Analisis Puisi:
Tema utama dalam puisi ini adalah kerapuhan cinta dan kenangan di tengah waktu yang terus berjalan. Puisi ini mengangkat momen hujan sebagai latar simbolik untuk menggambarkan perasaan yang menggantung, tentang kebersamaan yang sementara dan perpisahan yang perlahan terasa pasti.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah tentang kefanaan kebersamaan. Hujan yang perlahan reda menjadi metafora bagi hubungan yang juga perlahan kehilangan makna dan gairahnya. Ada kesan bahwa hujan pernah menyatukan, menciptakan kenangan, namun setelahnya, masing-masing pihak sadar bahwa tak selamanya bisa terus bersama. Waktu dan kenyataan memaksa mereka beranjak.
Puisi ini juga menyiratkan tentang ketidakpastian cinta—tentang dua manusia yang mencoba berteduh di bawah kenangan indah, meski sadar bahwa setelah hujan berlalu, mereka harus kembali ke dunia nyata.
Puisi ini bercerita tentang sepasang kekasih atau dua insan yang berteduh bersama saat hujan. Mereka berbagi ruang, mencuri waktu, dan mengisi hujan dengan canda, lagu, dan kenangan. Namun, setelah hujan berlalu, muncul kesadaran pahit bahwa kebersamaan mereka hanya sebatas persinggahan. Di luar sana, hidup terus berjalan. Orang-orang kembali melanjutkan perjalanan dan membiarkan kenangan tinggal di masa lalu.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini terasa melankolis, sendu, namun juga intim. Ada kehangatan sementara yang bersembunyi di antara tetesan hujan, namun juga ada bayang-bayang perpisahan yang tak terhindarkan.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Pesan yang bisa diambil dari puisi ini adalah bahwa tidak semua kebersamaan ditakdirkan berlangsung lama. Ada momen-momen singkat dalam hidup yang indah, namun hanya sebatas persinggahan. Hujan bisa mempertemukan, tapi setelahnya kita harus kembali melanjutkan perjalanan masing-masing. Puisi ini mengingatkan bahwa cinta dan kenangan harus diterima sebagai bagian dari proses hidup, meski tak selalu berujung pada kebersamaan abadi.
Imaji
Puisi ini menyajikan imaji yang kuat:
- Trotoar basah yang dipenuhi wajah-wajah asing dengan buku-buku di tangan.
- Tubuh yang dihempaskan ke gelombang lagu.
- Melukis hujan di jendela yang sebenarnya telah terbingkai sebelum mereka datang. Semua imaji ini menciptakan gambaran suasana romantis sekaligus melankolis di tengah hujan.
Majas
Beberapa majas yang muncul dalam puisi ini:
- Metafora: "paru-paruku digantungi batu" menggambarkan beban emosional atau sesak perasaan yang dirasakan.
- Personifikasi: "hujan perlahan reda" memberi sifat manusiawi pada hujan.
- Simbolisme: hujan sebagai simbol kenangan dan momen singkat yang bermakna.
- Ironi: meski hujan mempertemukan, justru setelah hujan berlalu, mereka harus berpisah.
Puisi “Hujan yang Berlalu” karya Agit Yogi Subandi adalah puisi tentang kenangan, cinta yang rapuh, dan kesadaran akan keterbatasan waktu. Melalui hujan, lagu, dan jendela, puisi ini membangun suasana melankolis yang mengajak pembaca merenungkan bahwa tidak semua pertemuan berakhir dengan kebersamaan yang abadi. Setelah hujan berlalu, kita semua harus kembali berjalan dan meninggalkan kenangan di belakang.
Karya: Agit Yogi Subandi