Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: An Nur 00:50 (Karya Dimas Arika Mihardja)

Puisi "An Nur 00:50" karya Dimas Arika Mihardja bercerita tentang pengalaman spiritual yang intens, di mana cinta ilahiah diibaratkan sebagai ...
An Nur 00:50

An Nur, ada cahaya, menyala di dalam dada terasa sayat ayat-ayat saat risau dan galau menjadi pisau o, tikamkan lagi dan lagi kilau pandangmu di surau hatiku biar aku meregang dan menegang dipanggang api cintamu.

Kau dan aku bercumbu di atas lembaran permadani bermotif lampu gantung serasa aku terbang melayang di cerlang cahayamu menarikan jemari melati putih o, putikkan lagi kelopak bunga hatiku.

Usai sudah pertemuan demi pergumulan di atas ranjang malam dalam gelap melindap cahayamu merayap. Hangat mengusap debu-debu di hati merindu: hanya cahaya semata cahaya!

Jambi, 16 Mei 2010

Analisis Puisi:

Dalam dunia puisi Indonesia modern, Dimas Arika Mihardja dikenal sebagai penyair yang kerap menyentuh lapisan spiritual dengan kedalaman metaforis yang menggugah. Salah satu puisinya yang mencerminkan gaya khas tersebut adalah “An Nur 00:50”—sebuah perenungan batin yang menyatu antara cinta, cahaya, dan pencarian makna di titik paling sunyi malam.

Puisi ini bercerita tentang pengalaman spiritual yang intens, di mana cinta ilahiah diibaratkan sebagai cahaya yang menembus dada, menyayat, dan sekaligus menyembuhkan. Penyair menghadirkan perjumpaan antara diri dan Cahaya sebagai bentuk pertemuan mistikal—sebuah kontak batiniah dengan yang Ilahi.

Momen itu digambarkan sangat sensual namun bukan dalam konteks duniawi, melainkan sebagai bentuk ekstase rohani. "Cahaya" di sini bukan hanya simbol ketuhanan, tetapi juga kehadiran cinta murni, agung, dan membebaskan.

Tema dalam Puisi

Tema utama puisi ini adalah perjalanan spiritual dan ekstase mistikal dalam pengalaman cinta ilahiah. Ada nuansa sufistik yang kuat, di mana Tuhan atau Sang Kekasih Agung hadir bukan melalui doktrin atau dogma, melainkan melalui perasaan, cahaya, dan pertemuan batin yang nyaris tak terjelaskan.

Puisi ini juga menyentuh tema kerinduan jiwa, pembersihan batin, dan penyerahan diri total dalam cinta yang melampaui nalar.

Makna Tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini begitu kaya. Cahaya yang disebut "An Nur" mengacu pada salah satu Asmaul Husna dalam Islam: An-Nur (Yang Maha Cahaya). Namun dalam konteks puisi ini, cahaya tidak digambarkan secara abstrak atau teologis. Ia justru hadir lewat tubuh, lewat rasa, lewat getaran cinta yang menembus dada dan menggugah seluruh eksistensi diri.

Kalimat seperti “biar aku meregang dan menegang / dipanggang api cintamu” menyiratkan bahwa cinta kepada Tuhan bukan hal yang dingin atau steril. Ia membakar, menyiksa, namun justru melalui pembakaran itulah penyucian diri terjadi. Penyair secara tersirat menyampaikan bahwa kedekatan dengan Tuhan seringkali melewati jalan rasa sakit yang menyembuhkan.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini sangat intim, hangat, bahkan kadang terasa membara. Ia menyatukan antara ketenangan dan kegairahan batin. Ada kesunyian malam, ada rasa pasrah yang intens, dan di saat bersamaan, ada gejolak batin yang membuncah karena kerinduan spiritual.

Imaji dalam Puisi

Puisi ini sangat kaya akan imaji sensual dan spiritual. Beberapa di antaranya:
  • “menyala di dalam dada” → imaji internal yang menggambarkan kehadiran cahaya dalam tubuh.
  • “risau dan galau menjadi pisau” → imaji emosional yang mengkonkretkan rasa gundah menjadi senjata tajam.
  • “di atas lembaran permadani bermotif lampu gantung” → visualisasi ruang pertemuan mistik yang mewah dan sakral.
  • “menarikan jemari melati putih” → imaji kelembutan dan kesucian.
  • “cahayamu merayap. Hangat mengusap debu-debu di hati” → perpaduan antara imaji gerak halus dan makna pembersihan batin.

Majas dalam Puisi

Beberapa majas menonjol dalam puisi ini:
  • Personifikasi: “cahayamu merayap… mengusap debu-debu di hati” – cahaya digambarkan sebagai sosok hidup, lembut, menyentuh.
  • Metafora: “dipanggang api cintamu” – cinta diibaratkan sebagai api yang menyiksa dan menyucikan.
  • Simbolisme: “melati putih”, “permadani”, “lampu gantung” → menyimbolkan kesucian, kemewahan spiritual, dan keagungan.
  • Repetisi: “o, tikamkan lagi dan lagi”, “o, putikkan lagi…” → menandai intensitas emosi dan permohonan yang berulang.
  • Hiperbola: “meregang dan menegang dipanggang api” → digunakan untuk menekankan kedalaman ekstase spiritual yang dirasakan.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat dari puisi ini adalah bahwa dalam kehidupan spiritual, manusia perlu membuka dirinya untuk disentuh cahaya—meski itu berarti harus melewati proses perasaan terbakar, tersayat, bahkan terpisah dari dunia. Namun, dari pengalaman yang mendalam itu, akan hadir penyucian diri, pengosongan ego, dan penyatuan dengan Sang Kekasih Agung.

Cinta sejati kepada Tuhan bukanlah ketenangan yang steril, melainkan pergumulan yang penuh gejolak, dan dalam gejolak itu kita justru menemukan jati diri yang sejati.

Menari dalam Cahaya, Mencinta dalam Sunyi

Puisi “An Nur 00:50” adalah puisi tentang cinta, tapi bukan cinta biasa. Ini adalah cinta yang menyala di dada, membakar hingga ke sumsum jiwa. Dimas Arika Mihardja dengan piawai meramu kata-kata menjadi mantra spiritual, tempat cinta, cahaya, dan jiwa menyatu dalam satu lengkung waktu yang tak bisa didefinisikan secara linier.

Ini bukan hanya puisi, melainkan doa dalam bentuk seni, yang merayakan bagaimana Tuhan bisa hadir bukan lewat buku, bukan lewat khutbah, tapi melalui kerinduan yang membara di dada setiap manusia yang mencari-Nya dengan sungguh-sungguh.

"Puisi: An Nur 00:50"
Puisi: An Nur 00:50
Karya: Dimas Arika Mihardja
© Sepenuhnya. All rights reserved.