Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Suara dari Bawah (Karya Yusriman)

Puisi "Suara dari Bawah" karya Yusriman bercerita tentang tokoh-tokoh dari kalangan bawah—mereka yang selama ini dianggap debu, disuruh diam, dan ....

Suara dari Bawah


Aku adalah yang kau lupakan,
Yang kau suruh diam saat bicara,
Yang kau anggap debu di jalan,
Padahal aku fondasi kerajaan.

Tanganku retak oleh bajak tua,
Punggungku patah demi panenmu,
Namun namaku tak tercatat sejarah,
Hanya kau yang ditulis agung di buku.

Aku tak lahir untuk menjadi budak,
Tapi sistem menjadikan aku alat,
Feodalisme menancap dalam darah,
Menjadikan hidupku hanya selangkah dari marah.

Anakku pun kau arahkan pada jalur sama,
Agar tetap setia pada garis,
Agar tak melawan, agar tak bertanya,
Agar hanya hidup sebagai pengisi baris.

Aku tahu siapa dirimu, Tuan,
Bukan dewa, hanya pewaris aturan,
Kau duduk tinggi karena adat buta,
Bukan karena jiwa yang bijaksana.

Tapi sekarang suaraku tak akan diam,
Biar dunia tahu ada luka dalam,
Dari sejarah yang tak adil bertahun-tahun,
Kini kami menuntut perubahan.

Aku menulis puisiku di tanah basah,
Dengan tinta dari air mata masa lalu,
Feodalisme—kau tak abadi,
Karena kami telah bangkit berdiri.

Dan kelak, namaku pun tercatat,
Bukan sebagai hamba, tapi pejuang,
Yang bersuara dari bawah,
Dan tak lagi mau diam.

2025

Analisis Puisi:

Ada puisi-puisi yang diciptakan untuk dibaca dalam diam, tapi puisi "Suara dari Bawah" karya Yusriman bukan termasuk di antaranya. Puisi ini berbicara lantang—tentang suara yang terlalu lama dibungkam, tentang tubuh-tubuh yang diperas tapi tak diingat, dan tentang generasi yang mulai membuka suara meski berdiri dari tempat paling bawah dalam hierarki sosial. Ini adalah puisi yang tidak sekadar menyuarakan perasaan; ia menyerukan perubahan.

Tema

Tema utama puisi ini adalah penindasan struktural dan perlawanan terhadap sistem feodalisme yang menindas rakyat kecil. Yusriman menggambarkan suara-suara yang selama ini dianggap kecil, tak penting, bahkan dilupakan, sebagai elemen paling dasar dari sebuah peradaban yang megah—namun ironisnya, tak diakui.

Puisi ini juga menyentuh tema ketidakadilan sejarah, warisan trauma sosial, serta bangkitnya kesadaran kelas yang selama ini ditekan.

Puisi ini bercerita tentang tokoh-tokoh dari kalangan bawah—mereka yang selama ini dianggap debu, disuruh diam, dan dijadikan alat produksi dalam sistem feodal. Suara penyair adalah suara petani, buruh, rakyat kecil—yang meski jasanya membangun negeri, tak pernah mendapat pengakuan layak. Ia mewakili generasi yang tidak mau lagi hanya menjadi penonton dalam narasi sejarah, dan mulai menuntut hak untuk bicara dan diakui.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah kesadaran bahwa kekuasaan bisa berdiri di atas ketidakadilan yang dilembagakan. Sistem feodalisme yang diwariskan turun-temurun tidak hanya menindas fisik, tetapi juga membentuk pola pikir yang membuat ketidakadilan tampak wajar. Penyair menyadarkan kita bahwa kebungkaman selama ini bukan karena rela, melainkan karena dibentuk dan diarahkan.

Puisi ini juga membawa pesan bahwa perlawanan adalah hak dan kewajiban moral, terutama bagi mereka yang telah lama dilupakan. Dan pada akhirnya, mereka yang “dari bawah” juga layak tercatat sebagai pelaku sejarah, bukan sekadar pengisi ruang kosong di baris-baris statistik.

Imaji

Puisi ini sarat dengan imaji yang kuat dan tajam, seperti:
  • “Tanganku retak oleh bajak tua, / Punggungku patah demi panenmu,” → Imaji fisik yang menggambarkan kerja keras kaum tani yang tidak pernah mendapat pujian, hanya peluh dan luka.
  • “Aku menulis puisiku di tanah basah, / Dengan tinta dari air mata masa lalu,” → Sebuah metafora puitis dan menyayat, menggambarkan bagaimana puisi ini ditulis dari luka kolektif yang dalam.
  • “Kau duduk tinggi karena adat buta,” → Sebuah imaji sosial-politik yang menohok; sistem yang menempatkan orang di atas bukan karena keadilan atau kepemimpinan sejati, tetapi karena kebiasaan yang tak masuk akal.

Majas

Beberapa majas yang menonjol dalam puisi ini:
  • Metafora: “Aku adalah yang kau lupakan,” atau “fondasi kerajaan”—memberikan makna ganda, menunjukkan bahwa rakyat kecil sebenarnya adalah penopang utama negara.
  • Personifikasi: “Sistem menjadikan aku alat”—memberikan gambaran bahwa sistem itu hidup dan aktif menindas.
  • Paradoks: “Suara dari bawah”—sebuah kontras antara posisi hierarki sosial dan kekuatan suara.
  • Simbolisme: “Tinta dari air mata masa lalu” melambangkan bahwa karya seni lahir dari penderitaan sejarah.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini penuh amarah yang terpendam, kesedihan, dan sekaligus tekad. Ada semacam gejolak yang mendidih dari balik bait-baitnya. Ini bukan puisi yang ditulis dalam kebisingan revolusi, tetapi dalam keheningan panjang yang pada akhirnya pecah. Di balik nada getir, ada semangat perlawanan yang membara.

Amanat / Pesan

Amanat yang disampaikan sangat jelas: ketidakadilan yang dibiarkan akan menumbuhkan kesadaran dan perlawanan. Penyair mengajak pembaca untuk melihat ulang struktur sosial yang selama ini dianggap “normal”. Ia juga mengingatkan bahwa yang dari bawah punya hak untuk bersuara, untuk menuntut, dan akhirnya—untuk diakui.

Pesan moral lainnya: sistem yang tidak adil tidak akan bertahan selamanya. Feodalisme—baik dalam bentuk lama maupun yang berwajah modern—suatu saat harus dipertanyakan dan ditumbangkan, karena manusia sejatinya setara.

Puisi "Suara dari Bawah" bukan sekadar puisi, ia adalah deklarasi. Ia menantang struktur, menyuarakan luka yang ditulis dengan air mata, dan menegaskan bahwa suara yang lama dipendam kini sudah bangkit. Puisi ini mengajarkan bahwa diam bukan lagi pilihan, dan bahwa sejarah seharusnya mencatat semua suara—terutama mereka yang selama ini ditulis dalam bisu.

Yusriman
Puisi: Suara dari Bawah
Karya: Yusriman

Biodata Yusriman:
  • Yusriman, sastrawan muda asal Pasaman Barat.
  • Aktif dalam Pengelolaan Seminar Internasional Pusat Kajian Sastra Indonesia, Mazhab Limau Manis.
  • Mahasiswa S2 Kajian Budaya, Universitas Andalas.
© Sepenuhnya. All rights reserved.