Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Jalan Sendiri (Karya Remy Sylado)

Puisi "Jalan Sendiri" karya Remy Sylado bercerita tentang seorang individu yang telah lama menjalani hidup seorang diri, terasing dari kerabat dan ...
Jalan Sendiri

Aku ingin tersesat di jalan yang berulang
kulalui sendiri sejak usia teruna
siapa nyana datang kereta penjemput
membawa atmaku ke rumah tanpa pintu
yang angin hilang bisanya di situ

Kucampakkan ragaku di lembah
yang dijaga arwah para datuk
tak peduli berubah besok jadi jalan
dilewati bising kendaraan saling ngotot
kerna bukan jisim yang diadili di rumah tanpa pintu

Kenyang sudah aku disingkir kerabat
sekarat sebagai serangga tanpa sejarah
jika diingat disebut namaku nila
lalu menyebut nama mereka susu
Biar, kulupakan kecemburuan anak sulung Adam
sendiri mengatur jalan ke rumah tanpa pintu
masuk dalam hari-hari tanpa menghitung hari-hari.

Analisis Puisi:

Puisi "Jalan Sendiri" karya Remy Sylado adalah karya yang sarat makna, penuh simbolisme, dan membawa nuansa eksistensial. Dengan gaya bahasanya yang khas dan puitik, Remy mengajak pembaca menyelami pengalaman spiritual dan batiniah seseorang yang merasa terasing dari dunia, dan bersiap menapaki akhir dari kehidupannya.

Tema Puisi

Tema utama puisi ini adalah kesendirian dalam perjalanan hidup menuju kematian. Penyair membingkai perenungan akan kehidupan yang telah dijalani sendiri, penuh luka dan keterasingan, serta kesadaran akan akhir yang sudah menanti. Ada juga tema penolakan sosial, pengasingan, dan penerimaan terhadap takdir yang tercermin dari sikap si tokoh puitik terhadap orang-orang di sekitarnya.

Puisi ini bercerita tentang seorang individu yang telah lama menjalani hidup seorang diri, terasing dari kerabat dan lingkungan, dan kini menyambut kedatangan "kereta penjemput" sebagai simbol kematian. Ia melepaskan raganya, menyadari bahwa jasad tak lagi penting karena yang akan "diadili" adalah atma atau jiwanya. Ia menyebut dirinya “serangga tanpa sejarah,” menggambarkan posisi dirinya yang dianggap tak bernilai dalam masyarakat, dan pada akhirnya, ia sendiri yang menapaki jalan menuju "rumah tanpa pintu" — metafora untuk kematian atau alam baka.

Makna Tersirat

Puisi ini menyimpan banyak makna tersirat:
  • "Rumah tanpa pintu" bukanlah tempat biasa, melainkan simbol kematian atau alam akhirat. Rumah ini tidak memiliki pintu karena ia tak menerima tamu atau tak memungkinkan siapa pun keluar setelah masuk.
  • "Kereta penjemput" adalah lambang kematian atau ajal yang datang tak terduga, siap membawa jiwa si tokoh ke alam yang lain.
  • "Kucampakkan ragaku di lembah" menunjukkan bahwa si tokoh tidak lagi peduli pada tubuh atau kehidupan duniawi, karena yang penting adalah jiwanya.
  • "Serangga tanpa sejarah" mengisyaratkan betapa kecil dan tak pentingnya tokoh ini dalam pandangan orang lain; ia merasa terhapus dari sejarah, diabaikan oleh keluarga dan masyarakat.
  • "Menyebut namaku nila, lalu menyebut nama mereka susu" menyiratkan kontras atau perbedaan kelas, nilai, atau penerimaan—nila bisa merusak susu, sehingga ini mungkin simbol bahwa keberadaan dirinya dianggap sebagai noda dalam komunitas atau keluarganya.
Puisi ini merupakan perenungan eksistensial dan spiritual seorang manusia yang sadar akan keterasingannya dan memilih untuk tidak menyesali jalan sunyi yang telah ia ambil.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji-imaji kuat dan simbolik, seperti:
  • "Kereta penjemput" – menghadirkan gambaran kematian sebagai perjalanan atau transisi menuju dimensi lain.
  • "Rumah tanpa pintu" – memberikan kesan tempat asing, tertutup, dan misterius.
  • "Lembah yang dijaga arwah para datuk" – menciptakan bayangan tempat sakral atau mistis, tempat bersemayamnya roh leluhur.
  • "Bising kendaraan saling ngotot" – menghidupkan suasana dunia modern yang kacau, hiruk-pikuk, kontras dengan keheningan akhirat.
  • "Serangga tanpa sejarah" – membentuk imaji seorang manusia yang kecil, diabaikan, dan tak dianggap dalam catatan kehidupan orang lain.

Majas

Beragam majas digunakan untuk memperkuat makna dan estetika puisi, antara lain:
  • Metafora: "kereta penjemput", "rumah tanpa pintu", dan "serangga tanpa sejarah" adalah metafora-metafora yang menciptakan simbol kematian, keterasingan, dan kehampaan eksistensial.
  • Personifikasi: Angin yang “hilang bisanya” memberi kesan bahwa alam pun menjadi sunyi dan tak berdaya di hadapan kematian.
  • Ironi: Ada ironi pahit dalam pernyataan “kenyang sudah aku disingkir kerabat” — menandakan luka mendalam namun diucapkan dengan nada seolah tak peduli.
  • Antitesis: “Nila” dan “susu” sebagai simbol yang saling bertentangan, menyiratkan konflik identitas atau kecemburuan dalam keluarga.

Suasana dalam Puisi

Suasana puisi ini sangat muram, sunyi, dan mencekam. Kesendirian, pengasingan, dan kehampaan membungkus setiap bait. Namun, di balik semua itu, ada juga rasa pasrah dan penerimaan. Si tokoh tidak memberontak atas nasibnya, justru ia memilih jalan sunyi itu dengan kesadaran penuh, meskipun perih.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Puisi ini menyampaikan pesan bahwa hidup kadang harus dijalani seorang diri, dengan kesadaran penuh akan keterasingan dan kematian. Bukan fisik atau harta yang akan kita bawa ke "rumah tanpa pintu", melainkan jiwa yang akan diadili. Ia juga menyiratkan bahwa penolakan atau pengkhianatan dari orang-orang terdekat bukan akhir dari segalanya — justru dari sana seseorang bisa menemukan jati diri dan jalan spiritualnya sendiri.

Puisi "Jalan Sendiri" karya Remy Sylado adalah renungan mendalam tentang kehidupan, keterasingan, dan kematian. Dengan tema eksistensial yang kuat, puisi ini bercerita tentang seseorang yang sudah terlalu lama sendirian, dan pada akhirnya siap berjalan sendiri ke akhir kehidupan. Makna tersirat, imaji, dan majas yang digunakan memperkaya lapisan makna dalam puisi ini, menjadikannya bukan sekadar karya sastra, tetapi juga refleksi spiritual dan sosial. Bagi pembaca yang pernah merasa terpinggirkan, puisi ini bisa menjadi cermin — atau bahkan pelipur — bahwa jalan sunyi pun punya arti, meski tanpa sambutan, tanpa pintu.

"Puisi Remy Sylado"
Puisi: Jalan Sendiri
Karya: Remy Sylado
© Sepenuhnya. All rights reserved.