Analisis Puisi:
Puisi adalah tubuh spiritual yang tak hanya bisa dibaca dengan mata, tetapi juga dengan hati dan napas yang dalam. Dimas Arika Mihardja, seorang penyair dengan kepekaan metaforis yang luar biasa, melalui puisinya “Biarkan Aku Menulis Puisi, Senggama” menyuguhkan ruang tafsir yang erotis sekaligus spiritual, jasmani sekaligus ruhani. Di balik diksi “senggama” yang menggelitik nalar, tersimpan pelajaran cinta yang tak biasa—dan justru karena itulah puisi ini menohok, membekas, dan menggugah.
Puisi ini bercerita tentang hubungan antara penciptaan puisi dengan pengalaman cinta dan penyatuan jiwa. Penyair menggunakan diksi “senggama” bukan sekadar sebagai simbol hubungan fisik, melainkan sebagai metafora penyatuan total antara aku dan kamu, antara jiwa dan kata, antara cinta dan cipta. Senggama, dalam konteks ini, adalah sebuah proses spiritual dan kreatif yang melibatkan rasa, tubuh, pikiran, dan iman.
Tema dalam Puisi
Tema utama dalam puisi ini adalah cinta dan penciptaan puisi sebagai bentuk penyatuan spiritual. Senggama, yang secara harfiah merujuk pada hubungan fisik, ditarik oleh penyair menjadi simbol pertemuan ruhani antara dua insan, antara penyair dan puisinya, antara cinta dan Tuhan. Tema ini menyelusup ke dalam pencarian makna puisi yang lebih dalam: puisi bukan sekadar kata-kata, melainkan penghayatan akan cinta, kehidupan, dan keberadaan itu sendiri.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini menyiratkan bahwa menulis puisi adalah tindakan mencintai secara total. Ketika seseorang menulis puisi, ia seperti sedang menyatu—bergumul dengan emosi, pengalaman, dan ingatan yang mendalam. Maka, penciptaan puisi bukanlah tindakan sepele atau sekadar teknis, melainkan proses intim yang menyerupai senggama spiritual, di mana seluruh keberadaan diserap untuk mencipta sesuatu yang abadi: puisi.
Makna lainnya yang bisa dibaca secara tersirat adalah bahwa menulis puisi adalah bentuk ibadah, sebuah pengabdian kepada cinta dan kepada Tuhan yang hadir dalam bentuk keindahan, luka, dan keabadian.
Suasana dalam Puisi
Puisi ini menciptakan suasana yang intens, penuh gairah, namun tidak vulgar. Ia bukan sekadar sensual, tetapi justru penuh penghayatan, melodi sunyi, dan getar spiritual yang menjalar dari setiap metafora yang digunakan. Ada juga suasana keheningan menjelang fajar yang membawa nuansa mistik dan meditatif.
Imaji dalam Puisi
Puisi ini kaya dengan imaji yang sensual dan spiritual sekaligus, antara lain:
- “kertas adalah ranjang pergumulan” → imaji sensual yang menyimbolkan kertas sebagai tempat penciptaan, bukan dalam arti seksual, tetapi tempat “bergumul” dengan kata dan rasa.
- “aku-kamu sebagai pena-tinta” → imaji penyatuan, di mana dua entitas menjadi alat penciptaan.
- “saat subuh lepuh” → imaji waktu yang lembut, sunyi, spiritual, tempat segala kesadaran bertumbuh.
- “meneteskan kisah-kasih” dan “menyanyikan gelora mencinta” → imaji kuat yang menggambarkan cinta sebagai aliran tanpa henti, penuh daya cipta.
Majas dalam Puisi
Dimas Arika Mihardja menggunakan berbagai majas untuk memperkuat kedalaman puisinya:
- Metafora: Hampir seluruh puisi dibangun dari metafora, seperti senggama sebagai proses kreatif, pena-tinta sebagai simbol pasangan, atau kertas sebagai ranjang.
- Personifikasi: Puisi diperlakukan seperti makhluk hidup yang bisa menyatu, mencinta, meneteskan kasih, dan menyanyikan gelora.
- Repetisi: Frasa “Biarkan aku…” yang diulang pada awal setiap bait memberikan tekanan pada intensi dan tekad aku-liris, menciptakan irama dan resonansi emosional yang kuat.
- Hiperbola: Ada pembesaran makna dalam frasa seperti “jatuh cinta berkali-kali pada puisi”, yang menunjukkan kecintaan luar biasa sang penyair terhadap puisi.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat dari puisi ini adalah bahwa puisi harus ditulis dengan sepenuh jiwa, dengan gairah cinta, dan dengan kesadaran akan keagungan proses penciptaan. Menulis bukan pekerjaan ringan, tetapi sebuah pergulatan total antara tubuh, pikiran, perasaan, dan kepercayaan. Dalam dunia puisi, cinta dan penciptaan adalah satu tarikan napas.
Puisi ini juga membawa pesan bahwa cinta yang sejati adalah cinta yang tidak hanya menyentuh tubuh, tetapi juga menyentuh ruh. Senggama sejati bukanlah tindakan biologis semata, melainkan tindakan spiritual yang menyatukan dua jiwa dalam harmoni dan penciptaan.
Puisi sebagai Pergumulan Ruhani
Puisi “Biarkan Aku Menulis Puisi, Senggama” bukanlah puisi yang bisa dibaca tergesa-gesa. Ia menuntut kita menyelami setiap bait seperti kita menyelami jiwa seseorang yang sedang jatuh cinta. Dimas Arika Mihardja dengan lihai menyulam sensualitas dengan spiritualitas, menjadikan puisi ini sebagai meditasi cinta, sekaligus pengakuan bahwa menulis puisi bisa jadi adalah bentuk senggama paling suci: menyetubuhi ruh, bukan hanya tubuh.
Puisi ini mengajarkan kita bahwa mencinta dan menulis adalah dua aktivitas yang sangat mirip: keduanya perlu kejujuran, pengorbanan, dan keberanian untuk larut sepenuhnya. Maka, siapa pun yang menulis, jika ingin tulisannya hidup, barangkali memang harus terlebih dahulu jatuh cinta berkali-kali pada puisi.
Karya: Dimas Arika Mihardja
