Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Perempuan Setengah Baya (Karya Sulaiman Juned)

Puisi “Perempuan Setengah Baya” karya Sulaiman Juned bercerita tentang seorang perempuan setengah baya yang terus berjalan dalam kehidupan yang kejam.
Perempuan Setengah Baya

Perempuan setengah baya
menenteng keranjang, berbaju kumal
tersaruk-saruk di terminal
jemari kerut dan gemetar.

Perempuan setengah baya
menenteng keranjang berbaju kumal
berlaksa kepedihan terukir di raut wajah
penderitaannya-derita dari sepotong kalbu
terkurung penjara kepapaan.

Perempuan setengah baya
menenteng keranjang berbaju kumal
lukanya-luka perempuan desa
yang memecah tabir kepalsuan dunia
terkuliti kancah debu nista. Tersenyumlah
rembulan setia memberi secarik sinar
suatu ketika.

Antara Lampung-Jakarta, 1987

Analisis Puisi:

Puisi “Perempuan Setengah Baya” karya Sulaiman Juned adalah salah satu puisi yang berhasil memotret realitas sosial dengan liris yang dalam dan menyentuh. Melalui tokoh yang begitu sederhana namun sarat makna, Juned menyampaikan kritik sosial sekaligus empati mendalam pada perempuan yang berada dalam pusaran ketidakadilan hidup. Ini bukan sekadar potret fisik seorang perempuan, melainkan fragmen kehidupan yang disandingkan dengan penderitaan struktural dan harapan samar.

Tema: Ketabahan dan Penderitaan Perempuan dalam Ketimpangan Sosial

Puisi ini mengangkat tema besar tentang penderitaan perempuan, khususnya dari kalangan bawah, yang harus bergulat dengan kerasnya hidup. Perempuan yang digambarkan adalah simbol dari banyak wajah perempuan di dunia nyata: pekerja keras, miskin, dan termarginalkan, namun tetap melangkah dengan tabah meski dunia seperti tak berpihak.

Secara eksplisit, puisi ini bercerita tentang seorang perempuan setengah baya yang terus berjalan dalam kehidupan yang kejam. Ia digambarkan menenteng keranjang dengan baju kumal, jemari kerut dan gemetar — ini bukan hanya gambaran usia, tetapi juga tanda fisik dari kerja keras dan kemiskinan. Terminal menjadi latar yang tepat, karena terminal adalah ruang persinggahan, ruang transisi yang menggambarkan betapa hidupnya pun seperti menunggu dan terus berpindah tanpa arah yang pasti.

Makna Tersirat: Kepapaan sebagai Penjara, Harapan sebagai Cahaya

Dalam puisi ini, terdapat makna tersirat yang kuat. Perempuan tersebut bukan hanya menghadapi penderitaan fisik, tetapi “terkurung penjara kepapaan” — ini adalah metafora dari sistem sosial yang membuat kemiskinan seolah menjadi takdir yang tak bisa dihindari. Namun, pada bagian akhir puisi, ada secercah harapan: “rembulan setia memberi secarik sinar / suatu ketika.” Harapan, meski kecil dan samar, tetap ada bagi mereka yang bertahan dan tetap melangkah.

Suasana dalam Puisi: Pilu, Kelam, dan Penuh Empati

Suasana dalam puisi ini sangat melankolis, bahkan getir. Ada kepedihan yang tak terucap, hanya terasa melalui pengulangan dan deskripsi yang terus-menerus membentangkan penderitaan sang tokoh. Namun ada juga sentuhan lembut pada akhir bait yang mengisyaratkan kehangatan dan kemungkinan untuk bangkit.

Imaji: Visual Kemiskinan yang Menggetarkan

Puisi ini dipenuhi oleh imaji visual yang kuat:
  • “Menenteng keranjang, berbaju kumal”: menghadirkan gambaran konkret tentang kondisi fisik tokoh yang lusuh, letih, dan membawa beban.
  • “Jemari kerut dan gemetar”: menyampaikan kondisi tubuh yang renta, rapuh oleh usia dan kerja keras.
  • “Raut wajah berlaksa kepedihan”: membentuk gambaran emosional mendalam — kita tak hanya melihat wajah, tapi juga penderitaan yang terpancar dari sana.

Majas: Repetisi, Metafora, Personifikasi

Puisi ini juga kaya akan majas, yang memperkuat daya pukau puitiknya:

Repetisi:
  • Kalimat “Perempuan setengah baya / menenteng keranjang berbaju kumal” diulang tiga kali, memperkuat kesan monoton dan beratnya kehidupan yang terus berulang.
Metafora:
  • “Penjara kepapaan” adalah metafora kuat yang menyiratkan bagaimana kemiskinan bukan hanya kekurangan materi, tetapi juga belenggu yang membatasi kehidupan.
  • “Luka perempuan desa” menggambarkan penderitaan yang diwariskan secara struktural kepada perempuan-perempuan dari kalangan terpinggirkan.
Personifikasi:
  • “Rembulan setia memberi secarik sinar” — rembulan diibaratkan seperti sosok yang memahami dan memberi harapan. Ini memberi kesan puitik yang lembut sekaligus mendalam.

Amanat / Pesan yang Disampaikan: Ketabahan dan Harapan Meski Dunia Tidak Adil

Puisi ini mengajak kita untuk tidak menutup mata terhadap realitas kehidupan banyak perempuan yang hidup dalam kemiskinan, keterbatasan, dan ketidakadilan struktural. Tapi lebih dari itu, puisi ini juga menyampaikan pesan tentang harapan — bahwa sekalipun luka dan beban begitu berat, masih ada cahaya yang bisa datang dari arah tak terduga. Harapan bukanlah kemewahan, tapi kebutuhan bagi mereka yang hidup dalam bayang-bayang penderitaan.

Puisi Sebagai Cermin Sosial

Puisi “Perempuan Setengah Baya” bukan sekadar puisi; ia adalah cermin sosial, sebuah pengingat tentang keberadaan mereka yang sering terlupakan oleh dunia yang sibuk dan keras. Dalam puisi ini, Sulaiman Juned mengubah penderitaan menjadi nyanyian lirih yang penuh empati — dan justru dalam lirih itulah, kita menemukan kemanusiaan yang paling jujur.

Sulaiman Juned
Puisi: Perempuan Setengah Baya
Karya: Sulaiman Juned
© Sepenuhnya. All rights reserved.