Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Sebuah Jalan pada Siang Hari (Karya Juniarso Ridwan)

Puisi “Sebuah Jalan pada Siang Hari” bercerita tentang sebuah jalan yang tidak hanya menjadi tempat lalu lintas manusia, tetapi juga menjadi saksi ...
Sebuah Jalan pada Siang Hari
- panorama unjukrasa

ribuan kepala manusia berubah
menjadi sebuah jalan yang teduh,
arak-arakan pun bergerak menelusuri
jejak keyakinan yang telah disia-siakan

karena ketakutan menjelma jadi kekejaman,
api pun larut dalam lelehan darah;
kaki-kaki mengalir bermuara di hati
tangan-tangan membeku menembus bumi,
suara-suara parau kehilangan nyali

orang-orang kalah menjadi dungu,
tubuh pun dipenuhi aroma aspal,
jalan terluka sebagai catatan sejarah
yang tak bisa diingat anak sekolah.

: masa depan adalah teka-teki lubang hitam, bapak.

1996

Analisis Puisi:

Puisi "Sebuah Jalan pada Siang Hari" karya Juniarso Ridwan bukan hanya menyajikan pemandangan fisik tentang jalan yang ramai dan panas. Ia menghamparkan lanskap sosial-politik yang kelam, getir, dan penuh luka. Dalam bait-baitnya yang padat dan penuh daya ledak, penyair mengajak kita menengok kembali jejak-jejak sejarah yang sering dilupakan atau bahkan dihapus secara sistematis. Sebuah puisi yang bukan sekadar kritik, tapi juga elegi bagi ingatan kolektif yang telah lama terpasung.

Puisi ini bercerita tentang sebuah jalan yang tidak hanya menjadi tempat lalu lintas manusia, tetapi juga menjadi saksi bisu atas penderitaan, perjuangan, dan tragedi yang pernah terjadi. Arak-arakan manusia digambarkan berjalan menelusuri "jejak keyakinan yang telah disia-siakan", menandakan semacam prosesi atau peringatan terhadap sesuatu yang dahulu pernah diyakini bersama—mungkin ideologi, mungkin harapan bersama—namun kemudian dikhianati oleh kekuasaan atau ketakutan kolektif.

Jalan yang dilalui oleh “ribuan kepala manusia” itu pun menjadi simbol medan sejarah yang penuh luka, yang bahkan “tak bisa diingat anak sekolah”. Di sinilah kengerian paling dalam muncul: ketika generasi penerus tidak lagi tahu apa yang pernah terjadi di tanah airnya sendiri.

Tema: Luka Kolektif dan Ingatan yang Terhapus

Tema utama puisi ini adalah luka kolektif dan pelupaan sejarah. Juniarso Ridwan menyingkap kenyataan bahwa tragedi sosial dan politik sering kali dikubur diam-diam, seolah tak pernah ada. Ketika sejarah ditulis oleh pemenang dan korban dilupakan, maka jalan—yang sejatinya adalah ruang publik—berubah menjadi jejak yang tak terbaca, luka yang tak dirawat, dan simbol kehilangan yang sunyi.

Ada juga tema lain yang saling bersinggungan: ketakutan yang menjadi kekejaman, kebodohan akibat pembungkaman, dan masa depan yang tak pasti.

"karena ketakutan menjelma jadi kekejaman, / api pun larut dalam lelehan darah"

Kalimat ini mengisyaratkan bahwa segala bentuk represi dan kekerasan sosial-politik lahir dari rasa takut—baik dari pihak penguasa maupun yang dikuasai. Namun ketakutan yang tidak ditanggulangi dengan bijak malah menimbulkan kekejaman yang brutal.

Makna Tersirat: Kritik Terhadap Penindasan dan Penghapusan Sejarah

Puisi ini penuh dengan makna tersirat. Ia bukan sekadar menggambarkan pemandangan jalan atau kerumunan, melainkan menyimpan kritik tajam terhadap sistem yang mengabaikan dan melupakan sejarah penderitaan rakyatnya sendiri. Penulis mengajak pembaca untuk menyadari bahwa jalan yang kita lintasi sehari-hari mungkin menyimpan jejak-jejak kekejaman yang tak lagi diajarkan, tak lagi dibicarakan, bahkan sengaja disembunyikan.

"jalan terluka sebagai catatan sejarah / yang tak bisa diingat anak sekolah"

Baris ini sangat penting. Ia menyentil sistem pendidikan dan konstruksi sejarah nasional yang sering mengabaikan tragedi-tragedi tertentu, dan hanya mengangkat narasi-narasi besar yang menguntungkan pihak-pihak tertentu. Puisi ini, dengan kata lain, adalah semacam "pengingat alternatif".

Suasana dalam Puisi: Suram, Panas, dan Mencekam

Suasana dalam puisi ini sangat kuat: suram, panas, dan mencekam. Meski judulnya menyebut "siang hari", cahaya matahari tidak menghadirkan keceriaan atau harapan. Sebaliknya, siang justru menjadi latar bagi terungkapnya kekejaman, duka, dan absurditas sejarah. Jalanan yang seharusnya menjadi ruang interaksi manusia, di sini justru menjadi ruang trauma kolektif.

Bayangkan "tubuh pun dipenuhi aroma aspal"—betapa panas, menyengat, dan penuh penderitaan.

Imaji: Tubuh, Darah, Jalan, dan Masa Depan

Puisi ini sarat dengan imaji visual dan emosional yang mencolok:
  • “ribuan kepala manusia berubah menjadi sebuah jalan yang teduh”: memberikan gambaran barisan manusia yang sangat banyak, seakan menyatu dengan jalan itu sendiri—entah sebagai pejalan kaki, atau sebagai korban.
  • “api pun larut dalam lelehan darah”: imaji yang mengerikan, menyiratkan pembantaian atau kekerasan massal.
  • “kaki-kaki mengalir bermuara di hati” dan “tangan-tangan membeku menembus bumi”: memperlihatkan tubuh manusia yang bukan lagi hanya organ, melainkan simbol penderitaan yang mendalam.
  • “masa depan adalah teka-teki lubang hitam”: imaji astronomi yang mengesankan masa depan sebagai sesuatu yang menghisap dan tak memberikan harapan.

Majas: Metafora, Personifikasi, dan Hiperbola

Beberapa majas yang dominan dalam puisi ini adalah:
  • Metafora: Puisi ini menggunakan banyak metafora, seperti "ribuan kepala manusia berubah menjadi sebuah jalan", atau “masa depan adalah teka-teki lubang hitam”. Ini menunjukkan bahwa puisi tidak ingin menjelaskan secara langsung, tapi memberikan ruang bagi interpretasi.
  • Personifikasi: “jalan terluka” adalah bentuk personifikasi yang menggambarkan bahwa jalan itu sendiri mengalami penderitaan. Ini memperkuat ide bahwa ruang publik menyimpan trauma kolektif.
  • Hiperbola: Penggunaan “ribuan kepala”, “lelehan darah”, dan “teka-teki lubang hitam” adalah bentuk hiperbola yang memberikan efek dramatis dan mendalam.

Amanat / Pesan yang Disampaikan: Jangan Melupakan Sejarah yang Luka

Puisi ini menyampaikan amanat yang jelas: jangan biarkan sejarah yang penuh luka dilupakan, apalagi dihapuskan. Ia mengajak kita untuk membuka mata, menelusuri kembali jejak-jejak penderitaan kolektif, dan menyadari bahwa jalan yang kita lalui mungkin menyimpan cerita yang tak pernah masuk buku pelajaran. Bahwa dalam setiap perjalanan bangsa, ada harga yang dibayar oleh mereka yang terpinggirkan, yang disingkirkan, atau bahkan dihilangkan.

Sebuah Elegi bagi Jalan yang Ditinggalkan Sejarah

Puisi “Sebuah Jalan pada Siang Hari” bukanlah puisi yang mudah. Ia menantang pembaca untuk menyelami kedalaman sejarah, mengenali trauma kolektif, dan mempertanyakan apa arti “masa depan” jika ingatan terhadap masa lalu telah hancur. Puisi ini bukan hanya tentang jalan, siang hari, atau arak-arakan. Ia adalah monumen sunyi bagi mereka yang pernah berdiri, berjalan, bahkan terjatuh di jalanan itu.

Dan barangkali, dengan membaca puisi ini, kita diajak untuk tidak sekadar berjalan di atas aspal kota—tetapi menapak dengan penuh kesadaran, bahwa di bawah kaki kita mungkin tersimpan sejarah yang menunggu untuk diingat kembali.

Puisi: Sebuah Jalan pada Siang Hari
Puisi: Sebuah Jalan pada Siang Hari
Karya: Juniarso Ridwan


Catatan:
  • Juniarso Ridwan lahir di Bandung, Jawa Barat, pada tanggal 10 Juni 1955.
© Sepenuhnya. All rights reserved.