Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Wedharing Wacana Mulya (Karya Gunawan Maryanto)

Puisi "Wedharing Wacana Mulya" karya Gunawan Maryanto menyuguhkan refleksi yang mendalam tentang pergantian musim, kehidupan, dan perasaan yang ...
Wedharing Wacana Mulya

Maret
Kau yang berdiri di ujung musim hujan
Di antara bunga gelagah berguguran
Kupanggil namamu. Kupanggil namamu
Lewat nyanyi tonggeret di pohon randu
Lihatlah padi-padi mulai berkembang
Musim hujan akan segera berakhir
Dengarlah sungai-sungai kembali tenang
Mengalirkan kesedihanmu yang sepi
Wahai kau yang masih berdiri di ujung musim hujan
Mengabur di antara bunga gelagah gugur
Kucari kamu di sepanjang musim kemarau tahun depan.

Jogja, 2014

Analisis Puisi:

Puisi "Wedharing Wacana Mulya" karya Gunawan Maryanto menyuguhkan refleksi yang mendalam tentang pergantian musim, kehidupan, dan perasaan yang terjalin di dalamnya. Penyair menggunakan elemen alam, terutama musim hujan yang beralih menuju musim kemarau, sebagai metafora bagi perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia, baik itu dalam hal perasaan, waktu, maupun perjalanan hidup itu sendiri.

Tema

Tema utama puisi ini adalah pergantian musim dan perubahan hidup. Puisi ini menggambarkan pergantian musim dari musim hujan ke musim kemarau sebagai sebuah simbol perubahan dalam kehidupan, baik itu perubahan perasaan, situasi, ataupun keberadaan seseorang. Dalam hal ini, musim hujan melambangkan waktu kesedihan dan keheningan, sementara musim kemarau lebih menggambarkan masa depan yang menanti, penuh dengan harapan dan pencarian.

Makna Tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini menggambarkan proses pencarian dan perpisahan. Penyair seakan berbicara kepada seseorang (mungkin figur yang memiliki makna mendalam dalam hidup penyair) yang berada di ujung musim hujan, yang diibaratkan tengah berada dalam kesedihan atau kekosongan. Saat musim hujan berakhir, ada harapan untuk menemukan dan memahami makna dari kesedihan tersebut dalam perjalanan hidup yang terus berubah. Puisi ini juga mengandung kenangan dan harapan, mengajak pembaca untuk merenung tentang bagaimana kita terus mencari sesuatu yang hilang atau berusaha memahami perasaan yang belum terselesaikan.

Puisi ini bercerita tentang perubahan musim yang mengandung makna lebih dalam—bukan hanya pergantian cuaca, melainkan juga pergantian perasaan atau fase hidup yang dialami oleh manusia. Penyair bercerita tentang seseorang yang berdiri di ujung musim hujan, sebagai simbol dari saat-saat terakhir kesedihan atau kekosongan, yang akan segera digantikan oleh perubahan menuju musim kemarau. Namun, dalam perubahan tersebut, ada harapan dan pencarian yang tak pernah berakhir.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini terasa melankolis dan penuh kontemplasi, seiring dengan gambaran musim hujan yang akan segera berakhir dan transisi menuju musim kemarau. Ada rasa kesedihan yang mendalam, namun juga ada kesan ketenangan saat sungai-sungai kembali tenang, seolah-olah menggambarkan sebuah kedamaian yang akan datang setelah masa-masa penuh kesedihan. Suasana ini juga menyiratkan sebuah harapan, bahwa meskipun ada perpisahan atau kehilangan, akan ada saat-saat baru yang membawa kedamaian.

Imaji

Imaji yang digunakan dalam puisi ini sangat kuat dan menggugah.
  • Imaji alam: "Bunga gelagah berguguran", "Padi-padi mulai berkembang", "Sungai-sungai kembali tenang", menciptakan gambaran visual yang jelas tentang pergantian musim dan proses kehidupan yang terus berlangsung.
  • Imaji suara: "Nyanyi tonggeret di pohon randu" membawa pembaca pada suasana yang penuh suara alam, melambangkan kehidupan yang terus berjalan meski ada perasaan atau kesedihan yang tersembunyi di baliknya.
  • Imaji gerak: "Mengabur di antara bunga gelagah gugur" menunjukkan perubahan yang tidak tampak jelas, namun tetap berlangsung—seperti kehidupan yang sering kali berubah tanpa bisa kita kendalikan sepenuhnya.

Majas

Dalam puisi ini, ada beberapa majas yang digunakan untuk memperkaya makna puisi:
  • Metafora: Pergantian musim, terutama dari musim hujan menuju musim kemarau, berfungsi sebagai metafora untuk perasaan dan perubahan dalam hidup.
  • Personifikasi: "Dengarlah sungai-sungai kembali tenang"—sungai-sungai diberi sifat manusiawi, seolah-olah mereka bisa mendengarkan dan menenangkan kesedihan.
  • Aliterasi: "Kucari kamu di sepanjang musim kemarau tahun depan" menggunakan pengulangan bunyi "k" untuk memberikan kesan keinginan atau pencarian yang berkelanjutan.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Puisi ini mengandung pesan tentang perubahan yang tak terhindarkan dalam kehidupan, dan bagaimana setiap fase dalam hidup membawa makna yang berbeda. Ada bagian-bagian dalam hidup yang penuh dengan kesedihan (simbol musim hujan), namun perubahan itu membawa kita menuju harapan dan pencarian baru (simbol musim kemarau). Penyair mengajak kita untuk menerima perubahan tersebut dan selalu mencari makna dari setiap perasaan yang datang. Meskipun ada kehilangan, akan selalu ada kesempatan untuk menemukan kedamaian dan pemahaman yang lebih dalam.

Puisi "Wedharing Wacana Mulya" karya Gunawan Maryanto adalah karya yang sangat mendalam, menggunakan elemen alam sebagai metafora kehidupan. Pergantian musim menjadi simbol dari perjalanan perasaan dan kehidupan manusia yang terus berubah. Dengan menggunakan imaji yang kuat dan majas yang memperkaya makna, puisi ini mengajak pembaca untuk merenung tentang perubahan, pencarian, dan harapan yang selalu ada, meskipun kita sering kali berhadapan dengan kesedihan atau kehilangan. Puisi ini menegaskan bahwa hidup terus bergerak maju, dan setiap perubahan membawa peluang untuk menemukan kedamaian yang baru.

Gunawan Maryanto
Puisi: Wedharing Wacana Mulya
Karya: Gunawan Maryanto
Biodata Gunawan Maryanto:
  • Gunawan Maryanto lahir pada tanggal 10 April 1976 di Yogyakarta, Indonesia.
  • Gunawan Maryanto meninggal dunia pada tanggal 6 Oktober 2021 (pada usia 45 tahun) di Yogyakarta, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.