Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Ketika Hujan Menjadi Saksi (Karya Yusriman)

Puisi “Ketika Hujan Menjadi Saksi” bercerita tentang seseorang yang berada dalam ruang kosong, mencoba menghadapi kenyataan bahwa orang yang pernah ..

Ketika Hujan Menjadi Saksi


Ruang kosong ini menyimpan terlalu banyak,
lebih dari yang bisa kuungkap dengan kata.
Dan hujan, oh hujan, kau terlalu paham,
segala yang pernah hidup di antara dinding ini.

Langkahmu pernah bergema di lantai kayu,
mengiringi detik menuju perpisahan.
Sekarang hanya hujan yang berani masuk,
mengganti obrolan yang dulu mengisi senja.

Aku duduk, memeluk sunyi,
mencoba menemukanmu dalam bayang.
Tapi semua telah larut dalam waktu,
seperti tinta pada surat yang kebasahan.

Rintikmu menyelinap lewat celah jendela,
mengusik debu yang tak pernah kuusir.
Mungkin begini caramu pulang,
tak utuh, tapi tetap menyentuh hatiku.

2025

Analisis Puisi:

Ada sesuatu yang selalu memikat dari hujan dalam dunia puisi: ia hadir sebagai metafora, saksi, bahkan kadang menjadi tokoh tersendiri dalam cerita sunyi. Dalam puisi “Ketika Hujan Menjadi Saksi”, Yusriman kembali menghadirkan hujan sebagai elemen yang tak hanya menggambarkan suasana, tetapi juga menjadi medium perasaan, pengingat, dan penghubung antara masa lalu dan sekarang.

Puisi ini terasa seperti ruang terbuka bagi pembaca untuk menyelami perasaan kehilangan, kerinduan, dan harapan yang samar. Bukan melalui teriakan atau ratapan, tapi lewat hujan yang pelan dan setia datang, meski hanya sebagai sisa-sisa kenangan yang tak lagi utuh.

Tema: Kehilangan dan Kenangan yang Melekat

Puisi ini mengangkat tema tentang kehilangan yang dipadukan dengan kenangan. Kehilangan yang dimaksud bukan sekadar ketiadaan fisik, tapi kehilangan yang menyisakan bekas sangat dalam di ruang dan hati. Tokoh dalam puisi ini tidak hanya ditinggalkan, tapi juga terus hidup dalam kenangan yang membekas pada ruang-ruang yang pernah berbagi kebersamaan.

Kenangan tersebut hadir bersama hujan—sebuah simbol dari perasaan yang tak bisa dihindari, tak bisa dicegah, dan selalu menemukan jalannya untuk masuk ke dalam ruang terdalam batin manusia.

Puisi ini bercerita tentang seseorang yang berada dalam ruang kosong, mencoba menghadapi kenyataan bahwa orang yang pernah mengisi hari-harinya telah pergi. Yang tersisa hanyalah hujan, yang datang seperti kebiasaan lama, membawa rintik kenangan yang menyentuh, meski tak pernah lengkap.

Hujan menjadi saksi diam dari cinta atau hubungan yang telah berlalu. Jejak langkah, suara, obrolan sore, hingga bayangan sosok yang dulu begitu nyata—semuanya kini tinggal gema dalam kepala, bekas dalam ruang, dan rintik di jendela.

Makna Tersirat: Hujan sebagai Jembatan Antara Dulu dan Kini

Makna tersirat dari puisi ini sangat kuat. Hujan, yang dalam kehidupan seringkali dianggap sebagai simbol kesedihan, dalam puisi ini justru punya makna ganda. Ia bukan hanya menghadirkan duka, tapi juga menjadi jembatan kenangan—menunjukkan bahwa meski seseorang telah pergi, ia masih bisa "pulang" dalam bentuk-bentuk yang tak kasat mata.

Frasa "Mungkin begini caramu pulang / tak utuh, tapi tetap menyentuh hatiku" adalah inti emosional puisi ini. Ia menyiratkan bahwa cinta atau kehadiran tidak selalu harus fisik. Kadang, cukup dengan kenangan yang disinggung oleh hal-hal kecil—seperti hujan, debu, atau aroma sore—seseorang bisa merasa bahwa yang hilang itu masih ada, walau tak utuh.

Suasana dalam Puisi: Melankolis dan Reflektif

Suasana dalam puisi ini sangat melankolis. Hujan hadir bukan sebagai latar biasa, melainkan sebagai suasana yang memperkuat rasa sepi, sunyi, dan kehilangan. Hujan menyelinap, menggantikan kehadiran, menggugah kenangan, dan menyapa debu yang lama tak diusir—semuanya memperkuat nuansa muram yang reflektif.

Tokoh dalam puisi juga digambarkan duduk, memeluk sunyi—bukan hanya secara fisik, tapi juga secara batin. Ada ketenangan dalam sepi, tapi bukan berarti ia telah berdamai; justru di situlah rasa luka dan rindu terasa paling jujur.

Amanat atau Pesan: Kenangan Adalah Bentuk Pulang yang Tak Terduga

Jika ada pesan atau amanat yang bisa ditarik dari puisi ini, maka mungkin itu adalah: tidak semua kehilangan benar-benar pergi. Ada banyak cara untuk “kembali” meski tidak sempurna, tidak nyata, dan tidak lengkap. Melalui kenangan, melalui elemen-elemen kecil dalam hidup seperti hujan, seseorang bisa kembali hadir dalam hati kita, meski tak utuh.

Ini juga menunjukkan bagaimana manusia meresapi duka: bukan dengan melupakan, tapi dengan membiarkan kenangan itu tetap hidup, meski dalam bentuk-bentuk yang tak kita duga.

Imaji: Visual, Auditori, dan Sentuhan Emosional

Yusriman begitu peka dalam menciptakan imaji yang kuat dan menyentuh:
  • Imaji visual tampak dalam “langkahmu pernah bergema di lantai kayu”, “rintikmu menyelinap lewat celah jendela”, hingga “debu yang tak pernah kuusir”. Ini semua membangun gambaran yang jelas tentang ruang, kenangan, dan kehadiran hujan sebagai sosok yang menyentuh secara diam-diam.
  • Imaji auditori muncul lewat “mengiringi detik menuju perpisahan” dan “mengganti obrolan yang dulu mengisi senja”. Suara yang pernah mengisi hari-hari, kini hanya tergantikan oleh hujan dan sunyi.
  • Imaji emosional paling terasa di larik “mencoba menemukanmu dalam bayang” dan “tak utuh, tapi tetap menyentuh hatiku”. Perasaan rindu, luka, dan harapan yang tak diucap hadir secara lembut namun menyayat.

Majas: Metafora, Personifikasi, dan Simbolisme

Puisi ini juga kaya dengan majas:

Metafora:
  • “tinta pada surat yang kebasahan” → menggambarkan kenangan yang telah larut dan sulit dibaca kembali, sebagaimana surat yang hilang maknanya karena basah.
Personifikasi:
  • “hujan, oh hujan, kau terlalu paham” → hujan diberi sifat manusiawi, sebagai makhluk yang bisa mengerti, menjadi saksi atas perasaan terdalam.
  • “rintikmu menyelinap lewat celah jendela” → rintik hujan digambarkan seolah hidup dan punya kehendak.
Simbolisme:
  • Hujan sebagai simbol kenangan, perasaan terdalam, dan jalur pulang yang diam-diam. Jendela, debu, kursi, lantai kayu—semuanya bukan hanya benda, tetapi pintu menuju ingatan yang dalam.

Hujan, Ruang, dan Rasa yang Tak Pernah Selesai

Puisi “Ketika Hujan Menjadi Saksi” bukan hanya puisi tentang kehilangan, tapi tentang bagaimana sesuatu yang telah hilang tetap bisa hadir—dalam bentuk samar, tak utuh, tapi cukup untuk menggugah hati. Yusriman menulis dengan lirih, tapi dalam. Ia tidak mencoba memaksakan kesedihan, melainkan membiarkannya mengalir seperti hujan yang datang tanpa diminta.

Di dunia yang penuh kebisingan, puisi ini mengajarkan keheningan. Di tengah rutinitas, ia mengingatkan kita bahwa perasaan yang tak utuh pun tetap memiliki kekuatan untuk menyentuh. Dan kadang, yang pulang bukanlah orangnya—melainkan kenangannya, lewat rintik hujan yang mengetuk pelan-pelan.

Yusriman
Puisi: Ketika Hujan Menjadi Saksi
Karya: Yusriman

Biodata Yusriman:
  • Yusriman, sastrawan muda asal Pasaman Barat.
  • Aktif dalam Pengelolaan Seminar Internasional Pusat Kajian Sastra Indonesia, Mazhab Limau Manis.
  • Mahasiswa S2 Kajian Budaya, Universitas Andalas.
© Sepenuhnya. All rights reserved.