Api yang Tak Pernah Padam
Di dalam dada para pejuang,
Ada api yang tak pernah padam,
Meski hujan peluru turun,
Dan malam panjang membungkus,
Mereka tetap berdiri.
Kini api itu menyala di kita,
Bukan untuk berperang lagi,
Tapi membakar semangat kerja,
Untuk membangun negeri,
Dari puing-puing yang tersisa.
Kemerdekaan bukan akhir,
Ia adalah pintu pembuka,
Menuju rumah yang adil dan makmur,
Tempat anak cucu tumbuh damai,
Dengan bangga menyebut "Indonesia."
Jangan biarkan api itu padam,
Dengan kemalasan atau korupsi,
Karena jika mati,
Kita akan kembali terjajah,
Bukan oleh asing, tapi oleh diri sendiri.
Mari jaga nyala itu bersama,
Dengan ilmu, dengan kejujuran,
Dengan keberanian berkata benar,
Agar api perjuangan dahulu,
Menjadi cahaya masa depan.
20 Mei 2025
Analisis Puisi:
Puisi "Api yang Tak Pernah Padam" karya Moh Akbar Dimas Mozaki adalah sebuah karya yang penuh renungan dan semangat nasionalisme. Melalui bahasa yang lugas namun menyentuh, puisi ini menawarkan pemahaman mendalam tentang arti perjuangan, tidak hanya di masa lalu tetapi juga dalam kehidupan berbangsa hari ini. Puisi ini merupakan refleksi atas transisi nilai perjuangan dari medan tempur fisik menuju medan pembangunan dan etika sosial di masa damai.
Puisi ini bercerita tentang warisan semangat para pejuang kemerdekaan yang diibaratkan sebagai “api yang tak pernah padam.” Api tersebut bukan semata-mata gambaran dari perlawanan fisik atau perang bersenjata, tetapi semangat yang kini harus menyala dalam bentuk yang berbeda: kerja keras, kejujuran, dan keberanian moral.
Penyair membagi puisinya ke dalam dua dimensi waktu — masa lalu dan masa kini. Pada masa lalu, api itu menyala di dada para pejuang yang bertahan di tengah “hujan peluru” dan “malam panjang.” Pada masa kini, api itu berpindah ke generasi penerus, yang dituntut untuk membangun negeri dari “puing-puing yang tersisa.” Dengan kata lain, puisi ini menekankan kesinambungan antara sejarah dan masa depan.
Tema: Semangat Perjuangan dan Tanggung Jawab Generasi Penerus
Puisi ini memiliki tema utama tentang keberlanjutan semangat perjuangan. Perjuangan dalam puisi ini tidak berhenti saat kemerdekaan diproklamasikan, melainkan terus berlanjut dalam bentuk lain. Bukan lagi melalui pertempuran bersenjata, melainkan lewat pembangunan, kerja keras, dan menjaga integritas.
Tema lainnya yang juga kuat adalah bahaya pengkhianatan terhadap semangat tersebut. Penyair menyatakan bahwa jika api perjuangan itu padam, maka penjajahan bisa datang kembali — bukan dari bangsa asing, tetapi dari dalam diri sendiri. Ini adalah kritik halus terhadap praktik-praktik buruk seperti kemalasan dan korupsi.
Makna Tersirat: Refleksi Sosial dan Peringatan Moral
Dalam lapisan yang lebih dalam, puisi ini mengandung makna tersirat tentang pentingnya tanggung jawab kolektif dalam menjaga semangat kebangsaan. Api yang tak pernah padam menjadi simbol dari nilai-nilai luhur: kejujuran, pengorbanan, dan tekad untuk memperbaiki negeri.
Penyair menyampaikan bahwa musuh bangsa hari ini bukanlah penjajah bersenjata, melainkan sikap apatis, korupsi, dan kebodohan. Ini adalah peringatan bahwa penjajahan bisa datang dalam bentuk yang lebih licik — bukan dari luar, melainkan dari dalam bangsa sendiri, bahkan dari diri pribadi masing-masing warga negara.
Suasana dalam Puisi: Heroik, Reflektif, dan Inspiratif
Suasana dalam puisi ini secara umum heroik dan reflektif. Di awal puisi, suasana perjuangan yang keras dan penuh bahaya terasa hidup melalui frasa seperti “hujan peluru” dan “malam panjang.” Namun suasana kemudian berubah menjadi inspiratif dan ajakan moral saat api itu disebut menyala dalam diri generasi masa kini. Ada semacam dorongan spiritual dan emosional yang kuat agar pembaca turut menjaga nyala api tersebut.
Amanat: Jangan Lupakan Api Perjuangan
Salah satu kekuatan utama puisi ini adalah amanat / pesan yang disampaikan yang terasa relevan dalam berbagai konteks zaman. Penyair menegaskan bahwa perjuangan tidak selesai dengan kemerdekaan. Justru setelah merdeka, perjuangan moral dan sosial dimulai. Amanat utama puisi ini adalah: jaga semangat perjuangan dengan kerja keras, kejujuran, dan keberanian moral.
Penyair juga mengingatkan, jika api itu padam karena sikap lalai, maka bangsa akan kembali terjajah oleh keserakahan dan kemunduran moral. Amanat ini sangat tajam dan menyentuh nalar serta hati pembaca.
Imaji: Visualisasi Perjuangan dan Harapan Masa Depan
Secara puitis, puisi ini mengandung imaji yang kuat. Imaji “hujan peluru” dan “malam panjang” menciptakan gambaran dramatis tentang situasi medan perang yang gelap dan mengerikan. Imaji ini membentuk latar sejarah perjuangan yang penuh derita dan pengorbanan.
Di sisi lain, imaji tentang “api yang menyala di dada” dan “cahaya masa depan” menyiratkan harapan dan keyakinan. Imaji ini membangun visual tentang semangat yang menyala terang, menerangi langkah generasi masa kini dan masa depan. Imaji tersebut memberi kesan bahwa nilai perjuangan adalah nyala yang harus dijaga agar tidak padam oleh angin kemalasan dan ketidakjujuran.
Majas: Metafora, Simbolisme, dan Personifikasi
Dari segi gaya bahasa, puisi ini banyak menggunakan majas metafora dan simbolisme. “Api yang tak pernah padam” adalah metafora yang mewakili semangat perjuangan yang abadi. Ini adalah majas utama yang menjadi poros puisi secara keseluruhan.
Ada pula simbolisme dalam “pintu pembuka” dan “rumah yang adil dan makmur” yang menggambarkan perjalanan bangsa dari merdeka menuju cita-cita sosial dan ekonomi. Sementara itu, “anak cucu tumbuh damai” adalah bentuk personifikasi yang memberi harapan bahwa masa depan bisa dicapai jika api perjuangan terus dijaga.
Kalimat “kita akan kembali terjajah, bukan oleh asing, tapi oleh diri sendiri” juga memuat ironi dan metafora yang tajam. Ia menyoroti potensi kehancuran dari dalam akibat kelalaian dan moralitas yang rusak.
Puisi "Api yang Tak Pernah Padam" karya Moh Akbar Dimas Mozaki adalah puisi yang tidak hanya merayakan semangat para pejuang kemerdekaan, tetapi juga menyerukan pentingnya menjaga nilai-nilai perjuangan itu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara hari ini. Dengan mengangkat tema nasionalisme dan tanggung jawab, mengandung makna tersirat yang kuat, serta menggunakan majas dan imaji yang efektif, puisi ini menjadi ajakan moral yang sangat relevan di tengah tantangan zaman.
Di tengah arus kehidupan modern yang sering menjauhkan manusia dari akar sejarahnya, puisi ini hadir sebagai pengingat bahwa kemerdekaan bukan sekadar tanggal di kalender, tetapi nyala yang harus dijaga dalam hati dan tindakan. Api itu — semangat perjuangan, kejujuran, dan keberanian moral — harus terus menyala, agar masa depan Indonesia benar-benar menjadi cahaya, bukan bara yang padam oleh kelalaian kita sendiri.
Karya: Moh Akbar Dimas Mozaki
Biodata Moh Akbar Dimas Mozaki:
- Moh Akbar Dimas Mozaki, mahasiswa S1 Sastra Indonesia, Universitas Andalas.