Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Rumah Pohon (Karya Sindhunata)

Puisi "Rumah Pohon" karya Sindhunata mengajarkan bahwa dalam pencarian kita akan kebahagiaan, sering kali kita pergi jauh dan mengembara, padahal ...
Rumah Pohon

Sekarang Kotir sudah senang
selesai sudah pengembaraan
ia pulang kandang
tahu-tahu rumahnya sudah tenang.

Bersayapkan burung sriti
harum dengan minyak serimpi
Kotir pulang ke rumah pohon
pule hijau daunnya segar

Paro petang bulan purnama
teman-temannya datang
mandi di Sendang Bagong
meraba-raba paha tak kelihatan
paha-paha putih
anak-anak Nyai Gadhung Mlati

Kotir naik sapi gumarang
melihat seribu bintang
menelan penderitaannya
istana langit terbuka pintunya
merintik turun gerimis kemenyan
jatuh jadi mutiara-mutiara doa
di atap rumah pohonnya

Harum dengan wangi bidadari
teman-teman Kotir telanjang di sendang
mereka melihat senang
Kotir sudah pulang kandang
dan rumahnya sudah tenang.
Di malam seribu bulan
katak duka katak harapan
menabuh gamelan di Jalakan.
Kotir mendengar senang
di rumah pohon dukanya menghilang
mengerjap dalam harapan
tahu-tahu rumahnya sudah tenang.

Rumah pohon di tepi Kali Boyong
batunya megah berantai emas
kalung lahar Eyang Merapi
Tiap hari Kotir mengais rezeki
pasir dihitungnya bagai butiran nasi.

Dari Pemancingan Seh Belu mampir
diberinya Kotir ilmu zikir pasir
Kali Boyong terus mengalir
nasi dari pasir tertanak dalam zikir Kotir
Kotir memandang pasir dengan mata Nabi Khidir:
samudera raya dengan segala aslinya
ternyata terkandung dalam sebutir pasir
Sebutir pasir adalah nasi
dalam sebutir pasir terkandung samudera
dalam sebutir pasir terkandung hidupnya
Kini dengan zikir pasir Kotir mengerti
apa arti: perahu yang memuat samudera raya.

Kotir menyesal, kenapa demikian lama
ia mesti mengembara mencari hidupnya
jika kekayaan hidupnya ada dan berada
dalam pasir yang tiap hari diinjak-injaknya?

Kotir tak lagi mencari hidupnya
ia sudah pulang ke rumah pohon
dan mendapati rumahnya sudah tenang

2003

Sumber: Air Kata-Kata (2004)

Analisis Puisi:

Puisi "Rumah Pohon" karya Sindhunata adalah sebuah kisah simbolis tentang perjalanan spiritual dan pencarian makna hidup. Menggunakan tokoh Kotir, puisi ini menggambarkan perjalanan seseorang yang berkelana untuk menemukan kedamaian dan kebijaksanaan, hanya untuk menyadari bahwa apa yang dicarinya ternyata sudah ada di dekatnya.

Kotir dan Perjalanan Pulangnya

Puisi ini dimulai dengan kembalinya Kotir dari pengembaraan:

"Sekarang Kotir sudah senang
selesai sudah pengembaraan
ia pulang kandang
tahu-tahu rumahnya sudah tenang."

Kotir adalah sosok yang telah lama mengembara, mencari sesuatu yang mungkin ia anggap sebagai makna hidup atau kebahagiaan. Namun, setelah kembali, ia justru menemukan bahwa rumahnya telah tenang, menandakan bahwa ketenteraman yang ia cari selama ini ternyata tidak jauh dari tempat asalnya.

Simbolisme Rumah Pohon dan Alam Sekitar

Rumah pohon yang menjadi tempat pulang Kotir dipenuhi dengan gambaran alam yang penuh makna:

"Bersayapkan burung sriti
harum dengan minyak serimpi
Kotir pulang ke rumah pohon
pule hijau daunnya segar."

Burung sriti melambangkan kebebasan dan perjalanan, sedangkan minyak serimpi yang harum bisa diartikan sebagai simbol keagungan atau spiritualitas. Pohon pule sendiri dalam budaya Jawa sering dikaitkan dengan sesuatu yang sakral dan mistis. Rumah pohon ini bukan sekadar tempat fisik, melainkan juga tempat di mana Kotir menemukan ketenangan batin.

Pengalaman Spiritual di Sendang Bagong

Salah satu bagian menarik dalam puisi ini adalah ketika teman-teman Kotir mandi di Sendang Bagong, sebuah mata air suci:

"Paro petang bulan purnama
teman-temannya datang
mandi di Sendang Bagong
meraba-raba paha tak kelihatan
paha-paha putih
anak-anak Nyai Gadhung Mlati."

Sendang (mata air) sering dikaitkan dengan kesucian dan pembersihan diri. Nyai Gadhung Mlati sendiri dalam mitologi Jawa adalah sosok perempuan yang sering dikaitkan dengan kesuburan dan mistisisme. Gambaran ini menunjukkan pengalaman spiritual Kotir, di mana ia menyaksikan kehidupan dengan cara yang lebih mendalam dan sakral.

Kesadaran Kotir tentang Hidup dan Kekayaan Sejati

Puisi ini mencapai klimaksnya ketika Kotir memahami hakikat kehidupan melalui zikir pasir:

"Dari Pemancingan Seh Belu mampir
diberinya Kotir ilmu zikir pasir
Kali Boyong terus mengalir
nasi dari pasir tertanak dalam zikir Kotir."

Seh Belu (mungkin merujuk pada tokoh sufi atau orang bijak) mengajarkan Kotir tentang zikir pasir. Di sini, pasir bukan hanya benda mati, tetapi melambangkan rezeki dan kehidupan. Kotir menyadari bahwa kehidupan tidak perlu dicari ke tempat yang jauh, karena kebijaksanaan dan kekayaan sejati sudah ada di sekitarnya.

Kesadaran ini semakin ditekankan dengan referensi kepada Nabi Khidir, sosok dalam tradisi Islam yang dikenal memiliki kebijaksanaan spiritual:

"Kotir memandang pasir dengan mata Nabi Khidir:
samudera raya dengan segala aslinya
ternyata terkandung dalam sebutir pasir
Sebutir pasir adalah nasi
dalam sebutir pasir terkandung samudera
dalam sebutir pasir terkandung hidupnya."

Ini adalah inti dari perjalanan spiritual Kotir: menemukan bahwa kehidupan yang luas dan penuh makna ternyata sudah ada dalam hal-hal kecil yang sering diabaikan, seperti butiran pasir.

Menemukan Kedamaian dalam Diri Sendiri

Puisi ini diakhiri dengan kesadaran penuh Kotir:

"Kotir tak lagi mencari hidupnya
ia sudah pulang ke rumah pohon
dan mendapati rumahnya sudah tenang."

Sindhunata melalui puisi "Rumah Pohon" menggambarkan perjalanan seorang manusia dalam mencari makna hidup. Pada akhirnya, Kotir menyadari bahwa semua yang ia cari sudah ada di dekatnya—di rumahnya sendiri, di tanah yang setiap hari ia pijak.

Puisi ini mengajarkan bahwa dalam pencarian kita akan kebahagiaan, sering kali kita pergi jauh dan mengembara, padahal kebahagiaan sejati justru ada dalam hal-hal yang sederhana dan dekat dengan kita. Ketenangan tidak ditemukan di luar diri, tetapi dalam cara kita memandang dan memahami kehidupan.

Sindhunata
Puisi: Rumah Pohon
Karya: Sindhunata

Biodata Sindhunata:
  • Nama lengkap Dr. Gabriel Possenti Sindhunata, S.J.
  • Sindhunata (juga dikenal dengan panggilan Rama Sindhu) lahir di Kota Batu, Jawa Timur, Indonesia, pada tanggal 12 Mei 1952.
  • Sindhunata adalah salah satu sastrawan angkatan 1980-1990an.
© Sepenuhnya. All rights reserved.