Isi dan Kulit
Terpandang kulit pisang di atas batu
siang malam berdingin-berpanas
menghitam rupa dimakan waktu
tak dipandang insan yang melintas.
Mari kawan, mari kemari
pandang dia ambil tamsilnya
masih ada harganya bernilai
setelah isi dinikmati rasa.
Kawan, tiada isi dihargakan orang
andaikata kulit tiada terpandang
dan sekiranya isi saja yang disuguhkan
pasti sangsi orang menelan.
Itulah kawan
tamsil kulit pisang yang kujumpa
— isi dan kulit haruslah setara
demikian sikap sepanjang zaman. —
3 Maret 1948
Analisis Puisi:
Tema utama dalam puisi ini adalah keselarasan antara isi dan penampilan luar. Puisi ini mengangkat konsep keseimbangan antara esensi dan kemasan, antara kualitas batin dan citra fisik.
Makna Tersirat
Makna tersirat dalam puisi "Isi dan Kulit" adalah kritik sosial terhadap cara pandang manusia yang sering kali menilai sesuatu hanya dari penampilannya saja. Kulit di sini melambangkan penampilan luar, sedangkan isi melambangkan kualitas atau substansi sebenarnya.
Penyair ingin menyampaikan bahwa tidak cukup hanya memiliki isi yang baik jika kulit atau tampilan luarnya tidak terawat, karena manusia cenderung memandang sesuatu dari permukaannya terlebih dahulu. Sebaliknya, penampilan yang indah juga akan sia-sia jika isinya kosong. Keseimbangan antara isi dan kulit menjadi simbol keselarasan antara kualitas diri dan cara seseorang membawakan dirinya di hadapan orang lain.
Puisi ini bercerita tentang sebuah kulit pisang yang tergeletak di atas batu, yang telah terlupakan dan membusuk dimakan waktu. Kulit pisang itu melambangkan penampilan luar yang sering kali dianggap remeh setelah isinya habis dinikmati. Melalui kulit pisang ini, penyair mengajak pembaca merenungkan pentingnya menjaga keseimbangan antara isi dan kulit, antara substansi dan citra diri.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini sederhana namun sarat refleksi. Ada nuansa kontemplatif, mengajak pembaca merenungkan kembali nilai dari sesuatu yang terlihat remeh, tetapi sejatinya mengandung pesan penting tentang kehidupan.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Pesan yang ingin disampaikan melalui puisi ini adalah pentingnya menjaga keseimbangan antara kualitas diri (isi) dan cara seseorang membawakan dirinya di hadapan orang lain (kulit). Penampilan luar memang bukan segalanya, tetapi juga tidak bisa diabaikan sepenuhnya, karena manusia cenderung menilai dari apa yang terlihat.
Dengan kata lain, puisi ini mengingatkan bahwa penampilan dan substansi harus berjalan beriringan, karena keduanya saling mendukung dalam membentuk citra dan nilai diri seseorang di mata masyarakat.
Imaji
Beberapa imaji yang muncul dalam puisi ini:
- Imaji visual: “kulit pisang di atas batu”, memberikan gambaran nyata tentang benda sederhana yang terabaikan.
- Imaji perasaan: “tak dipandang insan yang melintas”, menghadirkan kesan diabaikan dan diremehkan.
- Imaji waktu: “siang malam berdingin-berpanas”, menggambarkan perjalanan waktu yang terus berjalan tanpa henti.
Majas
Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini:
- Metafora: Kulit pisang melambangkan penampilan luar, sementara isi pisang melambangkan kualitas atau nilai sejati.
- Personifikasi: Kulit pisang yang berdingin-berpanas, memberi kesan bahwa kulit pisang mengalami penderitaan seolah-olah makhluk hidup.
- Alegori: Puisi ini secara keseluruhan adalah alegori tentang kehidupan manusia, di mana penampilan luar dan kualitas batin harus selaras agar dihargai orang lain.
Puisi "Isi dan Kulit" karya A.A. Navis adalah puisi reflektif yang menyampaikan pesan filosofis tentang pentingnya keselarasan antara isi dan penampilan luar. Melalui simbol kulit pisang, penyair mengajak pembaca memandang kehidupan dengan lebih bijaksana, bahwa nilai sejati bukan hanya terletak pada penampilan atau substansi saja, melainkan harmoni keduanya.
Puisi ini mengingatkan bahwa di mata masyarakat, kualitas yang baik perlu didukung dengan penyampaian atau penampilan yang baik pula. Sebaliknya, penampilan yang menarik tanpa isi yang berkualitas hanya akan menjadi kesia-siaan belaka.
Puisi: Isi dan Kulit
Karya: A.A. Navis
Biodata A.A. Navis:
- A.A. Navis (Haji Ali Akbar Navis) lahir di Kampung Jawa, Padang Panjang, Sumatra Barat, pada tanggal 17 November 1924.
- A.A. Navis meninggal dunia di Padang, Sumatra Barat, pada tanggal 22 Maret 2003 (pada usia 78 tahun).
- A.A. Navis adalah salah satu sastrawan angkatan 1950–1960-an.
