Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Semua Telah Melihat (Karya Mardi Luhung)

Puisi "Semua Telah Melihat" karya Mardi Luhung adalah sebuah refleksi puitik tentang pengawasan semesta, pencatatan peristiwa hidup, dan pencarian ...
Semua Telah Melihat

Padang luas yang meluas. Padang luas yang penuh mata. Ke mana
pun melangkah selalu ada yang mengikut. Dan paham apa-apa yang
bergerakan di bolak-baliknya hati. Dan apa-apa yang menjadikan

si pencatat tercekat. Mendekap kitab yang telah dicatatnya. Sebab
ada yang kurang lengkap ketika dihadapkan pada Sang Waktu.
"Tapi, ini sudah cocok dengan apa yang terlihat," begitu bisik

si pencatat. Seperti bisik pada arah yang telah lepas. Tapi jawab
Sang Waktu: "Sepertinya memang cocok. Tapi, itu masih sepertinya.
Bukan sebenarnya." Si pencatat kembali tercekat. Terus mengubah

catatannya. Saat itu, padang luas yang meluas pun makin meluas.
Ke mana gerangan batas akhirnya. Ke mana juga nasib bagi yang kini
cuma menunggu arah turun, lurus, atau lompat itu. Memang, saat itu,

ada sepasang sayap terbang rendah. Warnanya putih. Putih memplak.
Lalu hinggap di punggung sosok yang buta. Yang dadanya terbuka.
Dan dari dada yang terbuka itu, siapa saja yang berkenan memasukkan

kepalanya, akan dapat melihat cuaca yang tenang, angin yang tenang,
dan taman yang juga tenang. Taman yang berpayung bianglala. Taman
yang berbisik: "Apa yang akan tak terlihat, jika semua telah melihat."

Gresik, 2018

Analisis Puisi:

Puisi "Semua Telah Melihat" mengusung tema tentang pengawasan semesta dan pencarian makna kebenaran di hadapan waktu dan eksistensi. Puisi ini mengajak pembaca merenungkan bagaimana setiap langkah manusia seolah diawasi dan dicatat, lalu dipertanyakan kembali di hadapan Sang Waktu.

Makna Tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini berkaitan dengan kesadaran manusia akan pengawasan semesta dan pencatatan perbuatan, sekaligus keterbatasan manusia memahami kebenaran sejati. Ada semacam kritik terhadap pencarian kebenaran yang serba terburu-buru, instan, dan hanya berfokus pada apa yang terlihat di permukaan, padahal kebenaran yang hakiki seringkali lebih dalam dan tak sekadar yang tertangkap oleh mata.

Puisi ini juga menyiratkan bahwa dunia adalah padang luas yang penuh mata, yang berarti selalu ada saksi yang mengawasi gerak-gerik manusia, baik dari luar maupun dari dalam dirinya sendiri.

Puisi ini bercerita tentang seorang pencatat yang bertugas merekam semua kejadian di padang luas yang penuh mata. Ia mencatat semua yang terlihat, namun saat berhadapan dengan Sang Waktu, catatannya masih dianggap belum sempurna. Ada jarak antara apa yang terlihat dan apa yang benar-benar terjadi. Dalam proses tersebut, muncul gambaran sepasang sayap putih yang hinggap di punggung sosok buta, simbol ketidakberdayaan sekaligus ketulusan menerima apa pun yang terjadi. Sosok itu, meski buta, justru membuka dadanya sebagai jendela ke taman yang tenang. Di taman itulah, tersimpan kebijaksanaan bahwa tak ada lagi yang tersembunyi jika semua telah melihat.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini terasa penuh refleksi, mistis, dan sarat perenungan filosofis. Ada perpaduan antara kecemasan eksistensial dengan ketenangan spiritual, menciptakan kontras yang menarik antara pengawasan ketat semesta dan kedamaian taman di dada yang terbuka.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan yang disampaikan puisi ini adalah pentingnya melihat lebih dalam dari sekadar apa yang tampak oleh mata. Kebenaran sejati bukan hanya soal apa yang tercatat secara formal, tetapi juga soal pemahaman batin yang lebih hakiki. Puisi ini juga mengingatkan bahwa tak ada yang benar-benar tersembunyi di dunia ini, karena semesta selalu menjadi saksi. Pada akhirnya, kesadaran akan pengawasan semesta seharusnya membawa manusia pada kesadaran moral dan spiritual yang lebih dalam.

Imaji

Puisi ini menyajikan banyak imaji yang kuat, di antaranya:
  • Padang luas yang penuh mata — gambaran visual tentang dunia yang penuh pengawasan.
  • Si pencatat yang tercekat sambil mendekap kitab catatan — imaji yang menunjukkan kegelisahan manusia menghadapi pengadilan waktu.
  • Sepasang sayap putih yang hinggap di punggung sosok buta — imaji yang sarat simbol tentang ketulusan dan penerimaan nasib.
  • Dada terbuka yang di dalamnya ada taman tenang berpayung bianglala — imaji indah yang menghadirkan ketenangan batin di balik kesadaran akan keterbatasan manusia.

Majas

Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini antara lain:
  • Metafora: "padang luas yang penuh mata" sebagai metafora dunia yang selalu mengawasi.
  • Personifikasi: "waktu yang menjawab dan berbisik" memberi kesan waktu sebagai sosok hidup.
  • Simbolisme: "sayap putih" sebagai simbol ketulusan dan kemurnian, "dada yang terbuka" sebagai simbol kejujuran batin, dan "taman yang tenang" sebagai simbol ketenangan spiritual.
Puisi "Semua Telah Melihat" karya Mardi Luhung adalah sebuah refleksi puitik tentang pengawasan semesta, pencatatan peristiwa hidup, dan pencarian kebenaran sejati di hadapan waktu. Dengan bahasa yang filosofis dan simbolik, puisi ini mengajak pembaca menyadari bahwa hidup ini adalah ruang yang terbuka, di mana segala sesuatu diamati, dicatat, dan kelak dipertanyakan kembali. Pada akhirnya, manusia diajak untuk jujur pada dirinya sendiri, karena tak ada yang benar-benar bisa disembunyikan dari mata semesta.

Sepenuhnya Puisi
Puisi: Semua Telah Melihat
Karya: Mardi Luhung
© Sepenuhnya. All rights reserved.