Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Klotokan dan Sahur (Karya Ahmad Yani AZ)

Tema utama puisi "Klotokan dan Sahur" adalah tradisi dan kenangan masa kecil yang terikat dalam ritual sahur di bulan Ramadan. Tradisi membangunkan ..
Klotokan dan Sahur
(Merindu Ramadhan)

Tak pernah kutemukan bulan dari pecahan irama-irama malam selain gemerincingnya yang membangunkan titian lampau masa kecil.
Nada-nada itu mengikat tradisi sebagai nadi yang mengalirkan ritmik dari mata hati yang terjaga di atas bilah masa.
Serupa "klotokan" dan "grencengan" menerbitkan tetabuh mengisyaratkan berdirinya sahur kita.
Tak kujumpa di tanah mana irama ini bermula namun di tanah kami setiap subuh adalah lagu purnama melingkarkan aurora abadi perekat tradisi.
Tak jua sunyi akan melampaui karnavalnya,
Tak jua sepi meliputi meriahnya.
Namun di garis bulan penuh berkah irama-irama itu terus menuntun rasa hingga mungkin usia kami tak kuasa menjaganya.

Kuala Tungkal, Jambi
6 Agustus 2015

Analisis Puisi:

Tema utama puisi "Klotokan dan Sahur" adalah tradisi dan kenangan masa kecil yang terikat dalam ritual sahur di bulan Ramadan. Tradisi membangunkan sahur yang khas di kampung menjadi simbol bagaimana budaya lokal mengalirkan nilai kebersamaan dan spiritualitas.

Makna Tersirat

Puisi ini menyiratkan kerinduan mendalam pada tradisi yang mulai terkikis oleh zaman. Dalam dentingan suara "klotokan" dan "grencengan" itu, tersembunyi makna tentang akar budaya yang membentuk identitas sebuah komunitas. Tradisi sahur bukan sekadar ritual membangunkan orang untuk makan, melainkan sebuah warisan yang menautkan generasi dengan sejarah, tradisi, dan spiritualitas masa lalu.

Selain itu, puisi ini juga menyimpan pesan nostalgia—mengingatkan bahwa masa kecil yang penuh kehangatan tradisi adalah bagian berharga yang membentuk jiwa manusia dewasa ini.

Puisi ini bercerita tentang suasana sahur yang khas di masa kecil—dimana suara alat musik tradisional seperti "klotokan" dan "grencengan" membangunkan masyarakat untuk bersantap sahur. Melalui suara-suara itu, penyair mengingat bagaimana tradisi ini mengikat komunitas dalam kebersamaan spiritual. Irama sahur tersebut seperti lagu purnama yang tidak hanya membangunkan tubuh, tetapi juga menyadarkan hati akan kekayaan budaya dan makna kebersamaan.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini dipenuhi kehangatan nostalgia, keakraban tradisi, dan sentuhan magis Ramadan di kampung halaman. Ada nuansa meriah, namun sekaligus menyimpan kesedihan tersirat, karena tradisi itu bisa saja perlahan hilang ditelan waktu.

Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi

Puisi ini menyampaikan pesan tentang pentingnya menjaga tradisi dan nilai-nilai budaya lokal. Tradisi sahur yang khas, dengan suara "klotokan" dan "grencengan", bukan sekadar ritual biasa. Ia adalah cermin identitas budaya yang menghubungkan generasi masa kini dengan akar sejarah leluhurnya.
Puisi ini juga mengingatkan bahwa nostalgia terhadap tradisi bukan sekadar romantisme masa lalu, melainkan cara untuk merawat jati diri dan menghidupkan kembali nilai kebersamaan yang kian pudar.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji yang membawa pembaca merasakan langsung suasana sahur tradisional. Beberapa imaji yang menonjol antara lain:
  • “gemerincingnya yang membangunkan titian lampau masa kecil” — menghadirkan imaji suara yang membangunkan kenangan.
  • “setiap subuh adalah lagu purnama melingkarkan aurora abadi” — menciptakan gambaran subuh yang syahdu dan penuh makna spiritual.
  • “klotokan dan grencengan menerbitkan tetabuh” — menghadirkan imaji suara khas yang menghidupkan tradisi.

Majas

Puisi ini menggunakan beberapa majas, di antaranya:
  • Metafora: “lagu purnama melingkarkan aurora abadi” — menggambarkan suasana sahur yang indah dan penuh makna.
  • Personifikasi: “irama-irama itu terus menuntun rasa” — seolah-olah suara sahur memiliki jiwa yang membimbing perasaan manusia.
  • Repetisi: pengulangan tentang "irama" yang terus muncul, menegaskan bahwa suara sahur bukan sekadar bunyi, melainkan warisan budaya yang hidup.

Klotokan dan Sahur
Puisi: Klotokan dan Sahur
Karya: Ahmad Yani AZ

Biodata Ahmad Yani AZ:

Ahmad Yani AZ lahir di Kuala Tungkal (Bungsu dari 9 bersaudara, 11 Februari 1969. Sejak kelas 4 SD sudah mulai mencoba untuk terjun ke dunia kepenulisan dan sampai SLTA maupun saat melanjutkan studi pada Akademi Komunikasi Jurnalistik Yogyakarta sampai sekarang ini. Yang pada waktu itu mengikuti test pada Universitas Jambi, IKIP Karang Malang dan Institut Seni Indonesia Jurusan Tari, justru lulus pada Akademi Komunikasi Jurnalistik Yogyakarta (tahun 1993).

Di samping menekuni dunia kepenulisan, juga sambil aktif mengisi waktu masuk di sanggar Natya Lakshita Yogyakarta pimpinan Didik Nini Thowok (3 bulan) dan LPK. Kepenyiaran Radio & TV (Jurusan Kepenulisan Naskah 1994).

Selesai di Akademi Komunikasi Yogyakarta dan kembali ke kampung halaman, kemudian menjadi Freelance Journalist (dan magang) di Harian Independent (yang sekarang Jambi Independent) kemudian aktif menulis di rubrik opini dan budaya di Pos Metro, Jambi Ekspres dan sempat menjadi Kabiro/Reporter Mingguan Jambi Post (1998-2000), Pimred Bulletin Poltik KIN RADIO (2004), kemudian diminta menjadi staf redaksi Mingguan Media Pos Medan (lebih kurang 1,5 tahun: 2002), Wakil Sekretaris Pincab. Pemuda Panca Marga (2001–2014), Bagian Seni Budaya/Pariwisata Pemuda Panca Marga Tanjab Barat 2014-2018 dan 2009-2012 Freelance Journalist: Harian Radar Tanjab, Pos Metro, Jambi Eks, Jambi Independent, Infojambi, Tipikor Meda, Harian Jambi, Tribun, Staf Disporabudpar Tanjab Barat (November 2014 sampai sekarang Wartawan/Pengasuh Rubrik Seni dan Sastra Harian Tungkal Post). Putra bungsu H. Ahmad Zaini (Tokoh Pejuang/Anggota Veteran, Anggota Laskar Hisbullah, Barisan Selempang Merah & Saksi/Pelaku Sejarah).
© Sepenuhnya. All rights reserved.