Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Solidaritas "Brigade Pengemis" (Karya Ragil Suwarna Pragolapati)

Puisi "Brigade Pengemis" karya Ragil Suwarna Pragolapati merupakan kritik sosial yang tajam terhadap realitas kehidupan urban, kemiskinan, dan ...
Solidaritas "Brigade Pengemis"

    Selamat datang di kota, ini kraton abadi bagimu. Kota tiada menanyaimu, "Anda dari mana? Hendak ke mana?" Klise hanya ada di desa-dusun jagad asal-usul tradisimu tempat setiap pribadi menyatu, mau kenal lagi mau serba tahu. Semboyanmu di kota haruslah, "Gua, gua! Lu, lu!" Buanglah mantra-japu-japa dan pusaka ampuh dusunmu, sebab kota cuma mengenal satu azimat dan pusaka tunggal paling sakti: duwit! Pakailah uang, kau pun sakti-mandraguna, jadi pendekar modern.

    Selamat datang dalam brigade. Silakan masuk jadi Prajurit Tuna. Kau bebas pilih peleton. Tuna sosial. Tuna karya. Tuna wisma. Tuna susila. Dan beragam tuna lainnya. Dalam brigade ini, gelar mulia bagimu adalah Ge-Peng. Dinasti gelandangan, hidup meminta-minta mau enak-mudah-murah-gembira. Laskar Gepeng selalu memberi kesibukan dan lapangan kerja pada orang seragam itu. Hansip-Tibum-Satpam, untuk memburu-burumu, membakar rumah kardusmu. Pekerja-sosial, untuk menyantunimu ala kadar, atau membisniskanmu dalam seminar-lokakarya-simposium. Polisi, untuk mencidukmu jika muncul kriminalitas dan kasus kamtibnas. Ulama, untuk mengancamkan neraka dan mengiklankan surga dalam fatwa atau khotbah, biarpun surga-neraka belum pernah dihuninya.

    Selamat datang di lahan kumuh. Inilah afkiran kota, sampah ketidakpedulian manusia. Siap-siaplah buat diserbu lapar-derita-dahaga. Mantra buat para pemula? Hafalkan saja, "Paring-paring, Den. Nyuwun kawelasan!" Praktekkan siang-malam, tiap ada kesempatan. Gantilah kalimatnya, sesuaikan dengan sikon maupun kebutuhan.

    Jangan minder atau gentar. Jangan resah atau menyesal. Gelandangan dan pengemis ialah profesi halal. Di Indonesia ini, dinasti Gepeng anggotanya jutaan orang. Kraton kita bertebaran di mana-mana, di 27 provinsi. Tepi kali-kali. Rel-rel kereta api. Makam sepi. Trotoar. Lorong kumuh. Sikap mentalmu: tiap saat bergerak, lari atau pindah. Prinsipmu: emoh kerja-keras, suka hidup serba enak-bebas-murah-gembira-mudah saja.

    Selamat datang di kota. Hayati filsafatmu, yaitu metamorfose. Ou, apa itu? Tidak apa-apa kau belum tahu. Itu bahasa asing. Arti metamorfose, berubah sosok bentuk secara bertahap dan bertingkat. Pralambang sucimu ulat-kepompong-kupu. Gepeng kelas ulat ialah kau yang kumuh dan menjijikkan. Kratonnya: makam, trotoar, kolong jembatan, taman kota, istana-kardus. Masyarakat menamakannya penyakit-sosial, benalu-masyarakat, sampah-kota. Gepeng kelas kepompong ialah priyayi-priyayi, bajunya beda, martabatnya lain, nafkahnya spesial tapi mentalitasnya sama seperti kau jua: minta-minta, emoh kerja-keras, spesial tapi mentalitasnya sama seperti kau jua: minta-minta, emoh kerja-keras, suka hidup mudah-enak-bebas-santai. Bisa saja priyayi itu Hansip, Tibum, Satpam, Makelar, Sopir, Kondektur. Wiraswasta atau Korpri. Juragan kecil dan juragan besar. Atau penganggur tersamar. Tiap ada transaksi selalu ngemis komisi. Tiap membeli-beli, selalu ngemis korting. Tiap ada rundingan khusus, selalu ngemis bonus, ngemis rezeki extra: uang tutup mulut, uang-dengar, uang-tunggu, uang-solidaritas dan lain-lain. Makan gaji tanpa kerja. Pokoknya mau serba enak-mudah.

    Selamat datang di kota. Silakan pilih, kau ulat, atau kepompong. Bebas masuk kasta. Tapi mentalitasnya sama. Bau dan martabatnya lain, tapi kualitas orangnya sami-mawon. Gepeng tulen: sekali ngemis tetap ngemis!

    Di puncak metamorfose, kau boleh jadi kupu. Apa fasilitas kebesaranmu? Jas lux. Sepatu import. Mobil mewah. Dasi mahal. Tas bergengsi. Kursi tinggi. Kantor megah. Telepon. Gaji besar. Rumah semewah istana. Sirkulasi duwit: nol lima-tujuh-sepuluh-duabelas. Operasi kerja? Sekali ngemis tetap ngemis! Itu mentalitas dan prinsip abadi. Ngemis proyek. Ngemis gengsi. Ngemis fasilitas. Ngemis subsidi. Ngemis monopoli. Ngemis dispensasi. Ngemis pidato. Ngemis seminar-penataran-simposium-lokakarya-pesta. Pokoknya ngemis!

    Jangan kaget! Suatu kali sang kupu bisa sajalah makan ulat, atau membisniskan kepompong. Ada metode dan peluang. Proyek. Izin-usaha. Proposal. Penelitian. Yayasan. Sirkuler. Dispensasi. Seminar. Seluruhnya absah dan legal. Ada lembaga. Ada personalia. Ada stempel. Ada kantor. Ada telepon. Ada logo, kop-surat. Ada daftar nama penuh wibawa. Kelihatan mulia!

    Kupu dan kepompong. Kepompong dari ulat. Namun ulat-kepompong-kupu sering tidak kenal, emoh mau tau. Lain hidup. Lain orde. Lain nasib. Tetapi mentalitas sama. Prinsipnya sama. Pokoknya ya ngemisss.

    Selamat datang Ge-Peng! Kau manusia utuh punya hak-hak azasi. Republik ini menjamin solidaritas bagi Ge-Peng, nasibmu diatur UUD-1945. Demi hak azasi, kau bebas memilih. Ulat? Kepompong? Kupu? "Pengemis" itu profesi setua sejarah. "Pengemis" itu mentalitas purba, setua peradaban manusia. Pengemis itu fitrah, tiap manusia punya kadar ke-gepeng-annya tersendiri dalam ragam gaya dan citra, halus dan kasar sama saja. Pengemis itu ada kastanya, mustahil dibasmi. Hanya gepeng kasta rendah diuber-uber, tapi pengemis tinggi nyaman di kursi. Jadi pengemis itu enak! Apalagi punya dalil demi agama-bangsa-negara. Selamat!

Jakarta, 1986 - Surabaya, 1987 - Semarang, 1988

Sumber: Salam Penyair (2002)

Analisis Puisi:

Puisi "Brigade Pengemis" karya Ragil Suwarna Pragolapati merupakan kritik sosial yang tajam terhadap realitas kehidupan urban, kemiskinan, dan ketidakadilan sosial. Dengan gaya satir dan ironis, puisi ini menggambarkan keberadaan kaum marginal, khususnya gelandangan dan pengemis (gepeng), serta bagaimana struktur sosial dan ekonomi membentuk pola hidup mereka.

Tema dan Makna Puisi

Tema utama puisi ini adalah ketidakadilan sosial dan mentalitas pengemis yang tidak hanya melekat pada mereka yang hidup di jalanan, tetapi juga pada kelas sosial yang lebih tinggi. Penyair menggambarkan dunia perkotaan yang keras dan tidak peduli terhadap kaum lemah, di mana satu-satunya "pusaka sakti" yang diakui adalah uang.

Puisi ini juga menyoroti bagaimana mentalitas mengemis tidak hanya berlaku bagi mereka yang berada di lapisan bawah, tetapi juga dalam birokrasi dan kelas menengah ke atas. Metafora "ulat-kepompong-kupu" menggambarkan transformasi sosial dari kaum marginal menjadi kaum elit yang tetap mempertahankan kebiasaan meminta—bukan lagi secara harfiah, tetapi dalam bentuk korupsi, lobi, dan manipulasi sistem.

Struktur dan Gaya Bahasa

Puisi ini menggunakan gaya bahasa yang lugas dan penuh sindiran. Penyair memanfaatkan diksi yang kasar dan langsung untuk menggambarkan realitas yang pahit. Beberapa teknik yang digunakan meliputi:
  • Ironi dan Satire: Penyair menyambut pembaca dengan frasa "Selamat datang di kota" seolah-olah menjadi gelandangan adalah sebuah pilihan yang wajar, padahal sebenarnya itu adalah bentuk sindiran terhadap sistem yang tidak berpihak pada kaum miskin.
  • Metafora: Ulat-kepompong-kupu menggambarkan transformasi sosial yang tetap mempertahankan pola hidup pengemis dalam berbagai bentuk.
  • Repetisi: Frasa "Sekali ngemis tetap ngemis!" mempertegas bahwa mentalitas pengemis bukan hanya ada di jalanan, tetapi juga dalam struktur sosial yang lebih tinggi.

Kritik Sosial dalam Puisi

Penyair dengan cerdas mengkritik berbagai aspek kehidupan sosial, di antaranya:
  • Ketimpangan Sosial: Kota digambarkan sebagai "kraton abadi" yang hanya mengenal satu hukum: uang. Siapa yang memiliki uang, dia yang berkuasa.
  • Eksploitasi Kaum Marginal: Para gelandangan menjadi objek kebijakan sosial yang sering kali hanya menjadi bahan seminar dan diskusi tanpa solusi nyata.
  • Hipokrisi Kaum Elit: Kelas menengah ke atas digambarkan tetap memiliki mentalitas pengemis dalam bentuk yang lebih halus, seperti mencari keuntungan melalui korupsi, lobi, dan nepotisme.
  • Ketidakpedulian Masyarakat: Masyarakat lebih memilih mengusir pengemis daripada menyelesaikan akar masalah kemiskinan.

Relevansi dengan Kondisi Sosial Saat Ini

Meskipun puisi ini ditulis beberapa dekade lalu, pesan yang disampaikan tetap relevan hingga sekarang. Fenomena pengemis, baik dalam bentuk literal maupun figuratif, masih terjadi di berbagai lapisan masyarakat. Kota-kota besar tetap menghadapi masalah kemiskinan, eksploitasi tenaga kerja, dan ketimpangan ekonomi. Selain itu, praktik korupsi dan mentalitas meminta-minta dalam sistem birokrasi tetap menjadi isu utama yang dihadapi negara berkembang.

Puisi "Brigade Pengemis" merupakan karya sastra yang tidak hanya menggambarkan realitas sosial, tetapi juga memberikan kritik tajam terhadap sistem yang tidak berpihak pada kaum marginal. Dengan gaya satir dan ironis, Ragil Suwarna Pragolapati mengajak pembaca untuk melihat bahwa mentalitas pengemis tidak hanya ada di jalanan, tetapi juga di berbagai tingkatan sosial. Melalui puisi ini, penyair menegaskan bahwa selama ketimpangan sosial masih terjadi, pengemis dalam berbagai bentuk akan tetap ada.

Dengan demikian, "Brigade Pengemis" bukan sekadar puisi tentang gelandangan, tetapi juga refleksi mendalam tentang bagaimana sistem sosial dan ekonomi menciptakan mentalitas pengemis yang berakar di berbagai strata masyarakat.

Ragil Suwarna Pragolapati
Puisi: Solidaritas "Brigade Pengemis"
Karya: Ragil Suwarna Pragolapati

Biodata Ragil Suwarna Pragolapati:
  • Ragil Suwarna Pragolapati lahir di Pati, pada tanggal 22 Januari 1948.
  • Ragil Suwarna Pragolapati dinyatakan menghilang di Parangtritis, Yogyakarta, pada tanggal 15 Oktober 1990.
  • Ragil Suwarna Pragolapati menghilang saat pergi bersemadi ke Gunung Semar. Dalam perjalanan pulang dari kaki Gunung Semar menuju Gua Langse (beliau berjalan di belakang murid-muridnya) tiba-tiba menghilang. Awalnya murid-muridnya menganggap hal tersebut sebagai kejadian biasa karena orang sakti lumrah bisa menghilang. Namun, setelah tiga hari tiga malam tidak kunjung pulang dan dicari ke mana-mana tidak diketemukan. Tidak jelas keberadaannya sampai sekarang, apakah beliau masih hidup atau sudah meninggal.
  • Dikutip dari Leksikon Susastra Indonesia (2000), pada masa awal Orde Baru, Ragil Suwarna Pragolapati pernah ditahan tanpa proses pengadilan karena melakukan demonstrasi.
  • Ragil Suwarna Pragolapati sering terlibat dalam aksi protes. Berikut beberapa aksi yang pernah diikuti: Menggugat Mashuri, S.H., Menteri PK, 1968. Memprotes Pemda Yogya, kasus Judi, 1968. Menggugat manipulasi dan korupsi, 1970-1971. Aksi memprotes Golkarisasi, 1970-1972. Memprotes Taman Mini Indonesia Indah (TMII), 1971-1972. Aksi menggugat SPP, 1971-1972. Aksi menolak televisi warna, 1971-1973. Aksi menolak komoditas Jepang, 1971-1974. Protes breidel pers 1977-1978.
© Sepenuhnya. All rights reserved.