dari amanah kemerdekaan ini! Selalu
Selalu. Selalu. Selalu, Ya Robbi!
Di Altar Purba-Mu, 1999 (4)
Tuhanku
Engkaulah mata hati
Derai cintaku
Di altar purba-Mu
Engkaulah saksi kembaliku. Dari Uhud
Kala kuseret-seret jantungku
Sepanjang tawaf. Sepanjang kekerasan melempar jemarat
Sepanjang perbukitan berdebu. Menuju rumah-Mu
Terimakasih, Tuhan
Kau perkenankan jua jantungku yang terseret-seret ini
Bersujud. Terus bersujud. Pada kasih-kuasa-Mu
Labbaik allahumma labbaik
Laa syarika laka labbaik!
Sebab hanya dari-Mu aku bisa kembali
Merebut yang harus. Menyelamatkan yang mesti
Madison-Jakarta, 2001-2002
Sumber: Rimba Bayang-Bayang (2003)
Analisis Puisi:
Puisi "Di Altar Purba-Mu, 1999" karya Mochtar Pabottingi adalah karya sastra yang sarat makna, menggambarkan perasaan sang penyair terhadap kondisi tanah airnya. Puisi ini mengangkat isu-isu sosial dan politik, serta menyuarakan kegelisahan atas kezaliman yang dialami oleh rakyat Indonesia.
- Di Altar Purba-Mu, 1999 (1): Puisi ini dibuka dengan gambaran penyair yang bersujud di altar purba, mengekspresikan rindu dan derita yang dirasakannya. Ada perasaan sakit, namun di sana juga terdapat pemujaan dan pengakuan kepada kebesaran Tuhan. Penggunaan kata "Labbaik. Allahumma ..." menciptakan atmosfer keagamaan dan mengundang pembaca untuk ikut merenungkan hubungan antara manusia dan Tuhan.
- Di Altar Purba-Mu, 1999 (2): Bagian ini menyoroti permasalahan sosial dan politik yang dihadapi oleh tanah air. Melalui penggunaan bahasa yang kuat, penyair menggambarkan kondisi kejam yang dialami rakyat oleh para durjana yang melahap sumber daya alam dan kekayaan negeri. Puisi ini menciptakan citra kebobrokan moral dan ekonomi yang mempengaruhi seluruh aspek kehidupan.
- Di Altar Purba-Mu, 1999 (3): Penyair kemudian menghadapkan dirinya di kaki Tuhan, mengekspresikan kerendahan hati dan penyesalan atas keadaan yang terjadi. Ada ungkapan pengembalian segala sesuatu kepada Tuhan setelah melalui pengalaman pahit dan pilu. Tuntutan atas keadilan dan ketegasan Tuhan ditujukan kepada para durjana yang telah melakukan kezaliman.
- Di Altar Purba-Mu, 1999 (4): Puisi ditutup dengan pengakuan cinta dan syukur kepada Tuhan. Kata-kata "Engkaulah mata hati" menciptakan kesan kedalaman spiritual dan hubungan yang erat antara penyair dengan Tuhan. Penyair bersujud dan bersyukur atas kasih dan kekuasaan Tuhan.
Tema
- Keadilan dan Kezaliman: Puisi ini secara konsisten mengangkat tema keadilan dan kezaliman yang terjadi di tanah air. Penyair dengan tegas mengecam perilaku para durjana yang merugikan rakyat dan merusak lingkungan.
- Hubungan Manusia dengan Tuhan: Penggunaan kata-kata keagamaan dan ungkapan syukur menciptakan tema hubungan manusia dengan Tuhan. Penyair merenungkan peran Tuhan dalam menghadapi kesulitan dan mencari petunjuk-Nya.
- Cinta Tanah Air: Walaupun menyuarakan keprihatinan dan kritik terhadap kondisi negara, puisi ini juga mencerminkan cinta dan kesetiaan penyair terhadap tanah airnya.
Gaya Bahasa
- Metafora dan Simbolisme: Puisi ini dipenuhi dengan metafora dan simbolisme yang kuat, seperti "di altar purba-Mu," yang menjadi representasi tempat penyair mencurahkan perasaan dan rindu kepada Tuhan. Gambaran topan, samudra, dan gunung-gunung prahara melambangkan tantangan dan kesulitan yang dihadapi.
- Bahasa yang Emosional: Penggunaan bahasa yang emosional, seperti "terhempas dan tersedu," memberikan kekuatan ekspresi terhadap perasaan penyair terhadap kondisi negara dan ketidakadilan yang terjadi.
Puisi "Di Altar Purba-Mu, 1999" merupakan karya sastra yang penuh dengan kritik sosial dan ungkapan keagamaan. Mochtar Pabottingi berhasil menyampaikan pesan keadilan, penyesalan, dan cinta tanah air dengan menggunakan bahasa yang indah dan kuat. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenung tentang kondisi bangsa dan peran Tuhan dalam menghadapi tantangan kehidupan.
