Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Pada Sebuah Pantai (Karya Goenawan Mohamad)

Puisi "Pada Sebuah Pantai" mengangkat tema kegagalan cinta, kerapuhan hubungan manusia, serta refleksi eksistensial tentang makna perasaan, ...
Pada Sebuah Pantai:
Interlude

Semua ini hanya terjadi dalam sebuah sajak
yang sentimentil. Yakni ketika pasang berakhir,
dan aku menggerutu, 'masih tersisa harum lehermu';
dan kau tak menyahutku.

    Di pantai, tepi memang tinggal terumbu,
    hijau (mungkin kelabu).
    Angin amis. Dan
    di laut susut itu, aku tahu,
    tak ada lagi jejakmu.

Berarti pagi telah mengantar kau kembali,
pulang dari sebuah dongeng tentang jin yang memperkosa
putri yang semalam mungkin kubayangkan untukmu,
tanpa tercatat, meskipun pada pasir gelap.

    Bukankah matahari telah bersalin dan
    melahirkan kenyataan yang agak lain?
    Dan sebuah jadwal lain?
    Dan sebuah ranjang dan ruang rutin, yang
    setia, seperti sebuah gambar keluarga
    (di mana kita, berdua, tak pernah ada)?

    Tidak aneh.
    Tidak ada janji
    pada pantai
    yang kini tawar
    tanpa ombak
    (atau cinta yang bengal).

Aku pun ingin berkemas untuk kenyataan-kenyataan,
berberes dalam sebuah garis, dan berkata: "Mungkin tak
ada dosa, tapi ada yang percuma saja."

Tapi semua ini terjadi dalam sebuah sajak yang
sentimentil. Dan itulah soalnya.

    Di mana ada keluh ketika dari pohon itu
    mumbang jatuh seperti nyiur jatuh dan
    ketika kini tinggal panas dan pasir yang
    bersetubuh.

    Di mana perasaan-perasaan memilih artinya sendiri,
    di mana mengentara bekas dalam hati dan kalimat-
    kalimat biasa berlarat-larat (setelah semacam
    affair singkat), dan kita menelan ludah sembari
    berkata: "Wah, apa daya."

Barangkali kita memang tak teramat berbakat untuk
menertibkan diri dan hal ihwal dalam soal seperti ini.

Lagi pula dalam sebuah sajak yang sentimentil hanya ada
satu dalil: biarkan akal yang angker itu mencibir!

Meskipun alam makin praktis dan orang-orang telah
memberi tanda DILARANG NANGIS.

Meskipun pada suatu waktu, kau tak akan lagi datang
padaku.

    Kita memang bersandar pada apa yang mungkin
    kekal, mungkin pula tak kekal.
    Kita memang bersandar pada mungkin.
    Kita bersandar pada angin.

    Dan tak pernah bertanya: untuk apa?
    Tidak semua, memang, bisa ditanya untuk apa.

Barangkali saja kita masih mencoba memberi harga
pada sesuatu yang sia-sia. Sebab kersik pada karang,
lumut pada lokan, mungkin akan tetap juga di sana -
apapun maknanya.

1973

Sumber: Horison (November, 1973)

Analisis Puisi:

Puisi "Pada Sebuah Pantai" mengangkat tema kegagalan cinta, kerapuhan hubungan manusia, serta refleksi eksistensial tentang makna perasaan, kenangan, dan ketidakpastian hidup. Goenawan Mohamad mengajak pembaca merenungkan bagaimana cinta yang pernah hadir kini hanya menjadi jejak samar di tepian waktu, serupa pantai yang perlahan ditinggalkan pasang.

Makna Tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini menyentuh tentang ketiadaan kepastian dalam cinta dan kehidupan. Hubungan yang pernah dijalani berakhir seperti gelombang yang surut, meninggalkan pantai kosong, sepi, dan tawar. Goenawan menyoroti bahwa tidak semua hal bisa dipertahankan, tidak semua bisa ditanyakan maknanya, dan tidak semua kenangan punya harga yang jelas. Namun, manusia tetap saja cenderung menggenggam kenangan, meski tahu itu sia-sia.

Puisi ini bercerita tentang seorang tokoh aku yang merenungi hubungan yang telah berlalu di sebuah pantai. Ia mengingat kembali keintiman yang sempat ada, momen-momen penuh gairah, hingga akhirnya menyadari bahwa semua itu kini hanya menjadi sisa memori yang sentimentil. Pantai, ombak, dan pasir menjadi latar refleksi tentang cinta yang gagal dan ketidakpastian tentang makna dari kenangan itu sendiri.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini terasa sendu, melankolis, dan penuh refleksi personal. Ada kesan getir bercampur ketidakberdayaan menghadapi kenyataan bahwa hubungan telah berakhir, dan kenangan hanya menjadi sesuatu yang sia-sia namun tetap menghantui.

Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi

Puisi ini menyampaikan pesan bahwa tidak semua yang kita jalani dalam hidup, termasuk cinta, harus selalu punya makna besar atau jawaban yang jelas. Ada kalanya, manusia hanya bersandar pada kemungkinan-kemungkinan yang rapuh, seperti angin yang tidak pernah bisa digenggam. Goenawan juga ingin mengingatkan bahwa perasaan manusia sering kali melampaui logika dan tatanan sosial yang kaku, meski zaman makin praktis dan melarang sentimentalitas.

Imaji

Puisi ini menghadirkan imaji visual dan imaji suasana yang kuat, seperti:
  • "Pantai, tepi memang tinggal terumbu" menggambarkan pantai yang sepi, ditinggalkan pasang.
  • "Asin angin amis" menghadirkan aroma pantai yang nyata.
  • "Panas dan pasir yang bersetubuh" menciptakan gambaran sensual dan metaforis tentang alam yang menyatu.
  • "Mumbang jatuh seperti nyiur jatuh" menambah nuansa alam yang bergerak dan hidup.

Majas

Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini antara lain:
  • Metafora – Pantai dijadikan simbol kenangan dan cinta yang berakhir.
  • Personifikasi – "pagi telah mengantar kau kembali" memberi sifat manusia (mengantar) pada waktu.
  • Ironi – "DILARANG NANGIS" menjadi bentuk sindiran terhadap budaya yang menolak sentimentalitas.
  • Paralelisme – Pengulangan "kita memang bersandar..." mempertegas ketidakpastian yang ingin disampaikan.
  • Sarkasme – "biarkan akal yang angker itu mencibir!" seolah mengejek diri sendiri yang masih sentimental.
Puisi "Pada Sebuah Pantai" adalah puisi yang merekam getar kegagalan cinta dan absurditas perasaan manusia. Melalui metafora pantai yang ditinggalkan pasang, Goenawan Mohamad menggambarkan cinta yang memudar, kenangan yang kabur, dan betapa manusia tetap ingin mencari makna dari sesuatu yang mungkin memang sia-sia. Dengan gaya khasnya yang reflektif, subtil, dan penuh ironi, puisi ini mengajak kita semua berdamai dengan ketidakpastian dan ketidaksempurnaan perasaan manusia.

Puisi Goenawan Mohamad
Puisi: Pada Sebuah Pantai
Karya: Goenawan Mohamad

Biodata Goenawan Mohamad:
  • Goenawan Mohamad (nama lengkapnya Goenawan Soesatyo Mohamad) lahir pada tanggal 29 Juli 1941 di Batang, Jawa Tengah.
  • Goenawan Mohamad adalah salah satu Sastrawan Angkatan 66.
© Sepenuhnya. All rights reserved.