Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Perempuan (Karya Aldian Aripin)

Puisi "Perempuan" karya Aldian Aripin menceritakan tentang seorang perempuan yang ditinggalkan suaminya tanpa kepastian, namun tetap menjalani ...
Perempuan (1)

Perempuan yang meninjau dari jendela
hatinya terus bertanya
Kemana perginya suami yang luka
membawa pikiran kacau
Rindu anak-anak malam hari
bertanya akan bapanya
Tapi bapa telah melangkah
bagai samar senja musim kemarau.

Perempuan (2)

Karena terlalu membekas bilur
di jantungnya guratan sendu
Itulah yang memaksanya melepas risau
berharian lewat jendela
Sedang di hadapannya terhampar hari
merangkak atas warna kelabu
Siapa akan datang kepadanya
untuk kawan berbagi duka.

Perempuan (3)

O lelaki mengapa begitu sampai hati
meremas mimpi perempuan yang lemah ini
Mengembara membelakanginya setelah
membebankan kepadanya tiga orang anak
Lalu jandalah ia setelah seluruh malam
dan tubuhnya terjamah lelaki
Lelaki yang pergi, tiada juga mau
menjenguknya barang sejenak.

Perempuan (4)

Setiap kali kalau aku melintas
di jalan ini, pulang dan pergi
Kembali ia kulihat merenung ke luar
jalan dan orang yang lalu
Betapalah iba merasuk hati
ditinggal lelaki tiada peduli
Membenam dendam kelabu
serta haruan sayu merindu.

Perempuan (5)

Apalah yang dapat kuberikan
kepada perempuan yang malang ini
Angin yang dingin telah menyusul
menarikku dari belakang
Malam yang pekat berjalin dengan laguku
berpintal ketat sekali
Bergayut lekat di tapak sepatuku
nyanyian duka anaknya sayang.

Perempuan (6)

Sedang kureka, karena terasa ada
yang harus kuberikan kepadanya
Kendati malam yang dingin tebal mendinding
memisah aku dari padanya
Tapi bila hatiku terang bagai
benderang bulan purnama
'Ku rangkai sajak yang mesra
pertanda kasihku pada manusia.

Perempuan (7)

Lewat hari, lewat orang berjalan
melintas di depan jendela
Menundukkan muka, mengelak aku
dari pandangan pilunya
Akupun lelaki yang rindu dan dahaga
akan mesranya gairah cinta
'Ku seka mata, seketika aku terpana
betapa manis gadis adiknya

Perempuan (8)

Ke mana akan 'ku rebahkan diri
di antara keduanya akupun gusar
Terlalu asing bagi sebuah lagu
yang 'ku siulkan malam hari
Lalu kutulis di atas dada
siapa saja orang yang nanar
Bahwa orang yang kehilangan pegangan
membutuhkan sahabat sejati.

Perempuan (9)

Disaksikannya, bahwa malam yang kelam
telah lama berangkat tua
Lalu ditariknya kedua daun jendela
dengan lunak dikatupkannya
Tapi hatinya yang masih terbuka
siapakah yang akan mengisinya
Disini ia terbaring memagut anaknya
karena malam terlalu sepi baginya.

Perempuan (10)

Perempuan yang terbaring di atas ranjang
hatinya tabah menunggu
Kehadiran lelaki yang setia
akan menuntunnya kepada bahagia
Karena di hadapannya terhampar hari
merangkak atas warna kelabu
Siapa akan datang kepadanya
untuk kawan berbagi duka.

1958

Sumber: Oh Nostalgia (Sastera Leo Medan, 1968)

Analisis Puisi:

Puisi panjang berjudul “Perempuan” karya Aldian Aripin menghadirkan potret kehidupan yang begitu manusiawi, menyayat, dan jujur. Melalui sepuluh fragmen yang saling terhubung, penyair menarasikan dunia batin seorang perempuan yang ditinggalkan suaminya. Dalam bayang luka dan kenangan, ia menatap dunia dari balik jendela—simbol keterasingan sekaligus harapan yang masih menyala dalam redupnya cahaya.

Tema: Kesendirian, Pengkhianatan, dan Ketabahan Perempuan

Tema utama dari puisi ini adalah kesendirian dan perjuangan batin perempuan setelah ditinggal suami. Dari bait pertama hingga terakhir, pembaca dibawa menyelami pergulatan perasaan seorang ibu—seorang istri—yang harus mengasuh anak-anak seorang diri, sekaligus menanggung beban ditinggalkan oleh lelaki yang seharusnya menjadi pelindung.

Namun tema ini tidak berdiri sendiri. Di dalamnya menyelinap pula tema pengkhianatan cinta, rasa iba, kerinduan, dan pengharapan. Puisi ini adalah kesaksian tentang perempuan yang tertatih di dalam dunia yang keras, tapi tidak kehilangan kekuatan untuk terus bertahan.

Puisi ini menceritakan tentang seorang perempuan yang ditinggalkan suaminya tanpa kepastian, namun tetap menjalani hidup dengan ketabahan luar biasa. Ia menatap dunia dari balik jendela, tempat yang menjadi saksi bisu tentang hari-hari sunyi, tentang anak-anak yang bertanya tentang bapaknya, dan tentang luka yang terus membekas.

Bait demi bait membuka lebih dari sekadar narasi: ia adalah lukisan emosional. Perempuan itu terus menunggu, berharap, merenung, dan mempertanyakan nasibnya. Sementara di sisi lain, penyair juga menyisipkan narator laki-laki—seseorang yang mengamati, berempati, bahkan pada satu titik merasakan tarik-menarik antara iba dan hasrat.

Makna Tersirat: Perempuan yang Tak Sekadar Lemah

Di balik kisah kesendirian, puisi ini menyimpan makna tersirat tentang kekuatan perempuan. Meski digambarkan sebagai korban, perempuan dalam puisi ini bukanlah sosok yang menyerah begitu saja. Ia tetap berdiri, meski rapuh. Ia tetap menjadi ibu, meski suaminya abai. Dan pada akhirnya, ia tetap percaya bahwa suatu hari akan datang laki-laki yang benar-benar setia.

Makna lainnya yang cukup mendalam adalah sindiran sosial terhadap ketimpangan relasi antara pria dan wanita. Laki-laki dalam puisi ini digambarkan sebagai pihak yang pergi, yang lalai, bahkan yang tidak tahu malu. Sementara perempuan menjadi simbol dari rumah, kesetiaan, dan cinta yang tak habis-habisnya.

Imaji: Penuh Gambar Emosional yang Tajam

Puisi ini begitu kuat dalam membentuk imaji visual dan emosional. Bayangkan seorang perempuan yang terus-menerus menatap keluar dari jendela. Imaji ini berulang dalam banyak bagian puisi, menjadi metafora tentang harapan yang tak pernah mati, sekaligus duka yang tak bisa diungkapkan.

“Setiap kali kalau aku melintas
di jalan ini, pulang dan pergi
Kembali ia kulihat merenung ke luar
jalan dan orang yang lalu…”

Pembaca seolah bisa melihat perempuan itu—dengan mata yang dalam, wajah yang menua oleh rindu, dan tubuh yang mulai pasrah tapi belum sepenuhnya menyerah.

Majas: Metafora, Personifikasi, dan Ironi

Puisi Perempuan banyak menggunakan majas metafora dan personifikasi. Salah satu contoh metafora kuat adalah:

“merangkak atas warna kelabu”

Frasa ini menggambarkan waktu yang berjalan lambat dan menyedihkan. Warna kelabu menjadi simbol dari kekosongan, kesuraman, dan ketidakpastian.

Ada pula ironi dalam cara penyair menyajikan sosok lelaki. Ia hadir dalam dua bentuk: lelaki yang meninggalkan, dan lelaki narator yang mengamati. Keduanya menciptakan konflik emosional tersendiri, terutama di bagian saat narator justru tergoda oleh adik si perempuan yang sedang menderita.

“'Ku seka mata, seketika aku terpana
betapa manis gadis adiknya”

Ironi ini tajam, menyentil, dan menggambarkan bagaimana perempuan sering kali menjadi korban dari pandangan yang memuja tubuh, bukan hati atau perjuangannya.

Amanat: Ketabahan dan Harapan Tak Pernah Mati

Jika ditarik benang merah dari seluruh fragmen puisi, maka amanat yang ingin disampaikan adalah pentingnya ketabahan dalam menghadapi luka, dan keyakinan bahwa kesetiaan masih mungkin ditemukan meski dalam dunia yang kelabu.

Penyair juga mengajak pembaca—khususnya laki-laki—untuk tidak semena-mena dalam menjalani relasi. Ada tanggung jawab besar di balik janji pernikahan. Ada hati yang menunggu, ada anak-anak yang berharap, dan ada jiwa yang bisa hancur jika cinta tak dijaga.

Suasana dalam Puisi: Sepi, Sunyi, dan Menyesakkan

Suasana yang mendominasi puisi ini adalah kesepian dan kehampaan. Tapi lebih dari itu, ada juga kesedihan yang ditahan-tahan, seperti beban yang terus dipikul oleh si perempuan dan tidak kunjung reda. Di balik jendela yang menjadi metafora, ada kehidupan yang tak lagi cerah, tapi juga belum mau padam.

Sebuah Surat Panjang untuk Semua Perempuan yang Bertahan

Puisi "Perempuan" karya Aldian Aripin bukan hanya puisi tentang duka. Ia adalah potret keberanian, keteguhan, dan cinta dalam bentuknya yang paling sunyi. Dalam keterbatasan dan luka, perempuan tetap menjadi fondasi rumah, penyangga kehidupan.

Di tengah masyarakat yang masih kerap memandang sebelah mata peran perempuan, puisi ini hadir sebagai pengingat: bahwa di balik setiap jendela yang terbuka, ada hati yang mungkin sedang menunggu, berdoa, dan menahan air mata.

Dan dalam wajah perempuan itu, barangkali kita bisa menemukan wajah ibu, saudara perempuan, atau bahkan diri kita sendiri.

Aldian Aripin
Puisi: Perempuan
Karya: Aldian Aripin

Biodata Aldian Aripin:
  • Aldian Aripin lahir pada tanggal 1 Agustus 1938 di Kotapinang, Sumatera Utara.
  • Aldian Aripin meninggal dunia pada tanggal 15 Oktober 2010 di Medan
  • Aldian Aripin merupakan Penyair Angkatan '66.
© Sepenuhnya. All rights reserved.