Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Sahur Pertama (Karya Gunoto Saparie)

Puisi "Sahur Pertama" menghadirkan gambaran yang dalam tentang momen awal dalam bulan suci Ramadhan, saat seseorang bersiap untuk menyambut waktu ...
Sahur Pertama

mendadak aku terbangun dinihari
dalam kesejukan embun di bulan suci
seteguk air perigi dan sepotong singkong
sahur pertama perut serta jiwa kosong
 
sebelum maut datang dan napas terhenti
sebelum kalbu kerontang kehilangan iman
sebelum puasaku, salatku, ibadahku, o, tuhan
sebelum puisi tiada arti, tinggal alam abadi

2022

Analisis Puisi:

Puisi "Sahur Pertama" menghadirkan gambaran yang dalam tentang momen awal dalam bulan suci Ramadhan, saat seseorang bersiap untuk menyambut waktu sahur.

Awal yang Suci: Puisi ini menangkap momen penting pertama saat berpuasa di bulan Ramadhan, yang dianggap suci dalam agama Islam. Sahur pertama diidentifikasi sebagai momen yang diisi dengan kesadaran spiritual dan kesiapan untuk menjalani ibadah puasa dengan sepenuh hati.

Kesederhanaan dalam Ritual: Penggambaran sederhana tentang air perigi dan sepotong singkong sebagai sajian sahur menggambarkan kesederhanaan dalam pelaksanaan ritual keagamaan. Hal ini menekankan pada esensi spiritualitas dan pengorbanan diri yang terkandung dalam ibadah puasa.

Kesadaran akan Kematian dan Ketuhanan: Puisi ini juga menghadirkan refleksi mendalam tentang keterbatasan manusia dan kesadaran akan kematian. Penyebutan "sebelum maut datang" menekankan urgensi untuk memanfaatkan waktu yang tersisa dengan baik, sambil tetap berpegang pada keyakinan akan Tuhan dan kekuasaan-Nya.

Antara Duniawi dan Kehidupan Abadi: Ada perenungan yang kuat tentang hubungan antara kehidupan duniawi dan kehidupan abadi. Puisi ini menyiratkan bahwa saat-saat awal dalam puasa tidak hanya tentang menjaga tubuh, tetapi juga tentang mempersiapkan jiwa untuk koneksi yang lebih dalam dengan yang Ilahi.

Nilai Kehidupan dan Karya: Puisi ini menyoroti nilai-nilai kehidupan yang hakiki dan pentingnya kehadiran Tuhan dalam kehidupan sehari-hari. Kesadaran akan keberadaan Tuhan memperkuat makna dari setiap aktivitas manusia, termasuk ibadah dan karya seni seperti puisi itu sendiri.

Dengan demikian, puisi "Sahur Pertama" bukan hanya sekedar deskripsi tentang momen sahur, tetapi juga refleksi tentang spiritualitas, keterbatasan manusia, dan hubungan yang mendalam dengan Tuhan. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan arti dan nilai dari ibadah puasa serta pentingnya kehadiran spiritual dalam kehidupan sehari-hari.

Gunoto Saparie
Puisi: Sahur Pertama
Karya: Gunoto Saparie

Biodata Gunoto Saparie:

Gunoto Saparie lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan formal yang ditempuh adalah Sekolah Dasar Kadilangu, Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Pertama Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Kendal, Akademi Uang dan Bank Yogyakarta, dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Sedangkan pendidikan nonformal Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah Tlahab, Gemuh, Kendal dan Pondok Pesantren KH Abdul Hamid Tlahab, Gemuh, Kendal.

Selain menulis puisi, ia juga mencipta cerita pendek, kritik sastra, esai, dan kolom, yang dimuat di sejumlah media cetak terbitan Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, Brunei Darussalam, Malaysia, Australia, dan Prancis. Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981),  Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996),  Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018), dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya Indonesia, Jakarta, 2019). Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004).  Novelnya Selamat Siang, Kekasih dimuat secara bersambung di Mingguan Bahari, Semarang (1978) dan Bau (Pelataran Sastra Kaliwungu, Kendal, 2019) yang menjadi nomine Penghargaan Prasidatama 2020 dari Balai Bahasa Jawa Tengah.

Ia juga pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015). Sejumlah puisi, cerita pendek, dan esainya termuat dalam antologi bersama para penulis lain.  Puisinya juga masuk dalam buku Manuel D'Indonesien Volume I terbitan L'asiatheque, Paris, Prancis, Januari 2012. Ia juga menulis puisi berbahasa Jawa (geguritan) di Panjebar Semangat dan Jaya Baya.

Ia menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta), Tanahku (Semarang), Delik Hukum Jateng (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang), Pemimpin Redaksi Radio Gaya FM (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Faktual (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Otobursa Plus (Semarang), dan Redaktur Legislatif  (Jakarta).

Kini ia masih aktif menjadi Redaktur Pelaksana Majalah Info Koperasi (Kendal), Majalah Justice News (Semarang), dan Majalah Opini Publik (Blora).

Saat ini ia menjabat Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua III Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Jawa Tengah, dan Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah. Sebelumnya ia pernah menjabat Ketua Kelompok Studi Seni Remaja (KSSR) Kendal, Ketua Pelaksana Dewan Teater Kendal, Sekretaris Forum Komunikasi Studi Mahasiswa Kekaryaan (Fokusmaker) Jawa Tengah, Wakil Ketua Ormas MKGR Jawa Tengah, Fungsionaris DPD Partai Golkar Jawa Tengah, Sekretaris DPD Badan Informasi dan Kehumasan Partai Golkar Jawa Tengah, dan Sekretaris Bidang Kehumasan DPW Partai Nasdem Jawa Tengah. 

Sejumlah penghargaan di bidang sastra, kebudayaan, dan jurnalistik telah diterimanya, antara lain dari Kepala Perwakilan PBB di Jakarta dan Nairobi, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia Pusat, Menteri Perumahan Rakyat, Menteri Penerangan, Menteri Luar Negeri, Menteri Lingkungan Hidup, Pangdam IV/ Diponegoro, dan Kepala Balai Bahasa Jawa Tengah. Selain itu, di tengah kesibukannya menulis, ia kadang diundang untuk membaca puisi, menjadi juri lomba kesenian, pemakalah atau pembicara pada berbagai forum kesastraan dan kebahasaan, dan mengikuti sejumlah pertemuan sastrawan di Indonesia dan luar negeri.
© Sepenuhnya. All rights reserved.