Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Aku Pasti Kembali Pada-Mu (Karya Ahmadun Yosi Herfanda)

Puisi “Aku Pasti Kembali Pada-Mu” Karya Ahmadun Yosi Herfanda bercerita tentang seorang manusia yang menyadari kesalahannya, menyesali masa ...
Aku Pasti Kembali Pada-Mu

Ketika embun pagi meredam api Cintaku 
Dan burung jiwa kembali ke sarang hatiku 
Kudengar lagi panggilan itu. Ya, panggilan itu 
Meredam gejolak dadaku. Tunggulah 
Aku akan datang kembali pada-Mu. Pasti. 
Karna Engkaulah pemilikku

Aku akan datang dengan segenap luka 
Dengan selingkuh dan khianat yang sia-sia
Aku akan datang dengan sujud paling pilu 
Dengan rasa dosa yang paling sendu

Kudengar lagi panggilan itu 
Lima kali sepusingan waktu
Tak pernah lupa Engkau memanggilku 
Dengan suara bilal yang paling merdu 
Tunggulah. Aku pasti kembali pada-Mu

Aku akan kembali, meski ngilu meremuk kakiku
Aku akan kembali, meski berbutir peluru menghadangku 
Aku akan kembali, meski berbilah pisau mengancamku
Aku akan kembali, meski jarak tak berbilang waktu 
Aku akan kembali pada-Mu. Pasti!

Apalah arti kerja yang memeras keringatku 
Dibanding nikmat bertemu dengan-Mu 
Apalah arti dunia yang memerangkapku

Dibanding nikmat bersimpuh di hadapan-Mu 
Apalah arti asmara yang melenakanku 
Dibanding nikmat kasih sayang-Mu!

Aku akan Kembali pada-Mu! 
Karena, hanya Engkaulah 
Pemilikku!

Analisis Puisi:

Puisi sering kali menjadi ruang refleksi yang tak hanya menyuarakan perasaan personal penyair, tetapi juga menyentuh dimensi spiritual dan eksistensial yang lebih dalam. Dalam puisi “Aku Pasti Kembali Pada-Mu”, Ahmadun Yosi Herfanda menyampaikan sebuah renungan spiritual yang sarat dengan keinsafan, kesedihan, dan keteguhan hati. Puisi ini bukan sekadar ungkapan rasa bersalah atau penyesalan, tetapi lebih dari itu: sebuah ikrar jiwa untuk pulang ke pangkuan Ilahi.

Tema Puisi: Spiritualitas dan Pertobatan

Puisi ini memiliki tema yang kuat tentang spiritualitas, pertobatan, dan kembali kepada Tuhan. Penyair menyampaikan bahwa tak peduli seberapa jauh seorang manusia melangkah menjauh, seberapa besar luka dan dosa yang pernah dibawanya, tetap ada ruang untuk pulang—untuk sujud dan berserah diri kepada Yang Maha Kasih.

Dengan kata lain, puisi ini mengetengahkan sebuah perjalanan batin yang pada akhirnya membawa manusia kembali kepada Tuhan sebagai tujuan akhir yang tak tergantikan.

Puisi ini bercerita tentang seorang manusia yang menyadari kesalahannya, menyesali masa lalunya, dan berjanji dengan penuh tekad untuk kembali kepada Tuhannya. Penulis menyebutkan luka, selingkuh, dan khianat sebagai bagian dari perjalanan hidup yang penuh cela, tetapi pada akhirnya semua itu akan ditinggalkan demi kembali pada “Pemilikku”.

Setiap baitnya seolah menjadi tahapan perjalanan spiritual. Dari kesadaran akan panggilan Tuhan, penyesalan mendalam, hingga tekad bulat untuk kembali, meski berbagai rintangan menghadang. Ini bukan sekadar pengakuan dosa, tetapi juga sebuah pernyataan iman yang teguh.

Makna Tersirat: Manusia Sebagai Musafir Spiritual

Secara makna tersirat, puisi ini menyampaikan gagasan bahwa manusia sejatinya hanyalah musafir di dunia ini. Segala kenikmatan duniawi—pekerjaan, cinta asmara, bahkan rasa aman—tak lebih dari ilusi yang menutupi hakikat hidup: bahwa manusia diciptakan untuk kembali kepada Sang Pencipta.

Ada pesan mendalam tentang kefanaan dunia dan keabadian akhirat, serta ajakan kepada pembaca untuk tidak menunda pertobatan. Karena waktu terus berjalan, dan panggilan Tuhan—melalui azan, perenungan, dan nurani—tak pernah berhenti.

Imaji: Lembut dan Kuat Sekaligus

Dalam puisi ini, imaji yang digunakan sangat menyentuh dan hidup. Contohnya:
  • “Ketika embun pagi meredam api cintaku” menciptakan gambaran visual dan perasaan yang sangat kuat: pagi sebagai waktu refleksi, dan embun sebagai penyejuk bagi cinta yang menggelora, atau mungkin telah menyimpang.
  • “Dengan sujud paling pilu, dengan rasa dosa yang paling sendu” menciptakan imaji emosional yang kuat tentang kerendahan hati dan kepedihan batin.
Puisi ini menyatu antara keindahan visual dengan kedalaman rasa, menjadikan imaji bukan sekadar pelengkap, tetapi pusat pengalaman puitis.

Majas: Personifikasi, Repetisi, dan Hiperbola

Beberapa majas yang dominan dalam puisi ini antara lain:
  • Personifikasi, seperti dalam “burung jiwa kembali ke sarang hatiku”. Jiwa diperlakukan seperti burung yang bisa pulang, memberikan kesan lembut dan intim.
  • Repetisi atau pengulangan, misalnya pada kalimat “Aku akan kembali” yang diulang berkali-kali, memperkuat tekad dan emosionalitas puisi.
  • Hiperbola, seperti dalam “meski berbutir peluru menghadangku” atau “berbilah pisau mengancamku”, yang menekankan betapa besar tekad sang penyair untuk kembali kepada Tuhan.
Penggunaan majas-majas ini memperkaya rasa dalam puisi dan memperkuat pesan spiritual yang ingin disampaikan.

Amanat / Pesan: Tak Ada Kata Terlambat untuk Kembali

Jika kita mencari amanat atau pesan dari puisi ini, maka jawabannya adalah: Tak ada kata terlambat untuk kembali kepada Tuhan. Sebesar apapun dosa, selama hati masih mampu mendengar panggilan-Nya, masih ada jalan untuk pulang. Tuhan tak pernah lelah memanggil, hanya kita yang kadang tuli oleh kesibukan dan dosa.

Puisi ini juga menyampaikan bahwa dunia hanyalah persinggahan. Kebahagiaan sejati bukan pada asmara, harta, atau jabatan, melainkan pada pertemuan dengan Sang Pemilik Kehidupan.

Ahmadun Yosi Herfanda melalui puisi “Aku Pasti Kembali Pada-Mu” menghadirkan sebuah karya spiritual yang sederhana namun menyentuh. Tema keagamaan yang dibalut dengan bahasa puitik ini bukan hanya menjadi doa pribadi sang penyair, tetapi juga bisa menjadi cermin bagi siapa saja yang membaca. Melalui makna tersirat yang kuat, imaji yang indah, serta penggunaan majas yang efektif, puisi ini membawa kita merenung—sampai akhirnya mungkin kita pun, dengan lirih dan penuh harap, berkata:

“Aku akan kembali pada-Mu. Pasti.”

Ahmadun Yosi Herfanda
Puisi: Aku Pasti Kembali Pada-Mu
Karya: Ahmadun Yosi Herfanda

Biodata Ahmadun Yosi Herfanda:
  • Ahmadun Yosi Herfanda (kadang ditulis Ahmadun Y. Herfanda atau Ahmadun YH) adalah seorang penulis puisi, cerpen, esai, sekaligus berprofesi sebagai jurnalis dan editor berkebangsaan Indonesia yang lahir pada tanggal 17 Januari 1958.
  • Karya-karyanya pernah dimuat di berbagai media-media massa, semisal: Horison, Kompas, Media Indonesia, Republika, Bahana, dan Ulumul Qur'an.
© Sepenuhnya. All rights reserved.