Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Sihir Matahari Jakarta (Karya Ikranagara)

Puisi "Sihir Matahari Jakarta" karya Ikranagara adalah potret tajam tentang Jakarta sebagai kota penuh paradoks. Di satu sisi, ia menyihir para ...
Sihir Matahari Jakarta

ketika matahari di ubun-ubun langit jakarta menyilaukan pandang
menyihir gedung jangkung
bim salabim!
maka berjajarlah reptelia raksasa
dinosaurus abad 21
otot beton tulang besi
sambil mengunyah permen karet langkah baris mereka berat berdebam
menggusur menghimpit ludas kampung-kampung tua

suara jerit rintih tangis penghuninya

tapi telinga siapa mampu mendengar
ketika matahari di ubun-ubun langit jakarta menyilaukan pandang
menyihir jalan-jalan jadi sungai banjir bergemuruh
arus airnya arus kendaraan menderu-deru deras setelah lampu hijau
mampat dan macet berdesakan dihadang lampu merah menyala

juga merah warna darah membasahi jalan beraspal mulus
korban kecelakaan di kala siang hari

tapi mata siapa mampu menangkap warna
ketika matahari di ubun-ubun langit jakarta menyilaukan pandang
menyihir kita semua para pendatang dari seantero pelosok negeri
bim salabim!
maka jadilah kita laron-laron melarikan diri
dari cengkeraman musim paceklik tak berkesudahan di desa-desa
berhamburan terbang dengan sayap-sayap lemah
harapkan
cahaya ramah matahari Jakarta

Jakarta, 2007

Analisis Puisi:

Puisi ini mengangkat tema kehidupan urban di Jakarta, ketimpangan sosial, dan kerasnya realitas kota metropolitan. Jakarta digambarkan sebagai kota penuh daya tarik, tetapi di balik gemerlapnya, ada penderitaan yang tersembunyi.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah kritik sosial terhadap pembangunan Jakarta yang tidak ramah bagi rakyat kecil. Gedung-gedung pencakar langit yang menjulang mewakili kekuasaan kapitalis, sementara kampung-kampung tua yang tergusur melambangkan nasib wong cilik yang terpinggirkan.

Di sisi lain, matahari Jakarta menjadi simbol janji-janji manis kehidupan kota, yang ternyata menipu dan melukai para pendatang yang datang dengan harapan besar.

Puisi ini bercerita tentang Jakarta sebagai kota yang menyihir para pendatang dengan janji-janji kemakmuran, padahal di balik itu tersembunyi realitas pahit berupa kemacetan, banjir, kecelakaan, penggusuran, serta ketidakpedulian sosial.

Para pendatang dari desa-desa datang ke Jakarta seperti laron-laron yang terbang menuju cahaya, tanpa sadar bahwa cahaya itu bukan keselamatan, melainkan ilusi yang menjerumuskan.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini panas, bising, keras, penuh kegelisahan, dan kelam. Ada nuansa ironi yang kuat — di satu sisi Jakarta menjanjikan harapan, di sisi lain Jakarta juga menjadi tempat penderitaan dan penindasan. Suasana metropolis yang padat, sesak, dan kejam sangat terasa.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Puisi ini menyampaikan pesan bahwa modernisasi dan pembangunan kota seringkali mengabaikan kemanusiaan, terutama nasib rakyat kecil yang tersingkir.

Selain itu, puisi ini juga mengingatkan agar kita tidak terbuai dengan gemerlapnya kota besar, sebab di balik kilau cahaya itu tersimpan realitas pahit yang penuh kesengsaraan.

Imaji

Puisi ini kaya akan imaji yang menggugah visual dan suasana:
  • Imaji visual: gedung jangkung, kampung-kampung tua yang tergusur, jalanan yang macet dan banjir, serta laron-laron yang beterbangan.
  • Imaji suara: suara jerit, rintih tangis penghuni kampung, suara kendaraan menderu-deru.
  • Imaji gerak: arus kendaraan menderu, laron-laron melarikan diri, langkah berat berdebam gedung-gedung raksasa.

Majas

Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini:
  • Metafora: "reptelia raksasa" melambangkan gedung-gedung pencakar langit.
  • Personifikasi: matahari menyihir gedung, jalan, dan manusia.
  • Hiperbola: "mengunyah permen karet langkah baris mereka berat berdebam" memperkuat kesan kasar dan kejamnya pembangunan.
  • Simbol: laron-laron melambangkan pendatang yang rapuh, sedangkan matahari Jakarta menjadi simbol harapan semu.
  • Repetisi: "ketika matahari di ubun-ubun langit Jakarta menyilaukan pandang" diulang untuk memperkuat kesan bahwa semua kejadian buruk itu berlangsung di bawah terik yang membutakan.
Puisi "Sihir Matahari Jakarta" karya Ikranagara adalah potret tajam tentang Jakarta sebagai kota penuh paradoks. Di satu sisi, ia menyihir para pendatang dengan janji kemakmuran, tetapi di sisi lain, ia juga menjadi mesin penghancur bagi rakyat kecil dan para pendatang itu sendiri.

Lewat gaya bahasa yang penuh imaji dan kritik sosial yang tajam, puisi ini mengajak pembaca untuk menyadari sisi gelap pembangunan kota besar dan tidak mudah terbuai oleh gemerlapnya.

Puisi: Sihir Matahari Jakarta
Puisi: Sihir Matahari Jakarta
Karya: Ikranagara

Biodata Ikranagara:
  • Ikranagara lahir pada tanggal 19 September 1943 di Loloan Barat, Jembrana, Bali.
© Sepenuhnya. All rights reserved.