Perempuan (3)
O lelaki mengapa begitu sampai hati
Perempuan (4)
Setiap kali kalau aku melintas
Perempuan (8)
Ke mana akan 'ku rebahkan diri
Analisis Puisi:
Puisi panjang berjudul “Perempuan” karya Aldian Aripin menghadirkan potret kehidupan yang begitu manusiawi, menyayat, dan jujur. Melalui sepuluh fragmen yang saling terhubung, penyair menarasikan dunia batin seorang perempuan yang ditinggalkan suaminya. Dalam bayang luka dan kenangan, ia menatap dunia dari balik jendela—simbol keterasingan sekaligus harapan yang masih menyala dalam redupnya cahaya.
Tema: Kesendirian, Pengkhianatan, dan Ketabahan Perempuan
Tema utama dari puisi ini adalah kesendirian dan perjuangan batin perempuan setelah ditinggal suami. Dari bait pertama hingga terakhir, pembaca dibawa menyelami pergulatan perasaan seorang ibu—seorang istri—yang harus mengasuh anak-anak seorang diri, sekaligus menanggung beban ditinggalkan oleh lelaki yang seharusnya menjadi pelindung.
Namun tema ini tidak berdiri sendiri. Di dalamnya menyelinap pula tema pengkhianatan cinta, rasa iba, kerinduan, dan pengharapan. Puisi ini adalah kesaksian tentang perempuan yang tertatih di dalam dunia yang keras, tapi tidak kehilangan kekuatan untuk terus bertahan.
Puisi ini menceritakan tentang seorang perempuan yang ditinggalkan suaminya tanpa kepastian, namun tetap menjalani hidup dengan ketabahan luar biasa. Ia menatap dunia dari balik jendela, tempat yang menjadi saksi bisu tentang hari-hari sunyi, tentang anak-anak yang bertanya tentang bapaknya, dan tentang luka yang terus membekas.
Bait demi bait membuka lebih dari sekadar narasi: ia adalah lukisan emosional. Perempuan itu terus menunggu, berharap, merenung, dan mempertanyakan nasibnya. Sementara di sisi lain, penyair juga menyisipkan narator laki-laki—seseorang yang mengamati, berempati, bahkan pada satu titik merasakan tarik-menarik antara iba dan hasrat.
Makna Tersirat: Perempuan yang Tak Sekadar Lemah
Di balik kisah kesendirian, puisi ini menyimpan makna tersirat tentang kekuatan perempuan. Meski digambarkan sebagai korban, perempuan dalam puisi ini bukanlah sosok yang menyerah begitu saja. Ia tetap berdiri, meski rapuh. Ia tetap menjadi ibu, meski suaminya abai. Dan pada akhirnya, ia tetap percaya bahwa suatu hari akan datang laki-laki yang benar-benar setia.
Makna lainnya yang cukup mendalam adalah sindiran sosial terhadap ketimpangan relasi antara pria dan wanita. Laki-laki dalam puisi ini digambarkan sebagai pihak yang pergi, yang lalai, bahkan yang tidak tahu malu. Sementara perempuan menjadi simbol dari rumah, kesetiaan, dan cinta yang tak habis-habisnya.
Imaji: Penuh Gambar Emosional yang Tajam
Puisi ini begitu kuat dalam membentuk imaji visual dan emosional. Bayangkan seorang perempuan yang terus-menerus menatap keluar dari jendela. Imaji ini berulang dalam banyak bagian puisi, menjadi metafora tentang harapan yang tak pernah mati, sekaligus duka yang tak bisa diungkapkan.
“Setiap kali kalau aku melintas di jalan ini, pulang dan pergi Kembali ia kulihat merenung ke luar jalan dan orang yang lalu…”
Pembaca seolah bisa melihat perempuan itu—dengan mata yang dalam, wajah yang menua oleh rindu, dan tubuh yang mulai pasrah tapi belum sepenuhnya menyerah.
Majas: Metafora, Personifikasi, dan Ironi
Puisi Perempuan banyak menggunakan majas metafora dan personifikasi. Salah satu contoh metafora kuat adalah:
“merangkak atas warna kelabu”
Frasa ini menggambarkan waktu yang berjalan lambat dan menyedihkan. Warna kelabu menjadi simbol dari kekosongan, kesuraman, dan ketidakpastian.
Ada pula ironi dalam cara penyair menyajikan sosok lelaki. Ia hadir dalam dua bentuk: lelaki yang meninggalkan, dan lelaki narator yang mengamati. Keduanya menciptakan konflik emosional tersendiri, terutama di bagian saat narator justru tergoda oleh adik si perempuan yang sedang menderita.
“'Ku seka mata, seketika aku terpana betapa manis gadis adiknya”
Ironi ini tajam, menyentil, dan menggambarkan bagaimana perempuan sering kali menjadi korban dari pandangan yang memuja tubuh, bukan hati atau perjuangannya.
Amanat: Ketabahan dan Harapan Tak Pernah Mati
Jika ditarik benang merah dari seluruh fragmen puisi, maka amanat yang ingin disampaikan adalah pentingnya ketabahan dalam menghadapi luka, dan keyakinan bahwa kesetiaan masih mungkin ditemukan meski dalam dunia yang kelabu.
Penyair juga mengajak pembaca—khususnya laki-laki—untuk tidak semena-mena dalam menjalani relasi. Ada tanggung jawab besar di balik janji pernikahan. Ada hati yang menunggu, ada anak-anak yang berharap, dan ada jiwa yang bisa hancur jika cinta tak dijaga.
Suasana dalam Puisi: Sepi, Sunyi, dan Menyesakkan
Suasana yang mendominasi puisi ini adalah kesepian dan kehampaan. Tapi lebih dari itu, ada juga kesedihan yang ditahan-tahan, seperti beban yang terus dipikul oleh si perempuan dan tidak kunjung reda. Di balik jendela yang menjadi metafora, ada kehidupan yang tak lagi cerah, tapi juga belum mau padam.
Sebuah Surat Panjang untuk Semua Perempuan yang Bertahan
Puisi "Perempuan" karya Aldian Aripin bukan hanya puisi tentang duka. Ia adalah potret keberanian, keteguhan, dan cinta dalam bentuknya yang paling sunyi. Dalam keterbatasan dan luka, perempuan tetap menjadi fondasi rumah, penyangga kehidupan.
Di tengah masyarakat yang masih kerap memandang sebelah mata peran perempuan, puisi ini hadir sebagai pengingat: bahwa di balik setiap jendela yang terbuka, ada hati yang mungkin sedang menunggu, berdoa, dan menahan air mata.
Dan dalam wajah perempuan itu, barangkali kita bisa menemukan wajah ibu, saudara perempuan, atau bahkan diri kita sendiri.
Karya: Aldian Aripin
Biodata Aldian Aripin:
- Aldian Aripin lahir pada tanggal 1 Agustus 1938 di Kotapinang, Sumatera Utara.
- Aldian Aripin meninggal dunia pada tanggal 15 Oktober 2010 di Medan
- Aldian Aripin merupakan Penyair Angkatan '66.