Hujan di Pagi Hari
Hujan di pagi hari mengheningkan sepi
Hendak kutulis surat kepadanya
Sosok bayang terlena dari lampu dan mentari
Detik-detik yang surut ke jamnya
Oh, pedih sekali; menyaksikan seluruh peristiwa
Dengan mata terkatup. Dan wajah merekah
Darah menyimbah sekujur tubuh
Dan engkau yang asyik menyanyi
Menyanyilah! semerdu ombak-ombak di dada kita
Yang memecah putih-putih pada karang
Dan menenggelamkan seluruh kenangan mutlak ke dasar segara
Wahai! Perahu yang masih tinggal di pelabuhan
Engkau pun akan tenggelam pula nanti
Maka bersiap-siaplah; tenggelam!
Analisis Puisi:
Puisi "Hujan di Pagi Hari" karya Suripto Harsah memiliki tema utama tentang kesedihan, kehilangan, dan renungan akan waktu yang terus berjalan. Melalui suasana hujan di pagi hari, penyair mengajak pembaca merenungkan tentang kenangan, kepergian, dan keterasingan yang dialami seseorang.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini mengarah pada gambaran batin seseorang yang merasakan kesedihan mendalam akibat kehilangan, baik karena perpisahan, kematian, atau keterpisahan emosional. Hujan yang turun di pagi hari seakan melambangkan kesunyian dan heningnya hati yang meratapi kenangan masa lalu. Selain itu, puisi ini juga mencerminkan ketidakberdayaan manusia menghadapi waktu dan takdir, seperti perahu yang kelak akan tenggelam.
Puisi ini bercerita tentang seorang tokoh yang tengah merenung di tengah suasana hujan pagi. Ia ingin menulis surat kepada seseorang, mungkin sosok yang telah pergi atau menghilang dari kehidupannya. Bayangan sosok tersebut muncul dalam pikirannya di antara cahaya lampu dan mentari. Dalam suasana sepi itu, penyair menyaksikan bagaimana kenangan-kenangan menyakitkan kembali menyeruak, hingga terasa seperti luka yang berdarah.
Di tengah pedihnya kenangan, tokoh dalam puisi mencoba menguatkan diri. Ia mengajak dirinya, atau mungkin bayangan sosok tersebut, untuk terus menyanyi, seolah merayakan ombak-ombak perasaan yang menghempas. Hingga akhirnya, perahu yang masih tertambat di pelabuhan — mungkin perlambang harapan yang tersisa — pun ditakdirkan akan tenggelam. Semua akan berakhir, dan manusia harus bersiap menghadapi akhir tersebut.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Pesan yang dapat ditangkap dari puisi ini adalah tentang ketidakabadian semua hal di dunia. Kenangan, kebahagiaan, bahkan kesedihan akan berlalu dan tenggelam dalam arus waktu. Manusia harus belajar berdamai dengan perpisahan dan kehilangan, karena semuanya adalah bagian dari perjalanan hidup.
Imaji
Puisi ini kaya dengan imaji visual dan imaji auditif. Misalnya:
- Imaji visual: "hujan di pagi hari", "wajah merekah", "darah menyimbah sekujur tubuh"
- Imaji auditif: "menyanyilah! semerdu ombak-ombak di dada kita" Imaji tersebut menghadirkan gambaran suasana yang kuat, sekaligus membangkitkan perasaan sepi, pedih, dan getir di benak pembaca.
Majas
Suripto Harsah menggunakan beberapa majas dalam puisi ini, di antaranya:
- Majas Personifikasi, seperti pada baris hujan di pagi hari mengheningkan sepi, di mana hujan seolah menjadi sosok yang mampu mengheningkan sesuatu.
- Majas Metafora, seperti pada baris ombak-ombak di dada kita, yang menggambarkan gelombang perasaan atau emosi yang bergejolak.
- Majas Hiperbola, seperti pada baris darah menyimbah sekujur tubuh, yang melebih-lebihkan rasa sakit akibat kenangan pahit.
Karya: Suripto Harsah
