Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Mencoba Tidak Menyerah (Karya Asep S. Sambodja)

Puisi "Mencoba Tidak Menyerah" karya Asep S. Sambodja bercerita tentang dialog internal seorang individu yang menghadapi kenyataan hidupnya yang ...
Mencoba Tidak Menyerah

"Kita harus tawakal," kata dokter.

ya Allah,
pucuk daun berayun-ayun ditiup angin
saat hujan menderas dalam gelap malam
terhuyung-huyung mengikuti angin
menahan hempasan angin
pastilah ia menahan sakit

"Dalam sisa hidup ini sebaiknya isilah dengan amalan yang baik," kata dokter

ya Allah,
dengan apa pohon itu berdiri?
karena apa ia tetap bertahan menahan amarah angin dan hujan?
bukankah karenaMu?
dan mengikuti kehendakMu?

"Kita harus siap menyambut kematian," kata dokter

ya Allah,
kenapa aku lahir?
kenapa aku hidup?
kenapa aku mati?
bukankah itu semua karenaMu?
apakah mempersiapkan kematian sama seperti mempersiapkan kelahiran?

Dokter,
terima kasih,
saya mau pulang sekarang juga!

Imogiri, Jogja, 17-19 September 2010

Analisis Puisi:

Puisi "Mencoba Tidak Menyerah" karya Asep S. Sambodja adalah sebuah karya yang penuh dengan refleksi dan perenungan mendalam tentang kehidupan, kematian, dan keimanan. Melalui penggambaran yang sangat intim dan personal, puisi ini menggambarkan pergulatan batin seorang individu yang menghadapi kenyataan kehidupan dan kematian dengan tawakal dan keimanan yang menjadi pegangan hidup.

Puisi ini bercerita tentang dialog internal seorang individu yang menghadapi kenyataan hidupnya yang tidak mudah, sebagaimana dibicarakan dalam percakapan dengan seorang dokter. Dimulai dengan nasihat sang dokter yang berbicara tentang pentingnya tawakal dan amal baik, puisi ini menggambarkan perasaan keraguan dan pertanyaan mendalam tentang makna hidup, kenapa seseorang dilahirkan, dan kenapa seseorang harus mati.

Penyair membawa pembaca dalam proses pencarian makna hidup dan kematian yang penuh dengan pergumulan batin. Dialog antara tokoh yang merujuk pada dokter ini berfungsi sebagai cara untuk menggali lebih dalam mengenai keberadaan manusia dalam dunia yang fana. Penyair juga mempertanyakan apakah mempersiapkan kematian itu sama dengan mempersiapkan kelahiran, sebuah pertanyaan filosofis yang mendalam tentang siklus kehidupan.

Tema: Tawakal, Hidup, dan Kematian

Tema utama dalam puisi ini adalah kehidupan dan kematian, serta bagaimana seseorang harus menanggapi takdir yang sudah ditentukan. Puisi ini menyentuh tentang perjuangan batin seorang individu dalam menghadapi kenyataan hidup yang tidak bisa diprediksi. Terdapat perenungan mendalam tentang bagaimana menerima kenyataan bahwa hidup dan mati adalah bagian dari kehendak Tuhan, dan bagaimana kita sebaiknya mempersiapkan diri untuk keduanya.

Tema tawakal juga muncul sebagai bagian yang sangat penting dalam puisi ini, di mana tokoh utama mencoba untuk melepaskan diri dari kekhawatiran berlebihan dan lebih banyak menyerahkan segalanya pada takdir Tuhan. Meskipun demikian, tokoh ini tidak bisa menahan rasa penuh pertanyaan dan keraguan yang datang bersamaan dengan kenyataan hidup dan kematian.

Makna Tersirat: Pertanyaan Seputar Takdir dan Kehidupan

Makna tersirat dari puisi ini adalah bahwa hidup dan mati merupakan proses yang tidak bisa dikendalikan oleh manusia, dan penerimaan terhadap takdir menjadi bagian dari perjalanan hidup. Meskipun begitu, ada juga pertanyaan tentang apakah memahami kematian dan menerimanya merupakan hal yang sama seperti memahami kelahiran. Kesadaran akan ketidakpastian hidup dan pertanyaan yang terus-menerus muncul adalah bagian dari perjuangan batin yang harus dihadapi setiap individu.

Puisi ini juga menggambarkan keberanian untuk menghadapi kenyataan yang tidak pasti, sekaligus mencoba untuk menyerahkan segalanya kepada Tuhan. Ketika tokoh utama akhirnya memutuskan untuk pulang, ada perasaan bahwa meskipun ada banyak pertanyaan, dia tetap mencoba untuk tidak menyerah dalam menghadapi hidup.

Suasana dalam Puisi: Refleksi dan Keteguhan

Suasana dalam puisi ini terasa sangat penuh dengan keraguan dan renungan pribadi, menciptakan suasana yang sangat intim dan merenung. Ada perasaan keputusasaan yang dibarengi dengan pencarian makna hidup yang lebih dalam. Kehidupan yang penuh dengan sakit dan keraguan disampaikan melalui gambaran tentang pucuk daun yang berayun-ayun dan hempasan angin, yang memberi gambaran tentang ketidakpastian dan perjuangan untuk bertahan hidup.

Namun, meskipun suasana terasa suram dan penuh ketegangan, ada juga elemen keimanan yang menjadi pegangan tokoh utama. Tawakal kepada Tuhan menjadi cara untuk menemukan ketenangan dalam menghadapi dunia yang penuh dengan ketidakpastian.

Amanat/Pesan: Keteguhan dalam Menghadapi Hidup dan Kematian

Amanat yang ingin disampaikan dalam puisi ini adalah untuk menerima takdir dengan tawakal dan tidak mudah menyerah dalam menghadapi perjuangan hidup. Meskipun kehidupan sering kali penuh dengan keraguan, sakit, dan kesulitan, penting untuk menghadapi hidup dengan penuh pengertian dan keimanan. Puisi ini juga menyiratkan bahwa kematian bukanlah sesuatu yang harus ditakuti, tetapi bagian dari takdir yang perlu diterima dengan lapang dada, sebagaimana seseorang menerima kelahiran mereka.

Pesan yang lebih mendalam adalah bahwa hidup dan mati adalah dua sisi dari koin yang sama, dan penerimaan terhadap keduanya adalah jalan untuk mencapai kedamaian batin.

Imaji: Visualisasi Alam dan Keberadaan Manusia

Dalam puisi ini, imaji alam digunakan untuk menggambarkan perjuangan batin dan keberadaan manusia yang rapuh di tengah-tengah dunia yang penuh dengan tantangan. "Pucuk daun berayun-ayun ditiup angin" dan "hempasan angin" adalah gambaran yang kuat tentang betapa manusia harus berjuang untuk bertahan hidup, meskipun ada banyak rintangan. Alam yang berangin dan hujan yang deras menggambarkan betapa kerasnya perjuangan hidup dan betapa kita tidak bisa menghindari tantangan tersebut.

Majas: Penggunaan Simbolisme dan Retorika

Puisi ini menggunakan simbolisme untuk menggambarkan perjuangan batin tokoh utama. Pucuk daun yang berayun-ayun melambangkan kerentanan manusia yang selalu dihadapkan pada angin kehidupan, sementara hempasan angin menunjukkan tantangan hidup yang tidak bisa dihindari. Penggunaan kata "ya Allah" berulang kali memperkuat elemen keimanan yang menjadi dasar pemikiran tokoh utama dalam menghadapi kehidupan.

Penerimaan Takdir dan Keimanan dalam Menghadapi Hidup

Puisi "Mencoba Tidak Menyerah" karya Asep S. Sambodja adalah refleksi mendalam tentang kehidupan, kematian, dan penerimaan terhadap takdir. Dengan gaya penulisan yang intim dan penuh dengan pertanyaan filosofis, puisi ini mengajak pembaca untuk merenung tentang makna hidup, perjuangan batin, dan keimanan dalam menghadapi tantangan kehidupan yang tidak pasti.

Penyair menggambarkan dengan sangat kuat bagaimana seseorang dapat menyerah pada takdir dan tawakal dalam menghadapi hidup, namun tetap mempertanyakan makna yang lebih dalam mengenai keberadaan hidup itu sendiri.

Asep S. Sambodja
Puisi: Mencoba Tidak Menyerah
Karya: Asep S. Sambodja

Biodata Asep S. Sambodja:
  • Asep S. Sambodja lahir di Solo, Jawa Tengah, pada tanggal 15 September 1967.
  • Karya-karyanya banyak dimuat di media massa, seperti Horison, Media Indonesia, Pikiran Rakyat, Jurnal Puisi dan lain sebagainya.
  • Asep S. Sambodja meninggal dunia di Bandung, Jawa Barat, pada tanggal 9 Desember 2010 (pada usia 43 tahun).
© Sepenuhnya. All rights reserved.