Simfoni yang Tak Selesai
Rintik hujan bagai not yang gugur,
mengisi ruang dengan lagu tanpa melodi.
Pianoku membisu di sudut ruangan,
menghormati sunyi yang terlalu dalam.
Tak ada jari yang menari di tuts,
tak ada suara, hanya desir yang menua.
Seakan setiap tetes membawa pesan,
tentang nada-nada yang tak pernah selesai.
Kau pernah duduk di situ,
memainkan simfoni yang sederhana.
Kini semua nada hilang bersama jejakmu,
dan hujan pun tak bisa menggantikanmu.
Ruang kosong ini menjadi panggung,
bagi kenangan yang terus mementaskan duka.
Dan aku penonton paling setia,
menyaksikan hujan merayakan kehilangan.
2025
Analisis Puisi:
Ada keheningan yang tak bisa dipecahkan oleh apapun—bahkan oleh musik yang paling indah. Puisi “Simfoni yang Tak Selesai” karya Yusriman adalah tentang diam yang tidak lagi menenangkan, tentang nada yang tertinggal, dan tentang kehilangan yang terus bermain di latar, seakan tak pernah benar-benar usai. Dalam puisinya, Yusriman menganyam kesedihan menjadi semacam musik sunyi, membiarkan pembaca larut dalam ruang yang ditinggalkan.
Tema
Puisi ini mengangkat tema kehilangan, kenangan, dan keheningan setelah perpisahan. Tidak ada tangisan yang meledak-ledak, tidak ada teriakan atau jerit, hanya sebuah simfoni yang tak selesai—karena pemainnya telah pergi. Musik menjadi metafora untuk hubungan yang pernah hidup, namun kini tinggal sisa gema.
Puisi ini bercerita tentang seseorang yang mengenang kehadiran orang terkasih melalui simbol piano dan musik, namun kini harus menghadapi kenyataan bahwa semuanya telah usai. Pianonya membisu. Tak ada jari yang menari di atas tuts. Yang tersisa hanyalah hujan, yang perlahan-lahan mengisi ruang sepi dengan rintik yang seperti notasi tak utuh.
Tokoh dalam puisi duduk dalam kenangan. Ia bukan lagi pelaku, melainkan penonton dari panggung kehilangan—di mana setiap tetes hujan adalah pengingat bahwa yang dulu ada, kini tinggal bayangan.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini sangat halus namun dalam. Yusriman tampaknya ingin mengatakan bahwa kepergian seseorang bisa memutus tidak hanya hubungan antar manusia, tetapi juga ritme hidup yang dulu terasa penuh makna. Nada yang biasa mengisi hari-hari kini membeku. Bahkan alam pun, seperti hujan, mencoba menggantikan musik yang hilang, tapi tetap gagal.
Ini juga bisa dimaknai sebagai kiasan dari kehilangan inspirasi atau semangat hidup setelah seseorang yang kita cintai pergi. Simfoni dalam hidup kita menjadi setengah jalan, menggantung, tak pernah rampung.
Imaji
Yusriman menampilkan imaji yang melankolis dan musikal, namun tetap sangat visual:
- “Rintik hujan bagai not yang gugur” → Imaji suara dan visual yang puitis; mengubah hujan menjadi simbol musik yang tak rampung.
- “Pianoku membisu di sudut ruangan” → Imaji benda mati yang menjadi saksi sunyi; piano sebagai simbol cinta dan kerinduan.
- “Tak ada jari yang menari di tuts” → Imaji fisik yang membangkitkan kenangan konkret tentang kebersamaan yang pernah hidup.
- “Ruang kosong ini menjadi panggung, bagi kenangan yang terus mementaskan duka” → Imaji teatrikal; ruangan menjadi seperti teater tempat masa lalu terus diputar ulang.
Semua imaji ini tidak dibuat untuk dramatisasi, melainkan untuk membangun atmosfer perenungan dan kesedihan yang intim.
Majas
Puisi ini juga kaya dengan majas yang memperkuat suasana dan pesan:
- Simile (Perbandingan): “Rintik hujan bagai not yang gugur” → Hujan diperlakukan seperti nada-nada yang jatuh, menciptakan efek suara batin yang lirih.
- Personifikasi: “Pianoku membisu”, “desir yang menua” → Benda mati diberi jiwa, memperkuat rasa hening yang menyakitkan dan keusangan waktu.
- Metafora: “Simfoni yang tak selesai” → Sebuah metafora untuk hubungan atau perasaan yang tertunda, yang tak sempat rampung.
- Paradoks: “menyaksikan hujan merayakan kehilangan” → Kehilangan biasanya sedih, tetapi di sini hujan seolah "merayakannya". Kontras ini membuat perasaan yang disampaikan jadi lebih tajam.
Suasana dalam Puisi
Suasana puisi ini sangat sunyi, kontemplatif, dan muram. Hujan tidak menjadi penyegar seperti biasanya, melainkan pengingat akan ketidakhadiran. Musik tidak hadir dalam bunyi, tetapi dalam diam yang menggema. Pembaca diajak duduk bersama tokoh, merenungkan kehilangan bukan dengan air mata, tapi dengan keheningan yang pekat.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Pesan yang disampaikan dari puisi ini bisa dimaknai sebagai pengakuan bahwa tidak semua hal dalam hidup bisa diselesaikan. Kadang, kita harus berdamai dengan simfoni yang berhenti di tengah jalan. Puisi ini mengajarkan tentang penerimaan terhadap kehilangan, tentang menyaksikan kenangan tampil di panggung batin kita tanpa harus mencoba menulis ulang akhirnya.
Ada juga pesan tentang kekuatan kenangan, yang meski tak bisa menghadirkan kembali yang telah hilang, tetap bisa hidup dalam sunyi—melodi diam yang mengikat antara masa lalu dan perasaan yang belum reda.
Tentang Nada yang Tak Pernah Benar-Benar Usai
Puisi “Simfoni yang Tak Selesai” bukan sekadar puisi tentang musik, hujan, atau ruang kosong. Ini adalah puisi tentang apa yang tertinggal setelah seseorang pergi. Bukan benda-benda, melainkan nada—nada perasaan yang tak kunjung tuntas, yang menggema dalam diam, dalam rintik, dalam ingatan.
Yusriman, lewat puisinya, mengingatkan kita bahwa tak semua keindahan harus selesai. Ada juga keindahan dalam yang belum rampung. Dan kadang, justru di situlah letak paling dalam dari cinta—ketika ia tetap hidup meski simfoninya telah berhenti.
Jika kamu pernah kehilangan, atau masih menyimpan sisa lagu yang belum sempat diperdengarkan lagi—puisi ini bisa jadi ruang hening tempat kamu mendengarkan kembali semuanya, dalam diam.
Karya: Yusriman
Biodata Yusriman:
- Yusriman, sastrawan muda asal Pasaman Barat.
- Aktif dalam Pengelolaan Seminar Internasional Pusat Kajian Sastra Indonesia, Mazhab Limau Manis.
- Mahasiswa S2 Kajian Budaya, Universitas Andalas.