Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Terkapar dari Seberkas Puisi yang Membunuh (Karya Deni Puja Pranata)

Puisi "Terkapar dari Seberkas Puisi yang Membunuh" seolah adalah jeritan yang tertahan, sebuah pernyataan eksistensial yang tak hanya mengangkat ...
Terkapar dari Seberkas
Puisi yang Membunuh

Luka mendekamku
laharnya menggumpal menggerayangi darah
Luka memasungku
jelma keringat tubuh menjerit
darahku api dan keringatku air

Kini tiba oktober yang ke sepuluh
ingatanku kembali meleleh 
melepas kebisingan dengan tuak
yang membawaku pada jalan yang lebih gelap
semangatku tersayat, pada kabar yang kau kirim
dari bibir angin yang jatuh di lubang telinga
dulu, aku ingin mengukur bintang
agar sesuatu itu tak pernah runtuh
setiap berkali kali ulang kau berucap
darahku api dan keringatku air

diberingin tua terpahat namamu bergurat oktober
ratapan kepedihan menunggu kematian
dengan dupa dan kemenyan kau bacakan ritual kematian
kau bingkis upacara dengan bunga bunga melati
tersusun rapi menjadi hiasan kalung di lerhermu

Oktober yang ke sepuluh kau membunuh dengan puisi
akupun bersimpuh dengan tangisku sendiri
darahku api dan keringatku air

Madura, 10 0ktober 2013

Analisis Puisi:

Deni Puja Pranata, dalam puisi berjudul "Terkapar dari Seberkas Puisi yang Membunuh" menghadirkan sebuah lanskap emosional yang amat dalam, tragis, dan intens. Puisi ini seolah adalah jeritan yang tertahan, sebuah pernyataan eksistensial yang tak hanya mengangkat luka sebagai tema, tetapi juga menggali kematian, ingatan, dan kekuatan kata-kata. Tak berlebihan rasanya jika kita mengatakan bahwa puisi ini adalah sebuah elegi yang terjalin dalam metafora, simbol, dan rasa pilu yang tidak biasa.

Tema dalam Puisi "Terkapar"

Jika ditarik secara tematik, puisi Terkapar bercerita tentang penderitaan batin yang berkepanjangan akibat sebuah tragedi masa lalu, yang setiap tahun kembali hadir dalam ingatan tokoh lirik, khususnya pada bulan Oktober. Tema utama puisi ini adalah duka mendalam yang terus menghantui, namun ada pula sisi eksistensial yang berusaha memaknai luka dengan bahasa puisi. Oktober menjadi simbol waktu yang membekas, bukan hanya secara kronologis, tapi juga psikologis.

Tema lain yang juga muncul adalah tentang kematian, kenangan, dan kesendirian. Ada nuansa spiritual dan mistis dalam bait-bait akhir, ketika "dupa", "kemenyan", dan "ritual kematian" disebutkan. Namun di balik semua itu, sesungguhnya puisi ini menyingkap satu pesan yang halus tapi mengerikan: puisi bisa menjadi alat pembunuh, atau setidaknya menjadi saksi dari pembunuhan emosional.

Makna Tersirat: Luka yang Menyala, Kenangan yang Membakar

Barangkali inilah kekuatan puisi Terkapar: ia tidak mengungkapkan semuanya secara langsung. Di balik larik-larik metaforik, terdapat makna tersirat yang begitu menusuk. Kalimat “darahku api dan keringatku air” menjadi semacam refrain yang berulang tiga kali, dan memiliki kedalaman simbolik. Darah yang panas seperti api, dan keringat yang dingin seperti air—kontras panas dan dingin ini menyiratkan gejolak batin yang tak kunjung padam.

Frasa “Oktober yang ke sepuluh” bisa diartikan sebagai penanda waktu peristiwa tragis yang telah terjadi sepuluh tahun lalu. Ada rasa trauma yang tak sembuh, luka yang terus mendekam, seperti disebut dalam larik awal: “Luka mendekamku / laharnya menggumpal menggerayangi darah”. Luka dalam puisi ini bukan luka biasa, melainkan luka yang bersifat vulkanik—mengalirkan lahar. Ini bukan luka fisik, tapi luka eksistensial, luka karena kehilangan, pengkhianatan, atau mungkin kematian seseorang yang sangat berarti.

Ketika penyair menulis, “Oktober yang ke sepuluh kau membunuh dengan puisi”, maka ini bisa dimaknai sebagai semacam pengakuan bahwa kata-kata, yang seharusnya menyembuhkan, justru menjadi senjata yang membunuh. Siapa “kau” dalam puisi ini? Bisa jadi seorang kekasih, sahabat, atau bahkan refleksi dari sang penyair sendiri. Inilah lapisan makna yang dalam dan menyayat.

Majas dan Imaji: Ketika Luka Menjadi Bahasa Api

Puisi ini kaya akan majas, terutama metafora, personifikasi, dan repetisi. Seperti dalam larik:
  • “Luka mendekamku” → personifikasi, karena luka digambarkan memiliki kemampuan untuk mendekam, seperti makhluk hidup.
  • “laharnya menggumpal menggerayangi darah” → metafora sekaligus hiperbola yang menciptakan efek dramatis pada luka yang bukan hanya berdarah, tapi mengalirkan lahar panas.
  • “darahku api dan keringatku air” → metafora yang kuat, menciptakan pertentangan sekaligus memperlihatkan kompleksitas emosi tokoh lirik.
Sementara dari sisi imaji, puisi ini menghadirkan visual dan nuansa rasa yang amat jelas. Kita bisa merasakan panasnya api dalam darah, mendengar jerit keringat, membayangkan dupa dan kemenyan yang dibakar dalam ritual, serta melihat kalung bunga melati yang melingkar di leher. Semua ini menjadikan puisi begitu sinematik dalam kepala pembacanya.

Secara naratif, puisi ini bercerita tentang seseorang yang terus dihantui oleh luka lama yang tidak sembuh, terutama setiap kali bulan Oktober datang. Ada tragedi masa lalu yang terus diperingati, seolah menjadi kalender penderitaan yang tidak bisa dihapus. Sosok “kau” dalam puisi seolah adalah pusat dari semua luka ini—seseorang yang telah “membunuh” bukan dengan pisau atau senjata, tetapi dengan puisi.

Apa artinya membunuh dengan puisi? Mungkin saja itu adalah metafora untuk kekuatan kata-kata yang menyakitkan. Atau bisa pula bahwa seseorang telah menuliskan puisi sebagai bentuk pengkhianatan, penolakan, atau justifikasi dari sebuah perpisahan yang membekas. Apa pun itu, puisi ini menjadikan kata-kata sebagai medan pertempuran emosional yang tajam.

Amanat atau Pesan dalam Puisi "Terkapar"

Jika kita mencoba merangkum amanat dari puisi ini, maka ada dua hal yang paling menonjol. Pertama, kenangan tidak selalu indah, dan ada luka yang terus hidup dalam ingatan manusia. Kedua, puisi bukan hanya media keindahan, tetapi juga bisa menjadi ruang paling sunyi dan paling tragis untuk mencatat luka dan kematian.

Puisi ini memberi pelajaran bahwa bahasa bukanlah benda mati. Ia bisa menyembuhkan, tapi juga bisa melukai. Bisa membebaskan, tapi juga bisa memenjarakan seseorang dalam kenangan yang tak kunjung usai. Maka, setiap kata yang kita tulis atau ucapkan punya tanggung jawab. Ada akibat di balik metafora. Ada nyawa yang bisa saja runtuh oleh satu baris puisi.

Ketika Luka dan Bahasa Bersekutu

Terkapar adalah puisi yang berhasil menciptakan suasana pilu, getir, dan penuh luka. Deni Puja Pranata tidak menyajikan kisah secara gamblang, tapi justru merayap perlahan melalui simbol, imaji, dan pengulangan yang menyayat. Dalam puisi ini, waktu (Oktober), tubuh (darah dan keringat), serta bahasa (puisi) bersatu menjadi medan perenungan yang gelap dan intens.

Puisi ini mengingatkan kita bahwa di balik keindahan kata-kata, selalu ada kemungkinan bagi luka untuk menyelinap. Dan barangkali, seperti tokoh lirik dalam puisi ini, kita pun kadang “terkapar” oleh kenangan yang tidak kita undang, oleh puisi yang tidak kita tulis, namun tetap membunuh pelan-pelan.

"Deni Puja Pranata"
Puisi: Terkapar dari Seberkas Puisi yang Membunuh
Karya: Deni Puja Pranata
© Sepenuhnya. All rights reserved.