Analisis Puisi:
Puisi "Menembak Awan" karya Piek Ardijanto Soeprijadi menggambarkan situasi kemarau panjang yang membawa penderitaan bagi rakyat kecil, terutama para petani. Dengan bahasa yang lugas namun sarat makna, puisi ini menyuarakan kepedihan akibat kekeringan dan kelaparan, sekaligus menjadi kritik sosial terhadap keadaan yang tidak kunjung membaik.
Melalui metafora tentang menembak awan, penyair seolah mengisyaratkan harapan akan hujan, tetapi juga mempertanyakan apakah usaha manusia untuk memanipulasi alam bisa benar-benar membawa perubahan yang berarti.
Kemarau Sebagai Simbol Penderitaan
Puisi ini dibuka dengan gambaran alam yang kering dan tandus:
Kemarau begini panjang ladang-ladang kerontang bergurulah kepada musim sebelum menembak awan.
Kemarau dalam puisi ini bukan hanya sekadar fenomena alam, tetapi juga simbol dari penderitaan berkepanjangan yang dialami masyarakat. Ladang-ladang kerontang dan sawah-sawah retak rengkah menunjukkan betapa sulitnya kehidupan petani ketika hujan tak kunjung turun.
Penyair kemudian menasihati agar manusia belajar dari alam sebelum menembak awan. Ini bisa diartikan sebagai kritik terhadap intervensi manusia yang terburu-buru dalam mengatasi masalah tanpa memahami ritme dan siklus alam yang sesungguhnya.
Kritik terhadap Upaya Manipulasi Alam
Ungkapan menembak awan merujuk pada teknik rekayasa cuaca, seperti hujan buatan. Namun, dalam konteks puisi ini, ada keraguan apakah metode semacam itu benar-benar bisa mengatasi penderitaan petani:
Kemarau memang panjang sawah-sawah retak rengkah belajarlah kepada angin sebelum menembak awan.
Angin dalam puisi ini bisa diartikan sebagai simbol dari perubahan alami yang tidak bisa dipaksakan begitu saja. Dengan kata lain, sebelum mencoba mengubah keadaan dengan cara buatan, manusia harus lebih memahami hukum-hukum alam yang sebenarnya.
Penderitaan Rakyat Kecil dan Harapan akan Hujan
Bagian akhir puisi semakin menekankan penderitaan akibat kemarau:
Jangan 'numbuhkan pedih gumpalan awan putih justru menyerpih-serpih kami rindukan hujan pembasah bumi pembasuh hati
Gumpalan awan putih yang menyerpih-serpih menggambarkan harapan yang terus pupus. Meski ada awan, hujan tak juga turun, dan penderitaan semakin terasa.
Tinggal sebakul ketela serta biji jagung tua dapur tak berasap lapar meruap siapa dan bila menembak awan.
Bait ini adalah potret nyata dari penderitaan rakyat kecil: persediaan makanan yang semakin menipis, dapur yang tak lagi berasap, dan kelaparan yang menghantui. Kalimat terakhir mempertanyakan siapa yang bertanggung jawab atas penderitaan ini dan kapan solusi nyata akan datang.
Gaya Bahasa dan Diksi
Piek Ardijanto Soeprijadi menggunakan gaya bahasa yang sederhana tetapi penuh makna. Ada beberapa elemen khas dalam puisinya:
- Metafora Alam – Kemarau, ladang kerontang, sawah retak, dan angin digunakan sebagai simbol penderitaan serta kebijaksanaan alam.
- Personifikasi – Alam seolah memiliki karakter dan bisa memberikan pelajaran kepada manusia.
- Nada Kritik dan Keprihatinan – Kata-kata seperti jangan 'numbuhkan pedih, dapur tak berasap, dan lapar meruap memperlihatkan kegelisahan penyair terhadap kondisi sosial yang sulit.
Pesan Moral dalam Puisi
Puisi "Menembak Awan" mengandung beberapa pesan penting:
- Penderitaan rakyat kecil harus diperhatikan, terutama dalam menghadapi bencana alam seperti kemarau.
- Manusia harus memahami siklus alam sebelum mencoba melakukan intervensi yang bisa jadi tidak efektif.
- Harapan akan hujan adalah harapan akan kehidupan, tetapi solusi yang diberikan harus tepat dan menyeluruh, bukan hanya sekadar tindakan sementara.
- Kelaparan dan kemiskinan masih menjadi realitas, dan puisi ini mengajak pembaca untuk lebih peduli terhadap masalah sosial.
Puisi "Menembak Awan" karya Piek Ardijanto Soeprijadi bukan sekadar menggambarkan kemarau panjang, tetapi juga menyuarakan penderitaan rakyat kecil dan menjadi kritik terhadap ketidakmampuan manusia dalam mengatasi masalah dengan bijak.
Dengan bahasa yang sederhana tetapi tajam, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan bagaimana kita harus lebih memahami alam sebelum mencoba mengubahnya, serta bagaimana keadilan sosial harus ditegakkan agar tak ada lagi dapur yang tak berasap dan perut yang kelaparan.
Karya: Piek Ardijanto Soeprijadi
Biodata Piek Ardijanto Soeprijadi
- Piek Ardijanto Soeprijadi (EyD Piek Ardiyanto Supriyadi) lahir pada tanggal 12 Agustus 1929 di Magetan, Jawa Timur.
- Piek Ardijanto Soeprijadi meninggal dunia pada tanggal 22 Mei 2001 (pada umur 71 tahun) di Tegal, Jawa Tengah.
- Piek Ardijanto Soeprijadi adalah salah satu sastrawan angkatan 1966.