Analisis Puisi:
Puisi "Malam Pun Gelisah" karya Gunoto Saparie menggambarkan suasana malam yang penuh dengan keresahan, kerinduan, dan kesepian. Melalui gambar-gambar yang subtil dan penggunaan suara yang simbolis, puisi ini membawa pembaca dalam perjalanan batin seorang individu yang terjebak dalam perasaan rindu dan keterasingan. Penyair menggunakan elemen-elemen alam seperti angin, hujan, dan suara malam untuk menggambarkan ketegangan batin yang dialami tokoh dalam puisi tersebut.
Tema
Tema utama dalam puisi ini adalah kesepian dan kerinduan yang tak terbalaskan. Dalam puisi ini, malam menjadi latar yang merefleksikan perasaan batin tokoh utama, yang sedang terjebak dalam perasaan rindu yang mendalam. Proses perasaan yang dialami dalam kesendirian malam ini juga menggambarkan keresahan emosional yang hadir tanpa adanya solusi atau kejelasan. Penggunaan suara, angin, dan elemen alam lainnya memperkuat tema tentang pergulatan batin yang penuh dengan ketegangan emosional.
Makna Tersirat
Makna tersirat dalam puisi ini mengungkapkan kesendirian yang mendalam dan kerinduan yang tak terungkapkan. Puisi ini memperlihatkan bagaimana seorang individu merasa terasing meskipun berada dalam lingkungan sekitar, baik dengan suara-suara yang terdengar dari luar maupun perasaan yang menguasai hati. "Mimpikanlah aku," adalah kalimat yang memperlihatkan harapan untuk dirindukan, meskipun tokoh tersebut tahu bahwa rindu tersebut hanya tinggal harapan yang tidak akan terwujud. Kesepian yang terasa semakin mendalam saat malam semakin larut dan sepotong bulan yang memudar menambah kesan bahwa segala sesuatu menjadi lebih sunyi dan gelap.
Puisi ini bercerita tentang seseorang yang merasa kesepian dan terjebak dalam kerinduan yang mendalam, di mana perasaan tersebut semakin menguat di malam hari. Penulis menggambarkan bagaimana suara-suara dari luar jendela, seperti angin, gerimis, atau suara kelelawar, menjadi metafora dari ketegangan emosional yang dialami tokoh tersebut. Ada perasaan rindu yang sulit diterjemahkan, yang hanya bisa dipendam dan diterka. Suasana malam menjadi semakin intens dan penuh dengan kegelisahan, mengindikasikan betapa beratnya perasaan tersebut.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini terasa gelisah, penuh keresahan, dan intens. Penyair menciptakan suasana malam yang penuh dengan perasaan yang terpendam dan sulit untuk diungkapkan. Suara-suara seperti "suaranya rawan, sayup, dan jauh", dan "ada yang berbisik gemetar" menambah kesan ketegangan yang tak terlihat, namun terasa sangat nyata. Keheningan malam justru memperburuk perasaan rindu dan kesepian yang sedang dialami oleh tokoh dalam puisi ini. Semua elemen ini menciptakan nuansa yang penuh dengan kesendirian dan kegelapan emosional, seperti yang terlihat pada kalimat "malam pun menua, tuhanku, malam pun gelisah…" yang menunjukkan bahwa malam ini terasa tak berujung dan penuh keresahan.
Imaji
Puisi ini dipenuhi dengan imaji yang kuat, terutama dalam menggambarkan malam yang penuh dengan kerinduan dan kegelisahan. "Ada yang menembang megatruh, suaranya rawan, sayup, dan jauh" menciptakan gambaran tentang sesuatu yang jauh dan tidak dapat dijangkau, mengarah pada perasaan tidak terhubung dengan apa pun. Gambar "sepotong bulan memudar di angkasa" mengilustrasikan betapa cepatnya waktu berlalu, sementara perasaan rindu yang mendalam tetap bertahan tanpa ada perubahan. Imaji ini memperlihatkan betapa gelisahnya suasana yang dihadapi oleh tokoh dalam puisi.
Majas
Beberapa majas digunakan dalam puisi ini untuk memperdalam makna dan suasana yang ingin disampaikan:
- Personifikasi: "Malam pun gelisah" adalah personifikasi yang memberi karakter pada malam, seolah-olah malam juga memiliki perasaan, yang menggambarkan suasana kegelisahan.
- Metafora: "Ada yang menembang megatruh" dan "musik bee gees terasa menyayat kalbu" menggambarkan perasaan batin yang terbebani oleh kerinduan dan kesepian, dengan menggunakan lagu dan suara sebagai metafora dari perasaan tersebut.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Pesan yang disampaikan dalam puisi ini adalah tentang kerinduan yang tidak terbalaskan dan kesepian yang menghantui. Meskipun dunia luar penuh dengan suara-suara dan aktivitas, seseorang yang merasa kesepian tetap merasa terasing, bahkan ketika berusaha untuk mencari kenyamanan dalam keramaian. Puisi ini mengajak kita untuk merenungkan betapa beratnya perasaan rindu yang tidak bisa diungkapkan atau dijawab. Kesendirian malam juga menggambarkan perasaan yang semakin mendalam seiring berjalannya waktu, yang akhirnya meninggalkan kegelisahan dalam hati.
Puisi "Malam Pun Gelisah" karya Gunoto Saparie menggambarkan dengan indah dan puitis tentang kerinduan, kesepian, dan kegelisahan yang dialami oleh seorang individu pada malam hari. Melalui penggunaan elemen-elemen alam seperti angin, gerimis, dan suara malam, puisi ini mengungkapkan betapa beratnya perasaan rindu yang harus dipendam dalam kesunyian malam. Dengan imaji yang kuat dan majas yang memikat, puisi ini membawa pembaca ke dalam dunia batin yang penuh dengan kerinduan yang tak terungkapkan. Kegelisahan yang dihadirkan dalam puisi ini menjadi simbol dari pergulatan batin manusia yang tak jarang terperangkap dalam kesepian meski dunia di sekitarnya terus berjalan.
Karya: Gunoto Saparie
Selain menulis puisi, juga mencipta cerita pendek, novel, esai, kritik sastra, dan artikel/opini berbagai masalah kebudayaan, pendidikan, agama, ekonomi, dan keuangan.
Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981), Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996), Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018), dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya, Jakarta, 2019).
Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004) dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya, Jakarta, 2019).
Ia pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015).
Puisi-puisinya terhimpun dalam berbagai antologi bersama para penyair Indonesia lain, termasuk dalam Kidung Kelam (Seri Puisi Esai Indonesia - Provinsi Jawa Tengah, 2018).
Saat ini ia menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta) dan Tanahku (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang). Sempat pula bekerja di bidang pendidikan, konstruksi, dan perbankan. Aktif dalam berbagai organisasi, antara lain dipercaya sebagai Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah (FKWPK), Pengurus Yayasan Cinta Sastra, Jakarta, dan Ketua III Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Jawa Tengah.
Sebelumnya sempat menjadi Wakil Ketua Seksi Budaya dan Film PWI Jawa Tengah dan Ketua Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) Jawa Tengah. Sering diundang menjadi pembaca puisi, pemakalah, dan juri berbagai lomba sastra di Indonesia dan luar negeri.
GUNOTO SAPARIE. Lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan formal Sekolah Dasar Kadilangu Cepiring Kendal, Sekolah Menengah Pertama Cepiring Kendal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Kendal, dan Akademi Uang dan Bank Yogyakarta dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Pendidikan informal Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah Tlahab Gemuh Kendal dan Pondok Pesantren KH Abdul Hamid Tlahab Gemuh Kendal.
Selain menulis puisi, juga mencipta cerita pendek, novel, esai, kritik sastra, dan artikel/opini berbagai masalah kebudayaan, pendidikan, agama, ekonomi, dan keuangan.
Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981), Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996), Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018), dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya, Jakarta, 2019).
Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004) dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya, Jakarta, 2019).
Ia pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015).
Puisi-puisinya terhimpun dalam berbagai antologi bersama para penyair Indonesia lain, termasuk dalam Kidung Kelam (Seri Puisi Esai Indonesia - Provinsi Jawa Tengah, 2018).
Saat ini ia menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta) dan Tanahku (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang). Sempat pula bekerja di bidang pendidikan, konstruksi, dan perbankan. Aktif dalam berbagai organisasi, antara lain dipercaya sebagai Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah (FKWPK), Pengurus Yayasan Cinta Sastra, Jakarta, dan Ketua III Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Jawa Tengah.
Sebelumnya sempat menjadi Wakil Ketua Seksi Budaya dan Film PWI Jawa Tengah dan Ketua Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) Jawa Tengah. Sering diundang menjadi pembaca puisi, pemakalah, dan juri berbagai lomba sastra di Indonesia dan luar negeri.
