Puisi: Satu April (Karya Korrie Layun Rampan)

Puisi "Satu April" karya Korrie Layun Rampan bercerita tentang perjalanan waktu dan perubahan yang terjadi di Yogyakarta, baik dari segi sosial, ...

Satu April 1976

yogya? masih juga emha dan linus
dan angin malioboro yang terpendam
tiang-tiang malam dan pergulatan kita yang dulu juga

ke mana lagi hari? umbu sudah jenuh
psk terlantar dan warno menyurukkan mimpi ke tengah kelam
bayi-bayi lahir di antara duri di sekitar hutan larangan

dinding-dinding kota ini masih juga bersaput debu
dulu kaugosokkan puisi-puisimu segairah sunyi merapi
tak terasa hari lenyap dan kita tersaruk-saruk kefanaan

yogya? masih juga kosong dalam keajaiban semula
membentangkan padang-padang terkukur. Di sini lengang
daerah perpuisian, perjalanan baja
gairah sejuta kaki bianglala!

1976

Sumber: Suara Kesunyian (1981)

Analisis Puisi:

Puisi "Satu April" karya Korrie Layun Rampan menggambarkan tema nostalgia dan kekosongan zaman. Puisi ini mencerminkan refleksi seorang penyair terhadap perubahan waktu dan kondisi yang terjadi di Yogyakarta, khususnya dunia seni dan sastra. Ada nuansa kehilangan terhadap semangat masa lalu, yang mungkin dulu begitu hidup, tetapi kini hanya menyisakan kenangan dan kehampaan.

Makna Tersirat

Puisi ini menyiratkan sebuah perasaan kerinduan akan masa lalu yang penuh gairah dan semangat, tetapi kini telah memudar. Penyebutan tokoh-tokoh seperti Emha (kemungkinan besar merujuk pada Emha Ainun Nadjib, sastrawan dan budayawan Indonesia) dan Linus mengindikasikan nostalgia terhadap peran mereka dalam dunia seni dan budaya di Yogyakarta.

Puisi ini juga menunjukkan keprihatinan terhadap perubahan sosial. Misalnya, ada gambaran tentang psk terlantar dan bayi-bayi lahir di antara duri di sekitar hutan larangan, yang bisa diartikan sebagai kritik terhadap kondisi sosial yang semakin suram dan keras. Selain itu, kalimat kita tersaruk-saruk kefanaan menggambarkan manusia yang terseret oleh waktu, kehilangan idealisme, dan hanya bisa mengenang kejayaan masa lalu.

Puisi ini bercerita tentang perjalanan waktu dan perubahan yang terjadi di Yogyakarta, baik dari segi sosial, budaya, maupun sastra. Kota yang dulu penuh semangat dan gairah kini terasa kosong dan kehilangan keajaiban. Penyair mengajak pembaca untuk merenungkan bagaimana sesuatu yang dulu begitu berarti bisa memudar seiring waktu.

Suasana dalam Puisi

Suasana yang tergambar dalam puisi ini adalah melankolis dan penuh kerinduan. Ada perasaan kehilangan dan keheningan yang begitu kuat, seperti tergambar dalam bait terakhir:

"yogya? masih juga kosong dalam keajaiban semula membentangkan padang-padang terkukur. Di sini lengang daerah perpuisian, perjalanan baja gairah sejuta kaki bianglala!"

Frasa masih juga kosong memperkuat rasa kekosongan dan kehilangan, sementara daerah perpuisian yang disebut lengang menunjukkan bahwa dunia seni dan sastra mungkin tidak lagi sehidup dulu.

Imaji

  • Imaji visual: "dinding-dinding kota ini masih juga bersaput debu", menggambarkan kesuraman dan ketertinggalan. "membentangkan padang-padang terkukur", menciptakan gambaran tentang lahan kosong yang sepi.
  • Imaji auditorik: "angin malioboro yang terpendam", memberi kesan bahwa sesuatu yang dulu begitu hidup kini hanya tersimpan dalam kenangan.
  • Imaji kinestetik: "kita tersaruk-saruk kefanaan", menciptakan kesan perjuangan yang melelahkan dan perjalanan yang sulit dalam menghadapi perubahan zaman.

Majas

  • Metafora: "pergulatan kita yang dulu juga", menggambarkan perjuangan dan perjalanan masa lalu dalam seni dan kehidupan. "gairah sejuta kaki bianglala", melambangkan semangat yang dulu menghidupkan kota, tetapi kini mungkin telah redup.
  • Personifikasi: "tiang-tiang malam", seolah-olah malam memiliki tiang sebagai sesuatu yang berdiri tegak, memberi nuansa puitis.
  • Repetisi: Kata "yogya?" diulang di awal dan akhir puisi, menegaskan rasa kehilangan dan kehampaan terhadap perubahan yang terjadi di kota tersebut.
Puisi "Satu April" karya Korrie Layun Rampan adalah sebuah refleksi dan kritik terhadap perubahan zaman, khususnya dalam dunia seni, budaya, dan sosial di Yogyakarta. Penyair menggunakan bahasa yang melankolis dan metaforis untuk menggambarkan betapa kota yang dulu penuh semangat kini terasa sepi dan kehilangan maknanya. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan bagaimana waktu dapat mengubah segala sesuatu, dan bagaimana perasaan nostalgia sering kali membawa kita pada pemikiran tentang makna sejati dari kehidupan dan perjuangan di masa lalu.

Korrie Layun Rampan
Puisi: Satu April
Karya: Korrie Layun Rampan

Biodata Korrie Layun Rampan:
  • Korrie Layun Rampan adalah seorang penulis (penyair, cerpenis, novelis, penerjemah), editor, dan kritikus sastra Indonesia berdarah Dayak Benuaq.
  • Korrie Layun Rampan lahir pada tanggal 17 Agustus 1953 di Samarinda, Kalimantan Timur.
  • Korrie Layun Rampan meninggal dunia pada tanggal 19 November 2015 di Rumah Sakit PGI Cikini, Jakarta Pusat.
© Sepenuhnya. All rights reserved.