Di Bawah Bayang Feodalisme
Di pagi yang bisu, ladang masih berkabut,
Langkah petani sunyi di tanah rebut,
Tanah yang mereka bajak dengan peluh,
Tapi bukan miliknya—dikuasai penuh.
Tuan tanah duduk di singgasana emas,
Memerintah dari jauh, tanpa balas,
Keringat rakyat jadi harta baginya,
Namun tak sebutir pun untuk yang setia.
Surat perjanjian berdarah di tangan,
Hak hidup digadaikan demi bertahan,
Anak cucu diwarisi rantai halus,
Diikat oleh adat, tak bisa putus.
Di meja makan, pesta pun bersorak,
Sementara di luar rakyat merintih, merayap,
Keadilan tak singgah di rumah kumuh,
Ia hanya mengenal istana yang angkuh.
Feodalisme—kata indah bagi bangsawan,
Namun bagi jelata, nestapa dan tekanan,
Seakan langit pun condong berpihak,
Pada mereka yang duduk di atas rak-rak.
Tuan memetik hasil, bukan menanam,
Ia menulis hukum, bukan berdamai,
Ia membungkam, bukan mendengar,
Memetik nyawa dalam bahasa sabar.
Namun arus tak selamanya tenang,
Suara bisu mulai menjadi tembang,
Rakyat perlahan merangkai kata,
Menggugah dunia dengan luka yang nyata.
Dan suatu hari, feodalisme pun runtuh,
Dengan suara rakyat yang dulu terbelenggu,
Keadilan tak datang sebagai tamu,
Tapi sebagai anak dari jerih payah yang penuh.
2025
Analisis Puisi:
Puisi "Di Bawah Bayang Feodalisme" karya Yusriman adalah sebuah potret sosial yang getir dan jujur tentang relasi kuasa antara pemilik kekuasaan dan rakyat kecil yang hidup di bawah bayang kekuasaan tersebut. Dengan nada lirih namun tajam, puisi ini menggambarkan realitas yang nyaris tak berubah dari masa ke masa: ketimpangan, ketidakadilan, dan jeritan yang ditelan sunyi.
Tema: Ketimpangan Sosial dan Kritik terhadap Feodalisme
Tema utama dalam puisi ini adalah ketimpangan sosial yang dilanggengkan oleh sistem feodalisme. Puisi ini berangkat dari realitas kehidupan petani yang menggarap tanah, tetapi tak pernah benar-benar memilikinya. Tanah menjadi simbol kekuasaan yang dikuasai oleh tuan tanah, yang tak berkeringat namun menikmati hasilnya.
Feodalisme di sini bukan hanya sistem ekonomi atau politik, melainkan menjadi semacam atmosfer sosial yang mencekik dan membatasi ruang hidup rakyat jelata. Ketimpangan menjadi hal yang diwariskan, dan puisi ini dengan tajam menyorot bagaimana sistem itu tak hanya mengikat tubuh, tetapi juga pikiran dan generasi.
Secara garis besar, puisi ini bercerita tentang kehidupan rakyat kecil yang berada di bawah dominasi kekuasaan feodal. Mulai dari petani yang “berjalan sunyi di tanah rebut” hingga pesta para bangsawan yang berlangsung di atas penderitaan rakyat, Yusriman merangkai kisah yang penuh luka namun juga mengandung bara harapan.
Setiap bait membawa pembaca menyusuri kehidupan dua kutub yang kontras: mereka yang bekerja keras namun tak menikmati hasil, dan mereka yang hidup mewah tanpa pernah bersentuhan dengan derita.
Makna Tersirat: Kesadaran sebagai Jalan Pembebasan
Makna tersirat dari puisi ini tidak hanya berhenti pada penggambaran penderitaan. Di balik segala kebisuan dan tekanan yang digambarkan, Yusriman menyelipkan harapan: kesadaran yang perlahan tumbuh.
Baris “Suara bisu mulai menjadi tembang” dan “Keadilan tak datang sebagai tamu / Tapi sebagai anak dari jerih payah yang penuh” menjadi penanda bahwa perubahan hanya bisa datang dari bawah—dari mereka yang selama ini dibungkam, dari mereka yang mulai menyadari bahwa ketidakadilan bukan takdir.
Suasana dalam Puisi: Getir, Mencekam, Namun Sarat Harapan
Suasana dalam puisi ini sebagian besar dipenuhi dengan kesan muram dan getir. Kalimat-kalimat seperti “ladang masih berkabut”, “surat perjanjian berdarah”, dan “keadilan tak singgah di rumah kumuh” membangun atmosfer yang suram dan menekan.
Namun di bagian akhir, suasana itu bergeser—meski pelan dan samar—menuju optimisme. Ada semacam harapan yang tumbuh dari puing-puing derita. Puisi ini tidak menutup rapat pintu harapan, melainkan justru membukanya di saat yang paling gelap.
Amanat atau Pesan: Kesadaran Rakyat adalah Awal Perubahan
Amanat yang disampaikan Yusriman lewat puisi ini sangat jelas: sistem yang menindas tidak akan runtuh dengan sendirinya. Ia hanya bisa digulingkan oleh kesadaran rakyat, oleh keberanian untuk bersuara meski awalnya hanya berupa bisikan.
Feodalisme, betapapun kuat dan mengakar, tetap bisa dilawan. Namun syaratnya adalah rakyat harus berhenti merasa nyaman dalam penderitaan dan mulai merangkai kata—merangkai perlawanan.
Imaji: Kuat dan Konkret
Salah satu kekuatan puisi ini terletak pada imaji yang dihadirkan. Baris seperti “di pagi yang bisu, ladang masih berkabut”, “surat perjanjian berdarah di tangan”, hingga “di luar rakyat merintih, merayap” menghadirkan gambaran visual dan emosional yang sangat kuat.
Pembaca bisa membayangkan suasana pagi yang muram, rakyat yang berjalan tertunduk, dan pesta di dalam istana yang kontras dengan tangisan di luar temboknya. Imaji ini tidak hanya berfungsi sebagai lukisan realitas, tetapi juga menjadi alat untuk menyampaikan luka kolektif sebuah masyarakat.
Majas: Simbol, Metafora, Ironi
Yusriman menggunakan sejumlah majas untuk memperkuat pesannya. Misalnya:
- Metafora dalam “surat perjanjian berdarah” menggambarkan perjanjian yang tak adil dan menyakitkan.
- Simbolisme dalam “tuan tanah duduk di singgasana emas” melambangkan kekuasaan yang mewah tapi tak bermoral.
- Ironi kuat terasa di baris “keadilan tak singgah di rumah kumuh” yang menyindir sistem hukum yang hanya berpihak pada yang kaya dan berkuasa.
Puisi ini juga banyak menggunakan repetisi makna yang bergema, seperti “bukan menanam”, “bukan berdamai”, “bukan mendengar”, yang mempertegas karakter tuan tanah sebagai figur tiran yang dingin dan apatis.
Puisi Sebagai Bentuk Perlawanan
Puisi "Di Bawah Bayang Feodalisme" adalah puisi yang tidak hanya menggambarkan ketimpangan, tetapi juga mengajak pembaca untuk memikirkan ulang posisi dan peran mereka dalam struktur sosial. Yusriman tidak sedang bernostalgia tentang masa lalu yang gelap, tetapi mengingatkan bahwa bayang-bayang feodalisme masih bisa hidup dalam bentuk baru: dalam sistem, dalam birokrasi, bahkan dalam cara berpikir kita sendiri.
Kekuatan puisi ini bukan pada retorika besar, tetapi pada caranya menyuarakan hal-hal yang selama ini dibisukan. Dengan bahasa yang lugas, imaji yang kuat, dan pesan yang dalam, Yusriman mengajak kita untuk tidak hanya membaca—tetapi juga merasa, merenung, dan pada akhirnya, bangkit.
Karya: Yusriman
Biodata Yusriman:
- Yusriman, sastrawan muda asal Pasaman Barat.
- Aktif dalam Pengelolaan Seminar Internasional Pusat Kajian Sastra Indonesia, Mazhab Limau Manis.
- Mahasiswa S2 Kajian Budaya, Universitas Andalas.