Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Bagaimana Sepi Membunuh? (Karya Melki Deni)

Puisi "Bagaimana Sepi Membunuh?" mengangkat tema tentang keberadaan sepi sebagai bagian tak terpisahkan dari hidup, penciptaan, dan kematian.

Bagaimana Sepi Membunuh?

Ketika Waktu belum tiba di bumi,
Tuhan menciptakan semuanya dari Sepi.
Setelah itu, ada yang bilang, Tuhan menyepi dari Sepi bumi.

Tuhan datang lagi ketika manusia Sepi makan buah Sepi.
Makan buah Sepi, bagi Tuhan, berarti melanggar janji.
Melanggar janji, perintah Tuhan, berarti Mati.
Ada yang bertanya siapa yang menciptakan Sepi.
Tuhan, jawab yang lain. Tuhan yang Sepi
suka menyepi tak ingin kita Mati, tetapi Sepi kita ingin Mati.
Lewat Mati, Sepi kita ingin melihat Wajah Tuhan yang Sepi dalam Misteri.

Tetapi bukan dengan Bunuh Diri, kata Tuhan.
Tuhan pasti panggil saat kita benar-benar Sepi
atau bila tak suka menyaksikan
bagaimana Sepi Membunuh kita.


Madrid, 4  Maret 2025

Analisis Puisi:

Puisi "Bagaimana Sepi Membunuh?" mengangkat tema tentang keberadaan sepi sebagai bagian tak terpisahkan dari hidup, penciptaan, dan kematian. Sepi dalam puisi ini bukan sekadar keadaan sunyi, tetapi juga ruang spiritual, eksistensial, bahkan metafisik yang menghubungkan manusia dengan Tuhan dan kematian.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah bahwa sepi memiliki daya yang sangat besar dalam kehidupan manusia. Sepi bukan hanya tentang kesunyian fisik, melainkan juga kesendirian batin yang melahirkan perenungan mendalam tentang asal-usul, makna hidup, hubungan dengan Tuhan, hingga kematian itu sendiri.

Melki Deni ingin menyampaikan bahwa sepi bukan musuh, melainkan sebuah jalan untuk menemukan Tuhan dan memahami hakikat diri sendiri. Namun, sepi yang tak terkelola dengan baik bisa berubah menjadi ancaman yang mendorong manusia ke arah keputusasaan dan kematian.

Puisi ini bercerita tentang perjalanan manusia menghadapi sepi. Sejak awal penciptaan, bahkan sebelum waktu ada, Tuhan menciptakan segalanya dari sepi. Sepi menjadi bagian dari asal-muasal kehidupan. Namun, dalam perjalanan hidup manusia, sepi justru menjadi sesuatu yang ditakuti, dijauhi, bahkan sering kali diartikan sebagai hukuman atau kutukan.

Puisi ini juga mengisahkan bagaimana manusia yang tak sanggup berdamai dengan sepi, akan tergoda mencari cara mengakhiri sepinya, bahkan lewat kematian. Namun, Tuhan memperingatkan bahwa kematian sejati bukanlah dengan bunuh diri, melainkan saat manusia benar-benar siap dipanggil dalam kesepiannya yang paling sunyi.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini penuh kontemplasi, kesunyian yang mendalam, dan suasana religius yang reflektif. Ada nuansa muram sekaligus spiritual yang mengajak pembaca merenungi keterhubungan antara sepi, hidup, Tuhan, dan kematian.

Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi

Pesan yang ingin disampaikan adalah pentingnya menerima dan memahami sepi sebagai bagian dari kehidupan. Sepi bukan musuh, melainkan jendela menuju pengenalan diri dan pencarian makna hidup yang lebih dalam. Sepi yang diterima dengan lapang hati bisa menjadi jalan spiritual, sementara sepi yang ditolak atau dihindari justru akan membunuh perlahan.

Puisi ini juga mengingatkan bahwa bukan manusia yang menentukan kapan ia mati, melainkan Tuhan. Bunuh diri bukanlah solusi dari sepi, melainkan kesadaran menghadapi sepi itu sendiri yang justru membawa manusia menemukan wajah Tuhan.

Imaji

Puisi ini menyajikan beberapa imaji kuat yang menciptakan gambaran spiritual dan eksistensial:
  • Buah Sepi yang dimakan manusia — gambaran tentang bagaimana manusia berhadapan langsung dengan kesunyian hidup.
  • Wajah Tuhan dalam Misteri — imaji tentang Tuhan yang tak terjangkau, yang hanya bisa dirasakan dalam keheningan terdalam.
  • Sepi yang membunuh perlahan — imaji sepi yang begitu hidup, seolah menjadi sosok yang bisa menghabisi nyawa manusia.

Majas

Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini:
  • Personifikasi: Sepi digambarkan sebagai sesuatu yang bisa makan, membunuh, dan berinteraksi dengan manusia.
  • Metafora: “Buah Sepi” sebagai simbol pengalaman pahit hidup yang harus diterima manusia.
  • Repetisi: Kata Sepi diulang-ulang untuk menegaskan bahwa sepi adalah poros utama dalam puisi ini.
  • Paradoks: Sepi yang diciptakan Tuhan, tetapi Tuhan sendiri menyepi dari sepi bumi — menunjukkan kontradiksi eksistensial yang mendalam.

Puisi Melki Deni
Puisi: Bagaimana Sepi Membunuh?
Karya: Melki Deni

Biodata Melki Deni:
  • Melki Deni adalah mahasiswa STFK Ledalero, Maumere, Flores, NTT.
  • Melki Deni menjuarai beberapa lomba penulisan karya sastra, musikalisasi puisi, dan sayembara karya ilmiah baik lokal maupun tingkat nasional.
  • Buku Antologi Puisi pertamanya berjudul TikTok. Aku Tidak Klik Maka Aku Paceklik (Yogyakarta: Moya Zam Zam, 2022).
  • Saat ini ia tinggal di Madrid, Spanyol.
© Sepenuhnya. All rights reserved.