Tuan dan Tanah
Tuan berdiri di puncak menara,
Menatap ladang luas miliknya,
Tanah yang tak pernah ia cangkul,
Tapi menjadi singgasananya yang kukuh.
Ia bukan dewa, tapi dihormati,
Dipuja karena warisan dan takut,
Padahal darahnya merah biasa,
Hanya tubuhnya tak tersentuh derita.
Setiap rumah harus memberi upeti,
Bahkan ketika perut sendiri lapar,
Tuan tak peduli, ia hanya menanti,
Senyum puas dari harta yang mengalir sabar.
Rakyat menunduk pada hukum usang,
Yang ditulis dengan pena kekuasaan,
Tertawa pun harus dalam izin,
Berdiri pun harus tahu tempatnya.
Di sekolah, anak-anak diajari tunduk,
Bukan berpikir, apalagi menggugat,
Mereka tumbuh menjadi pekerja patuh,
Yang bangga hanya menjadi alat.
Di balai desa, suara tertahan,
Tak ada tempat untuk bertanya,
Hanya ada perintah dan titah,
Yang harus dihafal seperti doa.
Feodalisme bukan sekadar sistem,
Ia adalah nyawa yang menyelinap,
Ke dalam adat, bahasa, dan mimpi,
Mengubah keberanian jadi ilusi.
Tapi malam tak selamanya pekat,
Ada cahaya dari celah tanah retak,
Feodalisme bisa dilawan,
Dengan satu kata—kesadaran.
2025
Analisis Puisi:
Puisi “Tuan dan Tanah” karya Yusriman adalah semacam lentera yang menyoroti wajah kelam relasi kuasa antara pemilik kekuasaan dan rakyat yang tertindas. Dengan bahasa yang lugas namun sarat makna, puisi ini menjelma menjadi potret sosial yang getir: tentang bagaimana sekelompok kecil elite dapat menguasai yang banyak, tanpa benar-benar bersentuhan dengan jerih payah yang menghidupi kekuasaannya.
Tema: Feodalisme dan Ketimpangan Sosial
Puisi ini secara tegas mengusung tema ketimpangan sosial dan feodalisme. Ini bukan hanya tentang pemilik tanah yang menindas buruh tani, tetapi juga tentang sistem sosial yang sudah mengakar dan menjelma menjadi kebudayaan, pendidikan, hingga cara berpikir.
Dalam dunia puisi ini, feodalisme bukan sekadar struktur, tetapi juga roh yang menyusup ke dalam kehidupan rakyat sehari-hari. Ia mengekang bukan dengan senjata, tapi dengan rasa takut yang diwariskan.
Puisi ini bercerita tentang seorang “tuan”—simbol dari para penguasa tanah, penguasa adat, atau siapa pun yang berada di puncak struktur sosial tanpa pernah benar-benar bekerja untuk tanah yang mereka kuasai. Mereka berdiri megah di atas warisan, bukan prestasi.
Sementara itu, rakyat harus tunduk, bukan karena cinta atau hormat, tapi karena sistem yang menindas telah mengakar begitu dalam. Sekolah, balai desa, bahkan cara bermimpi pun telah disusupi. Mereka tidak diajari berpikir, apalagi bertanya, melainkan dibentuk menjadi alat yang patuh.
Makna Tersirat: Sistem Penindasan yang Dianggap Biasa
Makna tersirat dalam puisi ini menyiratkan kritik tajam terhadap sistem sosial yang menormalisasi ketidakadilan. Tuan dihormati bukan karena jasa, melainkan karena status yang diwariskan. Rakyat, sebaliknya, diajari untuk merasa cukup meski tertindas, diajari untuk tidak bermimpi tinggi.
Puisi ini juga menyampaikan bahwa feodalisme adalah kekuasaan yang dibangun bukan di atas logika atau keadilan, melainkan di atas rasa takut dan ketundukan yang ditanam sejak kecil. Maka tidak heran jika “di sekolah, anak-anak diajari tunduk, bukan berpikir.”
Namun, penyair tak hanya menawarkan kritik. Ia menyelipkan secercah harapan, bahwa kekuasaan macam ini bisa runtuh—jika ada satu hal yang muncul: kesadaran.
Suasana dalam Puisi: Getir, Sunyi, dan Penuh Tekanan
Suasana dalam puisi ini sangat terasa getir dan muram. Setiap bait seolah menyimpan derita yang ditanggung diam-diam oleh rakyat kecil. Suasana ini terasa makin menyesakkan ketika pembaca menyadari bahwa penindasan ini sudah dianggap hal biasa—bahkan menjadi bagian dari pendidikan dan budaya.
Namun, di bait terakhir, suasana mulai berubah. Ada sinar kecil yang memancar dari celah tanah retak, menjadi tanda bahwa malam yang kelam tak selamanya abadi. Dari situ, lahirlah harapan: feodalisme bisa dilawan.
Imaji: Tuan di Menara, Rakyat Menunduk, Sekolah yang Membungkam
Puisi ini menyuguhkan imaji yang sangat kuat:
- Tuan berdiri di puncak menara – melambangkan kekuasaan yang tinggi dan tak tersentuh realita.
- Tanah yang tak pernah ia cangkul – menggambarkan ketimpangan antara pemilik dan pekerja.
- Setiap rumah harus memberi upeti – menciptakan bayangan rakyat yang bekerja keras hanya untuk mempertahankan hidup, sementara hasilnya mengalir ke atas.
- Anak-anak diajari tunduk di sekolah – menggambarkan pendidikan yang tidak membebaskan.
- Balai desa yang tak boleh dipertanyakan – memberi kesan bahwa sistem pemerintahan lokal pun telah kehilangan fungsinya sebagai penyalur suara rakyat.
Imaji-imaji ini begitu konkret sehingga tak sulit bagi pembaca untuk membayangkan kondisi sosial yang digambarkan.
Majas: Metafora, Ironi, dan Personifikasi
Puisi ini diperkaya dengan majas, terutama:
- Metafora, seperti “Feodalisme bukan sekadar sistem, ia adalah nyawa yang menyelinap” – menggambarkan sistem yang hidup dan masuk ke dalam setiap sendi kehidupan.
- Ironi, misalnya pada bait “Ia bukan dewa, tapi dihormati… padahal darahnya merah biasa” – menunjukkan absurditas penghormatan yang tak berdasar.
- Personifikasi, dalam baris “Feodalisme bisa dilawan, dengan satu kata—kesadaran” – memberikan kekuatan pada kata “kesadaran” sebagai alat revolusi.
Majas-majas ini menambah kedalaman makna dan memperkuat pesan yang ingin disampaikan.
Amanat: Kesadaran Adalah Awal dari Perubahan
Amanat atau pesan dari puisi ini begitu jelas: kekuasaan yang tidak adil hanya bisa dilawan dengan kesadaran. Kesadaran bahwa sistem bisa dipertanyakan, bahwa adat bisa ditantang, dan bahwa mimpi rakyat kecil juga sah untuk diwujudkan.
Yusriman menegaskan bahwa feodalisme tidak abadi. Ia bisa runtuh bukan karena kekerasan, tapi karena kebenaran dan keberanian untuk melawan kebisuan. Ketika kesadaran itu muncul, bahkan benteng kekuasaan yang paling kokoh pun akan retak.
Puisi sebagai Alat Perlawanan Sunyi
Puisi “Tuan dan Tanah” adalah puisi yang tidak sekadar bicara tentang ketimpangan sosial, tapi juga tentang bagaimana kita memaknai kebebasan dan kesetaraan. Dalam setiap baitnya, Yusriman menampar kita dengan kenyataan: bahwa banyak dari ketidakadilan yang terjadi bukan karena kekuasaan itu terlalu kuat, tapi karena rakyat terlalu lama dibiasakan untuk diam.
Tapi ia tak berhenti di sana. Di bait terakhir, ia menyisipkan obor kecil: kesadaran adalah kunci perlawanan. Dan selama obor itu menyala, maka harapan tak pernah benar-benar mati.
Karya: Yusriman
Biodata Yusriman:
- Yusriman, sastrawan muda asal Pasaman Barat.
- Aktif dalam Pengelolaan Seminar Internasional Pusat Kajian Sastra Indonesia, Mazhab Limau Manis.
- Mahasiswa S2 Kajian Budaya, Universitas Andalas.