Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Di Sebuah Mandi (Karya Joko Pinurbo)

Puisi “Di Sebuah Mandi” karya Joko Pinurbo bercerita tentang seseorang yang menyelami tubuh kekasihnya (atau simbol tubuh masa lalu) dalam momen ...
Di Sebuah Mandi

Di sebuah mandi kumasuki ruang kecil
di senja tubuhmu. "Ini rumahku,"
kau menggigil. Rumah terpencil.

Tubuhmu makin montok saja.
"Ah, makin ciut," kau bilang, "sebab perambah liar
berdatangan terus membangun badan
sampai aku tak kebagian lahan."
Ke tubuhmu aku ingin pulang.
"Ah, aku tak punya lagi kampung halaman,"
kau bilang. "Di tubuh sendiri pun aku cuma
numpang mimpi dan nanti numpang mati."

Kutelusuri peta tubuhmu yang baru
dan kuhafal ulang nama-nama yang pernah ada,
nama-nama yang tak akan pernah lagi ada.
"Ini rumahku," kautunjuk haru sebekas luka
di tilas tubuhmu dan aku bilang,
"Semuanya tinggal kenangan."

Di sebuah mandi kuziarahi jejak cinta
di senja tubuhmu. Pulang dari tubuhmu,
aku terlantar di simpang waktu.

2000

Sumber: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi (2016)

Analisis Puisi:

Puisi “Di Sebuah Mandi” karya Joko Pinurbo bukan hanya permainan kata yang sensual dan puitik, tapi juga sebuah ziarah batin. Seperti banyak karya Joko lainnya, puisi ini menyelami tubuh sebagai lanskap eksistensial—tempat manusia menyimpan ingatan, luka, mimpi, dan kerinduan akan rumah yang tak pernah benar-benar ada. Puisi ini merangkai tubuh, cinta, dan waktu dalam satu napas yang pilu, getir, tapi tetap lembut.

Tema

Tema utama dari puisi ini adalah tubuh sebagai rumah kenangan dan tempat pulang yang tak lagi utuh. Selain itu, ada pula tema kerinduan akan cinta yang telah hilang, perubahan yang tak bisa dihentikan, dan kesendirian eksistensial.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini menyentuh banyak lapis emosi dan refleksi:
  • Tubuh yang dulu menjadi tempat pulang, kini hanyalah jejak kenangan. Tubuh kekasih atau tubuh diri sendiri bisa menjadi metafora bagi rumah, negara, bahkan tanah air—yang mengalami perusakan, perambahan, dan kehilangan identitas.
  • Kalimat seperti “sebab perambah liar berdatangan terus membangun badan sampai aku tak kebagian lahan” menyiratkan perasaan terasing di tubuh sendiri, yang bisa ditafsirkan sebagai trauma personal, beban sejarah, atau luka sosial.
  • Ada juga rasa kehilangan kendali atas diri dan identitas, saat tubuh bukan lagi milik pribadi, tapi sudah ditempati oleh luka, oleh kenangan, dan oleh waktu yang tak bisa diajak kompromi.
Puisi ini bercerita tentang seseorang yang menyelami tubuh kekasihnya (atau simbol tubuh masa lalu) dalam momen intim seperti mandi—sebuah peristiwa simbolik yang menandai pembersihan, keheningan, dan kesendirian.

Namun, tubuh itu bukan lagi tempat penuh gairah. Ia kini menjadi ruang sunyi, penuh luka, dan nostalgia. “Ini rumahku,” kautunjuk haru sebekas luka / di tilas tubuhmu — di sinilah inti cerita: sebuah rumah yang telah rusak tapi tetap dikenang.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini melankolis, reflektif, dan syahdu. Ada aroma kehilangan yang pekat, dibalut dengan keintiman dan kesendirian. Meski ada sensualitas dalam metafora tubuh, tapi bukan sensualitas yang liar—melainkan penuh empati dan duka.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Puisi ini menyampaikan pesan bahwa cinta, tubuh, dan rumah bisa berubah dan hancur seiring waktu, tapi kenangan dan keinginan untuk pulang tetap hidup dalam ingatan.

Kita tak selalu bisa pulang ke tubuh (atau rumah) yang dulu, karena waktu mengubah segalanya. Namun, mengenangnya adalah bentuk ziarah—penghormatan terhadap cinta dan luka yang pernah kita alami.

Imaji

Puisi ini penuh dengan imaji yang lembut tapi tajam:
  • “Di sebuah mandi kumasuki ruang kecil di senja tubuhmu” — memunculkan gambaran keintiman yang penuh kerinduan.
  • “Rumah terpencil”, “peta tubuhmu”, “bekas luka”, dan “numpang mimpi dan nanti numpang mati” — semua menciptakan lanskap tubuh sebagai tempat yang tidak lagi aman atau utuh, tapi tetap dikenang.

Majas

Beberapa majas yang digunakan Joko Pinurbo dalam puisi ini antara lain:
  • Metafora: Tubuh diibaratkan sebagai rumah, kampung halaman, bahkan peta.
  • Personifikasi: Tubuh diberi suara dan perasaan, seperti saat tubuh berkata “aku cuma numpang mimpi dan nanti numpang mati.”
  • Simbolisme: Senja menjadi simbol waktu yang menua, luka menjadi simbol sejarah pribadi, dan mandi menjadi simbol ziarah dan refleksi.
Puisi “Di Sebuah Mandi” bukan sekadar puisi tentang tubuh, tetapi juga puisi tentang ziarah pada diri sendiri, pada kenangan, dan pada cinta yang telah menjelma luka. Tubuh yang dulu menjadi tempat pulang, kini hanya menjadi tilas kenangan. Namun, di situlah letak keindahannya: kita mungkin tak bisa kembali, tapi kita bisa mengenang. Dan mengenang adalah cara kita mencintai sesuatu yang telah pergi, tanpa harus memilikinya kembali.

Puisi ini mengajarkan kita bahwa dalam kehilangan, ada juga kedewasaan. Dan dalam tubuh yang luka, masih ada peta yang bisa dilacak oleh hati.

Puisi: Di Sebuah Mandi
Puisi: Di Sebuah Mandi
Karya: Joko Pinurbo
© Sepenuhnya. All rights reserved.