Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Demokrasi yang Retak (Karya Fitri Wahyuni)

Puisi "Demokrasi yang Retak" karya Fitri Wahyuni bercerita tentang dinamika politik yang sering mengabaikan suara rakyat setelah mendapatkan ...

Demokrasi yang Retak


Di mimbar janji ditebar
Namun realita getir terhampar
Suara rakyat jadi pelengkap syarat
Setelahnya senyap, hilang jejak

27 Mei 2025

Analisis Puisi:

Puisi satu bait berjudul "Demokrasi yang Retak" karya Fitri Wahyuni menghadirkan kritik sosial-politik yang tajam dalam balutan kata-kata puitis. Meski singkat, puisi ini berhasil menyuarakan ironi dalam sistem demokrasi, terutama dalam relasi antara penguasa dan rakyat. Dengan pilihan diksi yang tegas dan kontras, sang penyair menunjukkan bahwa keindahan demokrasi bisa saja menjadi ilusi ketika praktiknya tidak berpihak pada kebenaran.

Tema

Tema utama dari puisi ini adalah kekecewaan terhadap praktik demokrasi yang manipulatif dan penuh kepalsuan. Puisi ini mengeksplorasi bagaimana janji-janji politik sering kali tidak sejalan dengan realitas setelah pemilu berakhir, menyiratkan adanya retakan dalam sistem demokrasi yang ideal.

Puisi ini bercerita tentang dinamika politik yang sering mengabaikan suara rakyat setelah mendapatkan kekuasaan. Janji-janji yang ditebar saat kampanye hanya menjadi alat untuk meraih legitimasi, tetapi setelahnya, rakyat kembali dilupakan dan aspirasi mereka tak lagi didengar. Realitas getir ini digambarkan dengan ringkas namun menyentak, seolah menjadi cermin sosial-politik kontemporer.

Makna Tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini adalah kritik terhadap elit politik yang mempermainkan demokrasi hanya demi kekuasaan. Rakyat hanya dijadikan alat untuk memenuhi persyaratan formal pemilu—suara mereka penting saat dibutuhkan, tetapi dilupakan setelah hasilnya diraih. Puisi ini menyampaikan pesan bahwa demokrasi bisa retak jika penguasa mengabaikan tanggung jawab etisnya terhadap rakyat.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini terasa pahit, getir, dan penuh kekecewaan. Ada perasaan frustasi terhadap kondisi sosial-politik yang dianggap tidak lagi berpihak kepada rakyat. Nada puisi yang pendek namun tegas memperkuat kesan kemuakan terhadap realitas yang menyimpang dari semangat demokrasi.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan moral atau amanat yang disampaikan adalah bahwa pemimpin seharusnya tidak hanya menjadikan suara rakyat sebagai formalitas, tetapi sungguh-sungguh mendengar dan memperjuangkan kepentingan mereka. Demokrasi sejati hanya dapat hidup jika kepercayaan rakyat dijaga dan janji-janji politik diwujudkan dalam tindakan nyata, bukan sekadar retorika kosong.

Imaji

Meskipun hanya terdiri dari empat baris, puisi ini menghadirkan imaji yang kuat dan kontras:
  • “Di mimbar janji ditebar” menghadirkan gambaran visual seorang politisi yang berorasi dengan penuh janji.
  • “Realita getir terhampar” menciptakan kesan bahwa kenyataan pahit terbuka lebar di hadapan rakyat.
  • “Suara rakyat jadi pelengkap syarat” memberi gambaran bahwa peran rakyat hanya simbolis, tidak esensial.
  • “Setelahnya senyap, hilang jejak” menyiratkan lenyapnya kepedulian setelah tujuan pribadi tercapai.

Majas

Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini antara lain:

Metafora:
  • “Di mimbar janji ditebar” adalah metafora untuk janji kampanye politik yang diucapkan dengan lantang namun belum tentu ditepati.
  • “Realita getir terhampar” menggambarkan kondisi nyata yang pahit tanpa harus menjelaskan secara literal.
Paradoks:
  • “Suara rakyat jadi pelengkap syarat” mengandung kontradiksi: rakyat seharusnya pusat demokrasi, tapi di sini justru hanya pelengkap.
Elipsis dan kesengajaan kepadatan bahasa:
  • Gaya pengungkapan yang padat dan ringkas memperkuat efek pukulan emosional dari puisi ini.
Puisi "Demokrasi yang Retak" karya Fitri Wahyuni merupakan karya yang menyuarakan kekecewaan mendalam terhadap praktik politik yang munafik dan jauh dari idealisme demokrasi sejati. Melalui empat baris singkat, sang penyair berhasil menyampaikan kritik tajam terhadap bagaimana suara rakyat sering dimanipulasi dan dilupakan.

Dengan tema yang relevan dan makna tersirat yang kuat, puisi ini tidak hanya menggambarkan realitas politik yang menyakitkan, tetapi juga menjadi pengingat bahwa demokrasi harus terus diperjuangkan oleh semua pihak—terutama oleh mereka yang diberi amanah untuk memimpin. Imaji dan majas yang digunakan memperkuat nuansa getir yang ingin disampaikan, menjadikan puisi ini efektif sebagai refleksi sosial sekaligus suara protes yang elegan namun menusuk.

Fitri Wahyuni
Puisi: Demokrasi yang Retak
Karya: Fitri Wahyuni

Biodata Fitri Wahyuni:
  • Fitri Wahyuni saat ini aktif sebagai mahasiswa, Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, di Universitas Andalas.
© Sepenuhnya. All rights reserved.