Analisis Puisi:
Puisi berjudul "Pelupa" karya Sulaiman Juned mungkin hanya terdiri dari beberapa baris, namun justru dalam keheningan dan kependekannya itu tersimpan kekuatan yang tajam. Dengan gaya bahasa yang padat dan simbolis, puisi ini menyuarakan sebuah peringatan—tentang pentingnya menjaga ingatan terhadap kebenaran, dan lebih dari itu, terhadap nilai-nilai yang menyentuh kedalaman nurani manusia.
Tema
Tema utama dari puisi Pelupa adalah kritik terhadap kelalaian manusia dalam menjaga nilai kebenaran dan spiritualitas. Puisi ini menyentuh wilayah yang amat eksistensial: bagaimana manusia sering mengabaikan suara hati, melupakan nilai-nilai yang seharusnya menjadi pegangan hidup, bahkan mengabaikan keberadaan spiritualitas yang menyertai hidupnya sehari-hari.
Secara lebih luas, tema puisi ini menyentuh pada kesadaran moral dan tanggung jawab manusia terhadap hati nurani dan nilai-nilai ilahiah.
Puisi ini bercerita tentang kelalaian manusia modern—bagaimana kita sering membunuh kebebasan berpikir dan mengabaikan suara hati yang murni. Dalam larik “membunuh kebebasan pikir”, penyair seperti sedang menegur sebuah masyarakat atau individu yang telah kehilangan kebebasan untuk berpikir secara jernih dan kritis.
Puisi ini juga berbicara tentang perjuangan antara kebenaran dan kelupaan, atau bahkan pembiaran terhadap nilai-nilai moral yang dulu dijunjung tinggi. Larik “jangan sakiti / apalagi melupai malaikat setia mengantar nafas” menjadi puncak dari peringatan spiritual: bahwa dalam hidup ini, ada yang lebih halus dan lebih suci yang terus hadir, tapi sering kali dilupakan begitu saja.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini sangat mendalam. Penyair menggunakan simbol-simbol spiritual dan moral untuk menyindir kecenderungan manusia yang semakin jauh dari nilai-nilai luhur. Ia mengajak pembaca untuk melihat kembali ke dalam dirinya: Apakah kita masih ingat pada suara hati? Apakah kita sadar bahwa setiap nafas kita diiringi oleh sesuatu yang suci, yang tak boleh disakiti atau diabaikan?
“Malaikat setia mengantar nafas” bisa ditafsirkan sebagai lambang dari jiwa, ruh, atau bahkan hati nurani. Ketika seseorang mulai “melupai” keberadaan malaikat itu, maka ia tidak hanya kehilangan arah spiritual, tapi juga tercerabut dari kemanusiaannya sendiri.
Majas
Puisi ini mengandung beberapa majas yang memperkaya pesan dan keindahan bahasanya:
- Metafora: Terlihat jelas dalam baris “menyaksikan wajah retak di sudut / hati bernama kebenaran”. Di sini, “wajah retak” menjadi metafora dari kebenaran yang rusak, tidak utuh, atau telah dilukai.
- Personifikasi: Kata “hati bernama kebenaran” memberikan sifat manusia kepada hati dan kebenaran, seolah-olah keduanya adalah entitas hidup yang bisa merasa sakit dan dilupakan.
- Hiperbola: Dalam baris “membunuh kebebasan pikir”, penyair menggunakan pernyataan yang sengaja dilebihkan untuk menekankan besarnya kehilangan yang terjadi ketika seseorang tidak lagi berpikir bebas.
- Simbolisme: “Malaikat setia mengantar nafas” adalah simbol spiritual yang mewakili nilai-nilai ilahi atau kesucian yang mengiringi kehidupan manusia.
Imaji
Puisi ini kaya akan imaji batin dan spiritual. Imaji dalam puisi ini bukan berbentuk visual yang konkret, melainkan menyentuh ranah kontemplatif dan moral:
- Imaji rasa: Terasa dalam baris “menyaksikan wajah retak di sudut / hati bernama kebenaran” — menciptakan kesan sedih, getir, dan remuknya suatu nilai yang dulu kokoh.
- Imaji spiritual: Terwakili dalam larik “malaikat setia mengantar nafas”, menghadirkan gambaran tenang tapi sakral, bahwa ada kekuatan yang mengiringi kita, namun sering tidak kita sadari.
Suasana dalam Puisi
Suasana yang tercipta dalam puisi ini adalah kontemplatif, getir, dan sarat keprihatinan. Pembaca diajak untuk merenung dalam diam, seolah-olah penyair sedang berbicara langsung ke dalam nurani pembacanya. Tidak ada kemarahan, tetapi ada teguran yang lembut namun menusuk.
Suasana ini sangat khas dari puisi spiritual dan moral: sunyi, tapi dalam keheningan itu ada suara yang bergetar kuat.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Pesan utama dari puisi ini adalah: jangan sampai kita melupakan nilai kebenaran, hati nurani, dan spiritualitas yang menyertai hidup. Jangan biarkan dunia yang sibuk dan gaduh ini membuat kita lupa pada apa yang paling esensial: suara hati, nilai kebenaran, dan keberadaan ilahiah yang menyertai kita setiap saat.
Puisi ini juga mengingatkan pembaca untuk tidak menyakiti kebenaran, karena sekali dilukai, kebenaran bisa retak dan sulit kembali utuh. Dan lebih penting lagi: jangan sampai kita menjadi "pelupa" terhadap yang paling setia—yakni entitas spiritual yang tidak pernah meninggalkan kita, bahkan ketika kita sendiri sudah tak sadar akan keberadaannya.
Puisi "Pelupa" karya Sulaiman Juned adalah puisi pendek yang padat makna. Ia berbicara tentang kehilangan arah, kelalaian manusia, dan ajakan untuk kembali pada kesadaran yang murni. Dalam dunia yang semakin cepat dan bising ini, puisi ini hadir seperti lonceng sunyi yang mengajak kita menoleh ke dalam—ke ruang hati yang mungkin sudah lama kita abaikan.
Dengan hanya beberapa larik, Sulaiman Juned berhasil menggugah kita semua: bahwa menjadi pelupa bukanlah hal sepele—terutama jika yang kita lupakan adalah malaikat yang senantiasa mengantar nafas kita sendiri.
Karya: Sulaiman Juned