Hilang
sehabis tiada suara
lalu gelap semata pada mata
tiba-tiba, Tuhan terbata-bata
: "Ada!" Ada lampu
itukah sinar perindu?
sepi. Duduk di bumi tak menyentuh hari
tak ada bunyi. Tak ada yang dapat dimengerti
suara angin? Melangkah kaki mengikut getaran.
hitam semata hitam
hitam semata rawan
hitam semata kelam
benarkah ini aku?
benarkah ini diriku?
ada terasa, di sini, di tubuh dan jiwaku.
1973
Sumber: Horison (Juni, 1974)
Analisis Puisi:
Puisi "Hilang" karya Bambang Sarwono menghadirkan gambaran tentang kesepian yang mendalam dan pencarian akan makna eksistensi dalam keadaan yang gelap dan sunyi. Dengan bahasa yang penuh makna, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan kondisi spiritual dan emosional yang terasa terasingkan, seakan ada perasaan kehilangan yang tidak dapat dijelaskan.
Kehilangan yang Tak Terucapkan
Puisi ini dibuka dengan kalimat "sehabis tiada suara," yang langsung membawa pembaca pada suasana hening yang mencekam. Keheningan ini menggambarkan kehilangan, baik dalam arti fisik maupun emosional. Keheningan tersebut bukan hanya sekadar ketiadaan suara, melainkan juga ketidakhadiran yang lebih mendalam, yang mengandung rasa kehilangan yang tak terungkapkan.
Ketika "gelap semata pada mata," kita diperkenalkan pada ketidakjelasan yang menyelimuti diri. Gelap ini tidak hanya merujuk pada keadaan fisik yang gelap, tetapi juga menggambarkan kegelapan batin yang menghampiri si narator, yang seolah-olah kehilangan arah dan makna dalam hidupnya. Dalam kegelapan itu, Tuhan pun "terbata-bata," seakan berbicara dalam kebingungan, menunjukkan bahwa bahkan kekuatan yang paling besar pun merasa terhimpit oleh keheningan dan ketidakpastian yang melingkupi dunia ini.
Pencarian Makna dalam Kehampaan
Puisi ini juga mencerminkan pencarian akan keberadaan dan makna hidup, terutama dalam situasi yang penuh kehampaan. Dalam baris "Ada lampu, itukah sinar perindu?", penulis menggambarkan pencarian akan harapan atau cahaya di tengah kegelapan. Namun, pencarian ini terasa penuh keraguan, seolah-olah cahaya itu hanyalah sebuah ilusi, sebuah "sinar perindu" yang belum tentu nyata. Ini mengindikasikan perasaan bahwa walaupun ada usaha untuk mencari cahaya atau harapan, kenyataan bisa saja berbalik dan menambahkan kebingungan, karena cahaya itu sendiri tidak selalu ada untuk diterima dengan jelas.
Eksistensialisme dalam Keheningan
Setelah mengajukan pertanyaan tentang keberadaan cahaya, puisi ini memasuki fase yang lebih dalam mengenai keberadaan diri. Dengan penggunaan frasa seperti "sepi," "duduk di bumi tak menyentuh hari," dan "tak ada bunyi," puisi ini menggambarkan perasaan terasingkan yang parah. Keadaan seperti ini seolah-olah menjauhkan narator dari realitas atau dunia di sekitarnya, menciptakan kesan bahwa dirinya terperangkap dalam ruang kosong yang tak bisa dijangkau. Keheningan ini menyelimuti segala hal di sekitar dirinya, dan perasaan ini begitu kuat sehingga tidak ada yang bisa dimengerti, tidak ada yang bisa ditangkap oleh indra.
Bambang Sarwono menambah ketegangan ini dengan menyatakan, "suara angin? Melangkah kaki mengikut getaran." Keberadaan narator seolah hanya dipengaruhi oleh getaran-getaran tak kasatmata—sebuah simbol dari pencarian yang tak berujung. Dengan kata lain, narator seolah hidup dalam ketidakpastian, hanya mengikuti getaran yang mengarahkan tubuh dan langkahnya, tanpa tahu pasti ke mana arah tujuan.
Kegelapan Diri yang Tak Terbaca
Puisi ini mencapai klimaksnya ketika Sarwono menulis, "hitam semata hitam / hitam semata rawan / hitam semata kelam." Pada bagian ini, warna hitam menjadi simbol kegelapan yang menyelubungi segala sesuatu. Hitam bukan hanya menggambarkan ketiadaan cahaya, tetapi juga mengisyaratkan kegelisahan dalam diri. Hitam di sini adalah warna yang menyeluruh, meresap dalam setiap bagian eksistensi, menciptakan suasana penuh ketidakpastian dan ketidakjelasan.
Dalam pernyataan "benarkah ini aku? benarkah ini diriku?" narator meragukan eksistensinya sendiri. Kehilangan yang dialami bukan hanya dalam bentuk kehilangan dunia luar, tetapi juga dalam kehilangan jati diri. Pertanyaan ini mengandung ketidakpastian mendalam tentang siapa dirinya, apakah ia masih ada dalam bentuk yang dikenali ataukah telah hilang, tercampur dalam kegelapan tersebut. Ini adalah bentuk refleksi eksistensial yang menggambarkan kebingungan tentang siapa kita sebenarnya, dan apakah kita masih bisa menemukan diri kita di dunia yang penuh dengan ketidakjelasan.
Puisi Tentang Kehilangan Diri dan Keheningan Spiritual
Puisi "Hilang" karya Bambang Sarwono mengajak pembaca untuk merenung lebih dalam tentang pengalaman pribadi kehilangan dan pencarian makna. Dalam kegelapan yang menyelimuti, narator mencari sesuatu yang lebih besar—entah itu cahaya, harapan, atau bahkan diri mereka sendiri. Namun, pencarian ini dipenuhi dengan keraguan dan ketidakpastian, menggambarkan perasaan terasing dan kehampaan yang mendalam.
Kegelapan dalam puisi ini bukan hanya kegelapan fisik, tetapi juga kegelapan dalam kehidupan batin dan spiritual seseorang yang kehilangan arah. Pertanyaan tentang identitas diri dan makna hidup menjadi inti dari puisi ini, yang mengajak kita untuk menyelami betapa rumitnya perasaan manusia ketika mereka terhadang oleh keheningan dan kegelapan eksistensial.
Melalui puisi ini, Bambang Sarwono berhasil menggambarkan ketidakpastian dan keraguan yang sering menghantui diri manusia dalam pencariannya akan makna dan eksistensi. Dengan gaya bahasa yang lugas namun penuh makna, puisi ini memaksa kita untuk merenungkan kembali tentang diri kita, tentang dunia di sekitar kita, dan tentang pencarian tak berujung yang terus ada di dalam diri kita.
