Analisis Puisi:
Puisi "Garut" Karya Dodong Djiwapradja mengangkat tema penderitaan akibat bencana alam, perpisahan, dan kehilangan. Puisi ini menggambarkan bagaimana alam yang seharusnya memberikan kehidupan justru berubah menjadi sumber kehancuran.
Makna Tersirat
Makna tersirat dalam puisi ini adalah kesedihan mendalam akibat bencana yang melanda desa. Alam yang hijau berubah merah karena api, menunjukkan kehancuran yang terjadi. Kali yang biasanya membawa kehidupan kini justru menjadi simbol kematian. Puisi ini juga bisa dimaknai sebagai gambaran bagaimana manusia tak berdaya menghadapi amukan alam.
Puisi ini bercerita tentang sebuah desa yang dilanda bencana, mungkin banjir atau kebakaran, yang mengakibatkan kematian dan kehancuran. Penduduk desa yang sebelumnya menggantungkan hidup pada sawah dan ladang kini harus meninggalkan tanah mereka. Panen terakhir diibaratkan sebagai kehilangan nyawa terakhir, menunjukkan bagaimana desa yang dulu subur kini menjadi sunyi dan tak berpenghuni.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini penuh dengan kesedihan, kepedihan, dan duka mendalam. Penyair menggambarkan bagaimana desa yang dulu indah dan hijau kini hancur akibat bencana. Ada pula perasaan nostalgia dalam bait "desa dikenang desa terbayang," yang menunjukkan kerinduan akan masa lalu yang lebih baik.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Beberapa pesan yang dapat diambil dari puisi ini antara lain:
- Kehidupan di desa yang damai bisa berubah dalam sekejap akibat kekuatan alam.
- Bencana dapat menghancurkan tidak hanya lingkungan, tetapi juga kehidupan manusia dan harapan mereka.
- Kita harus lebih peduli terhadap alam dan menyadari bahwa manusia tidak berdaya di hadapan kekuatannya.
Imaji
Puisi ini menghadirkan imaji yang kuat, seperti:
- "Api menjilat membakar rumah" → Imaji visual yang menggambarkan kehancuran akibat kebakaran.
- "Maut mengintip maut menanti" → Imaji yang memperlihatkan kematian yang mengintai setiap saat.
- "Panen terakhir nyawa penghabisan" → Perumpamaan bahwa kehidupan telah benar-benar berakhir.
Majas
Puisi ini menggunakan beberapa majas yang memperkuat maknanya:
- Personifikasi, seperti "kali yang memanggil mati", yang menggambarkan sungai seolah-olah memiliki kekuatan untuk membawa kematian.
- Metafora, dalam "panen terakhir nyawa penghabisan", yang menyamakan kematian dengan panen terakhir di desa.
- Repetisi, dengan pengulangan frasa "Desa dikenang desa terbayang", yang memperkuat nuansa nostalgia dan kehilangan.
Puisi "Garut" karya Dodong Djiwapradja adalah sebuah elegi untuk desa yang hancur akibat bencana. Dengan gaya bahasa yang kuat dan imaji yang tajam, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan bagaimana alam dapat berubah dari sumber kehidupan menjadi penyebab kehancuran. Melalui puisi ini, kita diajak untuk mengenang desa yang telah tiada dan memahami bahwa kehidupan selalu penuh dengan ketidakpastian.