Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Di Sini Sepi Lebih Berduri (Karya Iyut Fitra)

Puisi "Di Sini Sepi Lebih Berduri" karya Iyut Fitra adalah sebuah elegi yang getir tentang kekecewaan seorang anak negeri terhadap kampung ...
Di Sini Sepi Lebih Berduri

Yang berdiri di persimpangan jalan. itulah aku
malin namaku
lelaki yang telah pulang
di batas-batas kota mimpi kutinggalkan. tak ada airmata
selain bungkus rindu pada jalan-jalan kecil itu. sisa embun di daun-daun
selebihnya tentu suara azan dari surau tua
telah berbagai kupungut kata-kata. susunan falsafah yang bimbang
setiap kueja sungai-sungai berwarna merah. danau-danau
dan lautan menghampar aneh. darah yang mengalir
tak pernah menjadi puisi
lalu berceceranlah kata demi kata yang kutemu. menjadi luka
yang berkabar tentang ranah. serta rumah gadang yang dirubuhkan

"Ke mana lumbung-lumbung dulu
ke mana padi bergoni-goni diantarkan
ke mana kopi, lada, dan kayu manis
ke mana gadis-gadis yang malu di balik jendela?"

Berdiri aku di halaman. batang-batang tak lagi ada
malin namaku
lelaki yang diserbu perih
waktu yang kupinjam. perjalanan yang telah kulunasi
pelan-pelan menghunjam rabu. menjalar menuju sawah dan pematang
tanah yang tergadai
kurindukan kampung halaman hingga angan-angan kulepaskan
kutinggalkan seluruh macam percintaan
tapi di sini sepi lebih berduri. segala telah dibangun untuk diri sendiri
lalu senja yang susut perlahan. awan-awan berarak murung
di sepanjang jalan kulihat ibu-ibu
merenda airmata

Yang berdiri di puing rumah gadang. itulah aku
malin namaku
lelaki yang kecewa.

Analisis Puisi:

Tema utama dalam puisi ini adalah kepulangan yang pahit, keterasingan di kampung halaman sendiri, serta kekecewaan terhadap perubahan sosial dan budaya di tanah kelahiran. Puisi ini membawa kita pada potret kekecewaan seorang perantau yang pulang, namun tak lagi menemukan kampungnya seperti dulu.

Makna Tersirat

Puisi ini menyiratkan bahwa waktu dan pembangunan yang berorientasi materi telah menggerus identitas budaya, nilai-nilai tradisi, serta kehangatan sosial di kampung halaman. Malin—tokoh dalam puisi—pulang dengan rindu yang membuncah, namun yang ia temukan hanyalah kehampaan dan kekecewaan.

Kampung halaman yang seharusnya hangat dan akrab, kini terasa asing, penuh luka, dan kehilangan jiwa.

Puisi ini bercerita tentang seorang perantau bernama Malin yang kembali ke kampung halamannya setelah lama pergi. Namun, kampung yang ia rindukan ternyata telah berubah drastis. Rumah gadang rubuh, tradisi pudar, dan tanah-tanah warisan telah tergadai.

Malin bukan hanya kecewa pada perubahan fisik kampungnya, tetapi juga pada hilangnya makna-makna lama yang dulu ia kenal. Ia mendapati bahwa kampung yang ia cintai telah berubah menjadi tempat yang asing dan dingin.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini muram, getir, dan penuh kesedihan mendalam. Ada perasaan kehilangan dan keterasingan di tempat yang seharusnya menjadi rumah sendiri.

Puisi ini juga menyiratkan suasana pilu akibat pergeseran nilai-nilai budaya yang tak bisa dihindari.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan yang ingin disampaikan puisi ini adalah pentingnya menjaga akar budaya dan identitas kampung halaman, meski zaman terus berubah.

Puisi ini juga mengingatkan bahwa pembangunan yang mengabaikan tradisi dan kemanusiaan akan menyisakan luka batin bagi mereka yang merindukan akar sejarahnya.

Selain itu, puisi ini juga seperti kritik sosial terhadap pembangunan yang eksploitatif dan mengorbankan nilai-nilai lokal.

Imaji

Puisi ini dipenuhi imaji kuat yang membangun suasana dan visual kampung yang telah berubah:
  • Imaji visual: “rumah gadang yang dirubuhkan”, “sungai-sungai berwarna merah”, “awan-awan berarak murung”, “ibu-ibu merenda air mata”.
  • Imaji auditif: “suara azan dari surau tua”, “embun di daun-daun”, “berbagai kata-kata yang berkabar tentang ranah”.
  • Imaji perasaan: “sepi lebih berduri”, “lelaki yang diserbu perih”, “kekecewaan yang menghunjam”.

Majas

Puisi ini menggunakan beberapa majas, di antaranya:
  • Metafora: “sepi lebih berduri” melambangkan kesepian yang sangat menyakitkan.
  • Personifikasi: “senja yang susut perlahan”, seolah-olah senja memiliki nyawa dan perasaan.
  • Simbol: rumah gadang mewakili identitas budaya dan kebanggaan kampung.
  • Repetisi: pengulangan nama “Malin” di beberapa bagian puisi, menegaskan bahwa puisi ini adalah refleksi diri si tokoh utama.
  • Imaji simbolik: “airmata” yang direnda ibu-ibu melambangkan kesedihan kolektif akibat perubahan yang menyakitkan.
Puisi "Di Sini Sepi Lebih Berduri" karya Iyut Fitra adalah sebuah elegi yang getir tentang kekecewaan seorang anak negeri terhadap kampung halamannya sendiri.

Lewat tokoh Malin—yang mungkin sengaja dipilih sebagai simbol dari kisah Malin Kundang modern—puisi ini menyoroti betapa waktu dan modernisasi bisa merenggut akar tradisi dan nilai-nilai budaya yang dulu menjadi identitas sebuah kampung.

Puisi ini menyentuh kerinduan kolektif kita semua, tentang kampung halaman yang pelan-pelan menghilang di tengah arus zaman.

Iyut Fitra
Puisi: Di Sini Sepi Lebih Berduri
Karya: Iyut Fitra

Biodata Iyut Fitra:
  • Iyut Fitra (nama asli Zulfitra) lahir pada tanggal 16 Februari 1968 di Nagari Koto Nan Ompek, Kota Payakumbuh, Sumatra Barat.
© Sepenuhnya. All rights reserved.