Analisis Puisi:
Puisi "Penerbangan Larut Malam" karya Gunoto Saparie menggambarkan pengalaman seorang penumpang pesawat yang mengalami kecemasan dan ketidakpastian saat berada di udara. Dengan diksi yang sederhana namun kuat, puisi ini membawa pembaca merasakan kegelisahan dan ketidakberdayaan di tengah perjalanan udara pada malam hari.
Tema
Puisi ini mengangkat tema keterasingan, ketidakpastian, dan kefanaan hidup. Melalui suasana penerbangan malam yang kelam dan penuh kegelisahan, penyair menghadirkan refleksi tentang keberadaan manusia yang rapuh di tengah luasnya alam semesta.
Makna Tersirat
Di balik deskripsi penerbangan yang tampak sederhana, puisi ini menyimpan makna yang lebih dalam. Keterasingan dalam perjalanan mencerminkan keterasingan manusia dalam kehidupan, di mana seseorang bisa merasa kecil dan tak berdaya di hadapan kekuatan yang lebih besar, seperti nasib atau bahkan kematian.
Baris "namaku kurang satu huruf di manifes" dapat diartikan sebagai simbol ketidakjelasan identitas, atau perasaan seseorang yang tidak sepenuhnya "diakui" dalam kehidupannya. Sementara itu, "nyawaku hanya mainan di tangan pilot" menegaskan bahwa hidup manusia begitu rapuh dan berada dalam kendali pihak lain—baik manusia maupun takdir.
Puisi ini bercerita tentang seseorang yang mengalami kecemasan selama penerbangan larut malam. Ia merasa tidak nyaman dengan suasana kabin yang dingin dan gelap, sementara pikirannya dipenuhi dengan refleksi tentang kefanaan hidup. Kegelisahan semakin bertambah ketika ia menyadari bahwa namanya kurang satu huruf di manifes, seolah-olah keberadaannya sendiri terasa tidak utuh atau tidak diakui.
Dalam perjalanan di atas Samudera Hindia yang berkabut, ia merasa kecil dan tak berdaya, hanya bisa duduk termenung di kursinya, menyadari betapa tipis batas antara hidup dan mati di ketinggian puluhan ribu kaki.
Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi
Jika ditelaah lebih dalam, puisi ini mengandung pesan bahwa manusia hanyalah makhluk kecil di tengah kehidupan yang luas dan penuh ketidakpastian. Hidup bisa terasa fana dan tidak pasti, terutama ketika seseorang menghadapi situasi di luar kendalinya.
Selain itu, puisi ini juga mengajak pembaca untuk merenungkan keterasingan dalam kehidupan modern, di mana perjalanan yang seharusnya menjadi pengalaman biasa justru menjadi refleksi eksistensial yang mendalam.
Imaji
Puisi ini kaya akan imaji yang menggambarkan suasana penerbangan yang mencekam:
- Imaji visual: "di luar jendela hanya kelam, bintang dan bulan pun lenyap" – menghadirkan gambaran langit malam yang gelap, menciptakan nuansa kesepian dan keterasingan.
- Imaji peraba: "aku menggigil mendadak demam, udara di kabin dingin mengertap" – menghadirkan sensasi fisik yang dirasakan tokoh, memperkuat atmosfer ketidaknyamanan.
- Imaji gerak: "gemetar di angkasa Singapura-Melbourne" – menunjukkan ketidakstabilan dan kecemasan dalam perjalanan.
Majas
Beberapa majas yang terdapat dalam puisi ini antara lain:
- Metafora: "nyawaku hanya mainan di tangan pilot" – menggambarkan bahwa hidup manusia berada dalam kendali orang lain atau takdir.
- Personifikasi: "udara di kabin dingin mengertap" – memberikan sifat manusiawi pada udara, seolah-olah ia bisa "mengertap" atau menggigit.
- Hiperbola: "di ketinggian puluhan ribu kaki betapa fana" – memberikan kesan dramatis terhadap keadaan si tokoh yang merasa kecil di tengah ketinggian dan kefanaan hidup.
Puisi "Penerbangan Larut Malam" karya Gunoto Saparie bukan sekadar kisah tentang perjalanan udara, melainkan juga refleksi tentang keterasingan, ketidakpastian hidup, dan kefanaan manusia. Dengan diksi yang sederhana namun kuat, penyair berhasil menggambarkan ketakutan eksistensial yang dapat muncul dalam situasi sehari-hari, seperti saat terbang melintasi malam yang sunyi.
Puisi: Penerbangan Larut Malam
Karya: Gunoto Saparie
Biodata Gunoto Saparie:
Gunoto Saparie lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan formal yang ditempuh adalah Sekolah Dasar Negeri Kadilangu, Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Pertama Negeri Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Negeri Kendal, Akademi Uang dan Bank Yogyakarta, dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Sedangkan pendidikan nonformal Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah Tlahab, Gemuh, Kendal dan Pondok Pesantren KH Abdul Hamid Tlahab, Gemuh, Kendal.
Selain menulis puisi, ia juga mencipta cerita pendek, kritik sastra, esai, kolom, dan artikel tentang kesenian, ekonomi, politik, dan agama, yang dimuat di sejumlah media cetak terbitan Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, Brunei Darussalam, Malaysia, Australia, dan Prancis. Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981), Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996), Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018), Mendung, Kabut, dan Lain-Lain (Cerah Budaya Indonesia, Jakarta, 2019), dan Lirik (Pelataran Sastra Kaliwungu, Kendal, 2020).
Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004).
Novelnya Selamat Siang, Kekasih dimuat secara bersambung di Mingguan Bahari, Semarang (1978) dan Bau (Pelataran Sastra Kaliwungu, Kendal, 2019) yang menjadi nomine Penghargaan Prasidatama 2020 dari Balai Bahasa Jawa Tengah.
Ia juga pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015). Sejumlah puisi, cerita pendek, dan esainya termuat dalam antologi bersama para penulis lain.
Puisinya juga masuk dalam buku Manuel D'Indonesien Volume I terbitan L'asiatheque, Paris, Prancis, Januari 2012. Ia juga menulis puisi berbahasa Jawa (geguritan) di Panjebar Semangat dan Jaya Baya. Ia pernah menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta), Tanahku (Semarang), Delik Hukum Jateng (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang), Pemimpin Redaksi Radio Gaya FM (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Faktual (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Otobursa Plus (Semarang), dan Redaktur Legislatif (Jakarta). Kini ia masih aktif menjadi Redaktur Pelaksana Majalah Info Koperasi (Kendal), Majalah Justice News (Semarang), dan Majalah Opini Publik (Blora).
Saat ini Gunoto Saparie menjabat Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua III Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Jawa Tengah, Ketua Umum Perkumpulan Penulis Indonesia ‘Satupena’ Jawa Tengah, dan Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah. Sebelumnya ia pernah menjabat Ketua Kelompok Studi Seni Remaja (KSSR) Kendal, Ketua Pelaksana Dewan Teater Kendal, Sekretaris Forum Komunikasi Studi Mahasiswa Kekaryaan (Fokusmaker) Jawa Tengah, Wakil Ketua Ormas MKGR Jawa Tengah, Fungsionaris DPD Partai Golkar Jawa Tengah, Sekretaris DPD Badan Informasi dan Kehumasan Partai Golkar Jawa Tengah, dan Sekretaris Bidang Kehumasan DPW Partai Nasdem Jawa Tengah.
Sejumlah penghargaan di bidang sastra, kebudayaan, dan jurnalistik telah diterimanya, antara lain dari Kepala Perwakilan PBB di Jakarta dan Nairobi, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia Pusat, Menteri Perumahan Rakyat, Menteri Penerangan, Menteri Luar Negeri, Menteri Lingkungan Hidup, Pangdam IV/ Diponegoro, dan Kepala Balai Bahasa Jawa Tengah. Selain itu, di tengah kesibukannya menulis, ia kadang diundang untuk membaca puisi, menjadi juri lomba kesenian, pemakalah atau pembicara pada berbagai forum kesastraan dan kebahasaan, dan mengikuti sejumlah pertemuan sastrawan di Indonesia dan luar negeri.
