Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Manusia (Karya Aldian Aripin)

Puisi “Manusia” karya Aldian Aripin bercerita tentang paradoks dalam kehidupan manusia modern. Kita sering bangga dengan kemajuan: kita bisa ...
Manusia

Alangkah majunya manusia
Berpacu dengan waktu
Berpacu dengan dirinya

Alangkah sepinya puisi
Berdenyut malam hari
Dalam hati.

1984

Sumber: Elipsis (Sastera Leo Medan, 1996)

Analisis Puisi:

Puisi pendek berjudul “Manusia” karya Aldian Aripin menyimpan perenungan mendalam yang tak bisa dianggap remeh. Meski hanya terdiri dari enam baris, puisi ini menghadirkan kontras yang tajam antara laju kehidupan modern dan sunyi batin yang menyertainya. Melalui diksi yang sederhana, penyair menyampaikan kegelisahan eksistensial manusia di tengah kemajuan yang tak terbendung. Dan justru dari kesederhanaan inilah muncul kekuatan puisinya.

Tema: Kemajuan dan Kesepian Eksistensial

Tema utama puisi ini adalah kemajuan manusia dan ironi kesepian yang mengiringinya. Manusia digambarkan sangat maju, terus bergerak dan berpacu—tidak hanya dengan waktu, tapi juga dengan dirinya sendiri. Namun, dalam keberhasilan itu, terdapat ruang yang kosong. Kehampaan itu hadir dalam bentuk puisi yang “sepi”, berdenyut lirih di malam hari, di dalam hati.

Inilah yang membuat puisi ini terasa begitu kontemplatif. Di satu sisi kita membicarakan pencapaian, teknologi, kecepatan; di sisi lain kita mengintip lubuk hati manusia yang tetap saja merasa sunyi.

Secara sederhana, puisi ini bercerita tentang paradoks dalam kehidupan manusia modern. Kita sering bangga dengan kemajuan: kita bisa bepergian dengan cepat, bekerja lebih efisien, dan berpikir lebih tajam. Tapi di tengah semua itu, ada ruang batin yang tak terisi. Puisi ini mengisahkan konflik internal manusia modern, yang meskipun tampak hebat di luar, ternyata rapuh dan kesepian di dalam.

Puisi ini bisa juga dibaca sebagai refleksi seorang penyair—bahwa di zaman serba cepat, puisi menjadi ruang sunyi yang sering terabaikan, namun tetap berdenyut sebagai suara hati terdalam.

Makna Tersirat: Keheningan di Tengah Kebisingan

Salah satu kekuatan puisi ini adalah makna tersiratnya yang dalam namun subtil. Penyair tidak menjelaskan secara gamblang, tetapi melalui diksi yang hemat, ia mengisyaratkan betapa manusia terjebak dalam kegilaan kemajuan, bahkan sampai berpacu dengan dirinya sendiri—sebuah gambaran yang hampir absurd, tapi sangat nyata dalam kehidupan kita hari ini.

“Berpacu dengan dirinya” menjadi kalimat kunci. Ia menunjukkan bahwa manusia modern tidak hanya bersaing dengan waktu, tapi juga terus menantang dirinya sendiri tanpa jeda. Di sinilah muncul tragedi eksistensial: manusia menjadi makhluk yang tak pernah cukup, dan karena itu, kehilangan kedamaian batin.

Di balik semua itu, puisi tetap hidup, meskipun “sepi” dan “berdenyut malam hari”. Ini adalah makna tersirat lain: puisi adalah suara sunyi yang menjadi saksi kesendirian manusia. Mungkin tak banyak yang mendengar, tapi ia setia berbisik dalam hati.

Imaji: Hening yang Menyentuh

Meskipun imaji dalam puisi ini tidak eksplisit menggambarkan pemandangan atau suara fisik, justru imaji batin yang muncul begitu kuat. Kita bisa membayangkan malam hari yang sunyi, hati yang bergemuruh diam-diam, dan puisi yang berdetak lembut seperti nadi.

Kata “berdenyut” memunculkan citra gerak yang tenang namun hidup—sebuah kontras dari laju manusia yang tergesa. Imaji ini menciptakan suasana hening, intim, bahkan sedikit melankolis.

Majas: Repetisi dan Paradoks

Puisi ini memanfaatkan majas repetisi dan paradoks secara halus. Kalimat “berpacu dengan waktu / berpacu dengan dirinya” adalah bentuk repetisi yang memperkuat makna. Dua hal itu menunjukkan percepatan yang ganda—eksternal dan internal—dan ini menjadi dasar paradoks besar dalam kehidupan manusia modern.

Paradoks paling nyata adalah antara dua bait pertama dan kedua. Kemajuan manusia yang maju pesat disandingkan dengan puisi yang sepi dan berdenyut pelan di hati. Ini bukan sekadar perbandingan, tetapi sindiran yang dalam: semakin kita bergerak cepat, semakin kita menjauh dari suara hati.

Suasana dalam Puisi: Kontemplatif dan Sepi

Suasana dalam puisi ini cenderung kontemplatif—penuh perenungan, dengan nada yang tenang tapi getir. Penyair seperti sedang duduk di pojok malam, menyaksikan manusia berlomba-lomba, sementara ia sendiri menyimak denyut sunyi dalam puisi. Suasana seperti ini sangat khas pada puisi-puisi eksistensialis: hening, sedikit dingin, tapi menyala dalam kesadaran batin.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Jika ada amanat yang bisa dipetik dari puisi ini, maka itu adalah: kemajuan tanpa kepekaan batin akan menyisakan kehampaan. Kita bisa meraih segala sesuatu secara fisik dan logis, tapi jika melupakan kedalaman hati, kita hanya akan berakhir dalam sunyi yang tak bisa ditebus dengan pencapaian.

Puisi ini juga mengajak kita untuk tidak melupakan puisi itu sendiri—sebagai simbol dari suara nurani, ekspresi batin, dan keteduhan jiwa. Di tengah dunia yang serba cepat, kita butuh momen untuk diam, untuk mendengar puisi yang berdetak dalam hati.

Saat Dunia Bergegas, Puisi Tetap Menunggu

Puisi “Manusia” adalah puisi yang tampak kecil di permukaan, tapi menyimpan samudra di kedalamannya. Dalam enam baris yang lirih, Aldian Aripin menyampaikan salah satu ironi terbesar dalam hidup modern: bahwa kita bisa meraih segalanya, namun kehilangan yang paling esensial—keterhubungan dengan diri sendiri.

Di tengah laju kota, target, dan deadline, barangkali kita bisa berhenti sejenak dan bertanya: apakah puisi di dalam hati kita masih berdenyut?

Aldian Aripin
Puisi: Manusia
Karya: Aldian Aripin

Biodata Aldian Aripin:
  • Aldian Aripin lahir pada tanggal 1 Agustus 1938 di Kotapinang, Sumatera Utara.
  • Aldian Aripin meninggal dunia pada tanggal 15 Oktober 2010 di Medan
  • Aldian Aripin merupakan Penyair Angkatan '66.
© Sepenuhnya. All rights reserved.