Analisis Puisi:
Puisi “Banjir Duka” mengangkat tema tentang bencana banjir dan dampak sosialnya. Banjir yang terus berulang menjadi simbol penderitaan dan ketidakberdayaan masyarakat, sekaligus cerminan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh ulah manusia sendiri.
Makna Tersirat
Puisi ini menyiratkan bahwa banjir bukan semata-mata bencana alam, tetapi juga akibat dari kelalaian dan keserakahan manusia. Alam yang dirusak dan diabaikan akhirnya balas meluapkan kemarahannya, sementara masyarakat, baik miskin maupun kaya, menjadi korban yang sama.
Lebih jauh lagi, banjir di luar rumah seolah merefleksikan banjir duka di dalam hati, menunjukkan bahwa penderitaan yang dirasakan masyarakat bukan hanya bersifat fisik, tetapi juga psikis dan emosional. Banjir menjadi metafora kesedihan kolektif yang menumpuk akibat ketidakadilan, ketidakpedulian pemerintah, dan siklus bencana yang tak pernah putus.
Puisi ini bercerita tentang banjir di ibu kota yang datang berulang kali tanpa henti, membawa kesedihan mendalam bagi masyarakat. Puisi ini juga mempertanyakan penyebab banjir, apakah murni karena alam yang marah atau justru karena ulah manusia sendiri. Di tengah banjir fisik, hadir pula banjir duka yang telah lama dipendam oleh masyarakat akibat ketidakpastian hidup dan berbagai penderitaan lainnya.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini terasa muram, penuh kepasrahan sekaligus kegetiran. Ada rasa lelah menghadapi bencana yang berulang, disertai kesedihan yang mendalam karena kehidupan yang semakin sulit.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Puisi ini menyampaikan pesan bahwa manusia harus bertanggung jawab atas lingkungannya sendiri. Bencana alam seperti banjir bukan sekadar fenomena alam biasa, melainkan cerminan dari kerusakan ekologi yang dipicu oleh keserakahan manusia.
Selain itu, puisi ini juga mengingatkan bahwa bencana tidak pernah memandang status sosial, semua bisa menjadi korban. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran kolektif untuk menjaga alam, merawat lingkungan, dan membangun keadilan sosial agar penderitaan yang menumpuk tak terus berlanjut.
Imaji
Beberapa imaji yang hadir dalam puisi ini, antara lain:
- Banjir yang datang berulang kali, menciptakan gambaran visual tentang air yang meluap menenggelamkan rumah-rumah.
- Banjir yang masuk ke rumah, menemani banjir duka, menciptakan imaji kesedihan yang berlapis, baik secara fisik maupun batin.
- Banjir yang tak peduli miskin atau kaya, menghadirkan imaji tentang ketidakberdayaan universal.
Majas
Majas yang muncul dalam puisi ini di antaranya:
- Personifikasi: “banjir menuju rumahmu menemani banjir duka,” seolah-olah banjir memiliki kesadaran untuk ikut merasakan kesedihan penghuni rumah.
- Metafora: “banjir duka” yang melambangkan kesedihan dan penderitaan batin.
- Antitesis: “tak peduli miskin atau kaya,” menunjukkan bahwa bencana tidak membeda-bedakan status sosial.
- Repetisi: “banjir” yang diulang beberapa kali menegaskan betapa banjir telah menjadi fenomena yang terus menerus dan menghantui masyarakat.
Puisi “Banjir Duka” karya Aspar Paturusi adalah potret getir tentang bencana banjir yang tak kunjung usai, sekaligus metafora kesedihan kolektif yang dipikul masyarakat akibat ketidakpedulian dan ketidakadilan. Puisi ini bukan sekadar mengisahkan banjir fisik, tetapi juga banjir emosi dan kepedihan sosial yang terus mengalir. Lewat bahasa yang sederhana namun sarat makna, puisi ini menjadi pengingat keras bahwa manusia dan alam memiliki hubungan yang saling memengaruhi—jika manusia merusak alam, maka alam akan membalasnya dengan bencana.
Karya: Aspar Paturusi
Biodata Aspar Paturusi:
- Nama asli Aspar Paturusi adalah Andi Sopyan Paturusi.
- Aspar Paturusi lahir pada tanggal 10 April 1943 di Bulukumba, Sulawesi Selatan.
