Reminisensi
Minggu pagi telah merapat dan janji yang telah terburai mesti terurai,
Kau turun dari angkot berkerudung hitam dan jaket biru, berbalik padaku
Aku merapikan mimik wajahku yang biasa ini agar tampak menarik dimatamu,
Kutangkap senyumanmu yang abadi itu
Kita berjalan di sepanjang jalan universitas
dipayungi rimbun pohon kersen yang mengintip itikad kita
Kau banyak bicara seperti biasanya,
Sementara tak ada yang ingin kubicarakan selain pesan dari rindu semalaman
Di bangku kayu panjang kita berhadapan,
Matamu menangkap kegelisahan di mataku,
"Kenapa, Ada yang ingin dibicarakan?" Tanyamu sambil tersenyum
Aku hanya berupaya menghindari tatapanmu yang mencecar itu,
Mencoba tersenyum, memandangi arloji murahan yang tak pernah lepas ditanganku
Seraya menyusun keberanian untuk berkata-kata
Dan...
Pesan itu tak pernah sampai,
Aku mendadak jadi seperti orang dungu,
Dan kau terdiam, bersama cahaya wajahmu yang meredup semuram mendung
Sepi menetas, semilir menyinggung ujung kerudungmu yang lepek
Aku hilang,
Dan momentum tak lagi terulang
Selepas itu kau tak pernah lagi datang
Jatinangor, 2014
Analisis Puisi:
Puisi "Reminisensi" karya Adhitya Wanda Pratama menggambarkan kenangan akan pertemuan yang penuh harapan, tetapi berakhir dengan kehilangan. Dengan gaya bahasa yang reflektif dan melankolis, puisi ini membawa pembaca masuk ke dalam momen yang tidak akan terulang.
Tema
Tema utama puisi ini adalah kenangan, kehilangan, dan penyesalan. Puisi ini merefleksikan perasaan seseorang yang mengenang kembali sebuah pertemuan yang menyisakan kesan mendalam tetapi juga kesedihan.
Makna Tersirat
Puisi ini menyiratkan bahwa ada momen dalam hidup yang tidak akan pernah bisa terulang, dan terkadang kesempatan untuk mengungkapkan perasaan bisa hilang begitu saja. Penyesalan sering muncul ketika seseorang tidak mampu menyampaikan apa yang sebenarnya dirasakan.
Beberapa baris yang menunjukkan makna tersirat ini:
- "Dan... Pesan itu tak pernah sampai, Aku mendadak jadi seperti orang dungu" → Menggambarkan kegagalan untuk mengungkapkan perasaan.
- "Dan kau terdiam, bersama cahaya wajahmu yang meredup semuram mendung" → Mengindikasikan bahwa ada harapan yang pupus.
- "Selepas itu kau tak pernah lagi datang" → Menandakan bahwa kesempatan itu telah berlalu dan tidak akan kembali.
Puisi ini bercerita tentang seseorang yang mengenang pertemuannya dengan seseorang yang istimewa. Ia ingin menyampaikan sesuatu yang penting, tetapi kehilangan keberanian untuk mengatakannya. Pada akhirnya, orang yang dinantikan itu tidak pernah kembali, dan kenangan akan momen tersebut terus membekas dalam ingatan.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini terasa nostalgis, melankolis, dan penuh penyesalan. Ada harapan di awal, tetapi semakin ke akhir puisi, suasana berubah menjadi sendu karena perasaan yang tidak sempat terungkap.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Puisi ini mengajarkan bahwa kesempatan tidak selalu datang dua kali, dan jika kita memiliki sesuatu yang ingin disampaikan kepada seseorang, sebaiknya kita mengungkapkannya sebelum terlambat.
Imaji
- Imaji visual → "Kau turun dari angkot berkerudung hitam dan jaket biru" (memberikan gambaran nyata tentang sosok yang dikenang), "dipayungi rimbun pohon kersen yang mengintip itikad kita" (membantu pembaca membayangkan suasana tempat pertemuan).
- Imaji auditorik → "Kau banyak bicara seperti biasanya" (menggambarkan suara dan kebiasaan tokoh).
- Imaji taktil → "Semilir menyinggung ujung kerudungmu yang lepek" (menghadirkan sensasi angin yang menyentuh kain).
Majas
- Metafora → "Sepi menetas" (menggambarkan kesunyian yang muncul seperti sesuatu yang menetas atau lahir).
- Personifikasi → "Cahaya wajahmu yang meredup semuram mendung" (menggambarkan ekspresi kesedihan dengan perbandingan cuaca).
- Hiperbola → "Pesan itu tak pernah sampai, Aku mendadak jadi seperti orang dungu" (melebih-lebihkan perasaan gugup hingga kehilangan kata-kata).
Puisi "Reminisensi" adalah puisi yang menyentuh hati karena menggambarkan perasaan menyesal akibat kesempatan yang hilang. Dengan bahasa yang sederhana tetapi penuh makna, puisi ini mengingatkan pembaca bahwa dalam hidup, ada hal-hal yang tidak bisa diulang, dan perasaan yang tidak diungkapkan bisa berubah menjadi kenangan yang menyakitkan.
Karya: Adhitya Wanda Pratama