Anak Malam
malam yang bergetah
menampung kehitaman resah, ketika
pintu tertutup rapat; — seperti
pada seribu malam yang dulu juga
koyak moyak dengan nasib
Bersama diriku yang —
terengah-engah kelelahan
dalam waktu yang nanar;
jalanpun hilang sejenak dalam ingatan
sementara lapar mengganggu
ketika tiba-tiba sepi jadi berkuasa
semakin menggugat indra
hingga bintang-bintang gemetar di cakrawala
sedih memandang diriku
terkatung-katung di larut malam yang dingin
tanpa perlawanan;
bunga angina resah di atas pohonan
mengaduh pada waktu yang sia-sia
sementara batas setiamu berakhir; kemudian
jam pun melewatkan kasih yang luhur
ketika rumput basah,
dengan bumi yang sunyi
kepayahan!
wahai musimku yang tiada berubah warna
waktu semakin rusuh
hingga kebenaran dimiskinkan
anggota kamu terhormat
lewat suaranya yang keramat; lewat
kegawatan bumi ini!
jadi, —
aku pun hanya sampai dapat berteman dengan hati
menulis Sajak di atas jalanan
sementara mengunyah kenyataan yang pahit
dalam kata-kata sederhana
seperti pernah dulu,
sekira mungkin lapar kuhalau
di malam yang bergetah
dan kepercayaan akan kesanggupan membangun pribadi
tidak punah lantaran duka cita
dan akan kuhitung kembali segala utang dengan baik
semoga renungan menyalakan lagi sukma yang lelap
dalam kesunyian ini
Sumber: Horison (Maret, 1970)
Analisis Puisi:
Puisi "Anak Malam" karya Husain Landitjing merupakan curahan batin yang sarat emosi dan perenungan. Melalui larik-larik yang padat makna dan puitis, penyair mengajak pembaca menyelami malam sebagai ruang sunyi yang mempertemukan kesedihan, kelelahan, dan harapan yang nyaris pupus. Puisi ini bercerita tentang seseorang yang berjuang dengan batinnya sendiri di tengah kesunyian malam, ketika semua pintu tertutup, dan dunia terasa asing serta tak peduli.
Tema yang Diangkat
Tema utama puisi ini adalah perjuangan batin manusia di tengah keterasingan dan penderitaan, terutama dalam konteks sosial yang tidak adil. Penyair membingkai kehidupan yang sepi dan pahit, di mana sosok "aku" dalam puisi mencari pijakan dan makna hidup di tengah malam yang "bergetah" — malam yang sarat beban emosional dan sosial.
Terdapat juga tema eksistensial, tentang pencarian jati diri, harapan yang nyaris padam, dan usaha mempertahankan martabat serta semangat dalam hidup yang keras dan penuh luka.
Makna Tersirat
Makna tersirat dalam puisi ini sangat dalam dan menyentuh. Di balik gambaran malam yang kelam, tergambar kegelisahan sosial dan batiniah dari individu yang merasa terpinggirkan. Kata-kata seperti “kebenaran dimiskinkan” dan “anggota kamu terhormat / lewat suaranya yang keramat” menyiratkan kritik terhadap ketimpangan kekuasaan, kemunafikan, dan lemahnya keadilan dalam masyarakat.
Penyair juga mengisyaratkan bahwa dalam kondisi serba tertekan, seseorang masih bisa mempertahankan martabatnya dengan cara yang sederhana: menulis, merenung, dan tidak menyerah pada penderitaan. Maka puisi ini adalah seruan untuk menjaga kepercayaan pada diri sendiri, walau dunia seolah tak berpihak.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini adalah suram, hening, dan penuh tekanan batin. Kalimat seperti “terkatung-katung di larut malam yang dingin tanpa perlawanan” dan “musimku yang tiada berubah warna” menghadirkan suasana kelam dan nyaris tanpa harapan. Malam digambarkan tidak hanya sebagai waktu, tetapi juga sebagai simbol keterasingan, kehampaan, dan keterpurukan.
Namun di ujungnya, meski tanpa gegap gempita, ada percikan optimisme dan keinginan untuk bangkit kembali, seperti dalam kalimat “semoga renungan menyalakan lagi sukma yang lelap dalam kesunyian ini”.
Imaji dalam Puisi
Puisi ini kaya akan imaji yang kuat dan menyentuh, memperkuat suasana dan makna:
- “malam yang bergetah” – imaji metaforis yang menghadirkan malam sebagai sesuatu yang melekat dan menyesakkan.
- “bunga angin resah di atas pohonan” – membentuk bayangan lembut namun gelisah dari alam yang turut berduka.
- “bintang-bintang gemetar di cakrawala” – imaji langit yang tidak tenang, menggambarkan kegelisahan batin.
- “menulis Sajak di atas jalanan” – visualisasi akan kesendirian, kemiskinan, dan perlawanan dengan cara yang tenang namun bermakna.
Imaji tersebut tidak hanya memperkuat suasana, tetapi juga menyampaikan konflik batin tokoh yang terombang-ambing dalam realitas sosial yang menyakitkan.
Majas dan Gaya Bahasa
Majas yang digunakan dalam puisi ini sangat variatif dan memperkaya dimensi estetikanya:
- Metafora: “malam yang bergetah”, “musimku yang tiada berubah warna” – menggambarkan malam atau waktu sebagai sesuatu yang aktif, hidup, dan menekan batin.
- Personifikasi: “bintang-bintang gemetar”, “bunga angin resah” – memberi sifat manusia pada benda alam, untuk menyiratkan bahwa alam pun merasakan kegelisahan yang dialami sang tokoh.
- Hiperbola: “hingga kebenaran dimiskinkan” – memberikan penekanan dramatis terhadap hilangnya keadilan atau kebenaran.
- Simbolisme: banyak kata seperti “jalan”, “pintu”, “jam”, dan “hati” yang digunakan sebagai simbol kehidupan, batas, dan eksistensi manusia.
Majas-majas ini memperkuat dimensi emosional dan reflektif puisi.
Amanat atau Pesan yang Disampaikan
Amanat puisi ini adalah bahwa sekalipun hidup terasa berat, sunyi, dan penuh penderitaan, harapan dan kekuatan batin tidak boleh padam. Puisi ini mengajarkan pentingnya merenung, menulis, dan memelihara hati yang jernih sebagai bentuk perlawanan terhadap keputusasaan.
Pesan lainnya juga menyentuh persoalan sosial—tentang betapa kekuasaan dapat mengabaikan suara kebenaran dan membuat rakyat menderita. Namun, penyair menegaskan bahwa meski keadilan seolah dikebiri, manusia masih bisa menemukan kekuatan lewat kata-kata dan refleksi diri.
Puisi "Anak Malam" adalah karya kontemplatif yang kuat dari Husain Landitjing. Dengan tema eksistensial dan sosial yang mendalam, serta makna tersirat tentang perlawanan batin terhadap dunia yang tidak adil, puisi ini menghadirkan potret getir namun manusiawi tentang kesepian dan keinginan untuk bangkit. Imaji dan majas yang digunakan membuat puisinya hidup dan penuh nuansa. Pada akhirnya, puisi ini adalah pengingat bahwa bahkan dalam kesendirian yang paling gelap, kata-kata dan keyakinan pada diri sendiri bisa menjadi cahaya yang menuntun jalan.
Karya: Husain Landitjing
Biodata Husain Landitjing:
- Husain Landitjing lahir pada tanggal 23 September 1938 di Makale, Dati II Tana Toraja, Sulawesi.